Projo: Skema Gross Split untuk Akuntabilitas, Efisiensi dan Akselerasi
Kondisi industri hulu migas selama beberapa tahun terakhir mengalami kemunduran yang signifikan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Kondisi industri hulu migas selama beberapa tahun terakhir mengalami kemunduran yang signifikan. Sejak 2004 Indonesia telah menjadi nett importer minyak.
Ketua Umum DPP Projo Budi Arie Setiadi menjelaskan, cadangan terbukti (proven reserve) migas Indonesia terus mengalami penurunan. Dari 5 miliar barel pada tahun 2005 menjadi 3,6 miliar barel pada 2015.
"Di sisi lain produksi (lifting) minyak di Indonesia juga mengalami penurunan. Dari 1096 bph pada 2005 menjadi 825 bph pada 2015," ungkapnya, Rabu (14/12/2016).
Sementara konsumsi meningkat dari 1303 bph pada 2005 menjadi 1628 pada 2015. Ironisnya, pengeluaran negara dalam bentuk cost recovery mengalami kenaikan yang signifikan terutama sepanjang periode 2004-2014.
Pada tahun 2000, lanjutnya,angka cost recovery masih dibawah US$ 5 miliar dan menjadi diatas US$ 15 miliar/tahun, ditahun 2011-2014. Tahun 2015-2016 angka cost recovery mengalami penurunan signifikan.
"Dari data-data diatas, tampak sekali meningkatnya biaya cost recovery tidak berkorelasi positif terhadap penemuan cadangan baru -terlihat dari tren penurunan cadangan terbukti," urainya.
Serta peningkatan lifting minyak. Justru produksi minyak menurun sekitar 25% sepanjang 10 tahun terakhir. Dan gap antara produksi dengan konsumsi semakin melebar.
"Produksi minyak kita di 2015 hanya sebesar 50,6% dari konsumsi nasional. Dengan kata lain rezim cost recovery telah gagal menumbuhkan industri hulu migas nasional," tambah Budi.
Selain statistik yang tidak menunjukkan korelasi positif dengan jumlah cadangan terbukti dan produksi, cost recovery juga memiliki kerawanan besar terhadap kemungkinan penyimpangan.
Penggunaan APBN dalam jumlah besar memilki resiko munculnya mark-up dan biaya-biaya yang tidak perlu. Banyak muncul kecurigaan atas akuntabilitas dan dan transparansi penentuan dan pengelolaan cost recovery.
Kasus-kasus seputar pengelolaan cost recovery, Budi Arie menegaskan, sudah sangat sering terjadi dan dicurigai merugikan keuangan negara dalam bilangan yang mencapai puluhan trilyun rupiah.
Persoalan lain yang dihadapi adalah hambatan birokrasi yang menyebabkan proses eksplorasi dan eksploitasi minyak berjalan lamban.
Handoko, Ketua Bidang Energi DPP Projo kemudian memberikan contoh. Seringnya terjadi kegiatan eksploitasi yang tak kunjung bisa dieksekusi. Hal ini dikarenakan plan of development yang tak juga disepakati oleh pemerintah dan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama).
"Atas kebuntuan tersebut pemerintah sudah seharusnya mencari jalan terobosan untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Yang merupakan pintu awal bagi terciptanya kedaulatan energi nasional," harapnya.
Menteri ESDM Ignatius Jonan dan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mewacanakan skema baru untuk menggantikan Cost Recovery.
Yakni, skema gross split yang meniadakan pola reimbursement biaya yang dikeluarkan KKKS kepada pemerintah.
Tentu dengan berbagai konsekuensi. Dalam kerangka pengarusutamaan akuntabilitas, transparansi, efisiensi, dan akselerasi kegiatan eksplorasi. Serta produksi sektor hulu migas, skema gross split menarik diterapkan dalam production sharing contract.
Menjadi langkah terobosan yang akan mengatasi kebuntuan pengembangan industri hulu migas nasional.
"Atas dasar berbagai pertimbangan diatas, DPP PROJO mendukung diberlakukannya skema gross split sebagai metode bagi hasil dalam Production Sharing Contract. Dengan syarat tetap menjunjung tinggi kepentingan nasional," Handoko memastikan.
Yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Dan pasal 33 ayat 3; bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. " Apapun selama berguna bagi kemakmuran rakyat dan meningkatnya penerimaan negara, kami pasti dukung penuh , " pungkas Budi.