Kamis, 2 Oktober 2025

Gejolak Rupiah

Analis: Rupiah Masih Rentan Goncangan

Selama tiga hari berturut-turut, rupiah menguat signifikan sekitar 5,63 persen.

Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Petugas memperlihatkan pecahan dolar AS yang akan ditukarkan di salah satu gerai penukaran mata uang asing di Kawasan Blok M, Jakarta, Senin (24/8/2015). Nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS dibuka di kisaran Rp 14.006 dan sempat mencapai posisi tertinggi pada level Rp 14.017 karena imbas dari perang mata uang (currency wars). (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama tiga hari berturut-turut, rupiah menguat signifikan sekitar 5,63 persen.

Rabu (7/10/2015), di pasar spot, rupiah bahkan ditutup di Rp 13.821 per dollar Amerika Serikat (AS). Ini posisi terkuat dalam dua bulan terakhir.

Analis pasar uang Bank Mandiri Reny Eka Putri menilai, faktor utama penguatan rupiah adalah otot dollar AS yang sedang loyo. Pasar berspekulasi The Fed tak akan mengerek suku bunga tahun ini akibat data ekonomi Paman Sam kurang gereget.

Goldman Sachs pun memprediksikan kenaikan suku bunga AS bisa tertunda hingga tahun depan. Efeknya, pelaku pasar mengambil untung dengan melepas dollar. "Ini menguntungkan mata uang di Asia, termasuk rupiah," ungkap Reny, kemarin.

Sentimen dari AS itulah yang lebih dominan ketimbang faktor dalam negeri. Lihat saja, upaya Bank Indonesia (BI) yang terus menggelar operasi pasar di pasar spot dan forward (berjangka) selama September lalu belum mampu mengangkat rupiah dan hanya menahan kejatuhan rupiah lebih dalam. Padahal sepanjang bulan lalu, cadangan devisa Indonesia susut 3,6 miliar dollar AS dan kini tersisa 101,7 miliar dollar AS.

Toh, dalam jangka pendek, peluang penguatan rupiah masih terbuka. Apalagi pemodal asing masuk lagi ke pasar saham. Empat hari terakhir, asing mencatatkan pembelian bersih senilai Rp 1,46 triliun.

Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto, menambahkan, paket ekonomi jilid I hingga III memang memberi sentimen positif di pasar keuangan. "Sehingga dana asing kembali ke Indonesia dan rupiah menguat," ujarnya.

Namun, Research and Analyst Divisi Treasury Bank Negara Indonesia Trian Fathria mengingatkan, semua faktor penyokong rupiah saat ini lebih bersifat sentimen sesaat, bukan perubahan fundamental. "Rupiah masih rawan koreksi jika The Fed menaikkan suku bunga," tandasnya. Toh, setidaknya sentimen jangka pendek itu bisa membawa rupiah ke level 13.500.

Selama belum ada kepastian soal Fed fund rate, rupiah akan sulit bangkit. Kebijakan BI dan pemerintah belum memberi sentimen kuat untuk mengangkat rupiah. "Perlu waktu untuk mengimplementasikan semua paket ekonomi tersebut," ucap Reny.

Kalkulasi Reny, akhir tahun rupiah bergerak di kisaran 14.600-14.800. Prediksi Myrdal, rupiah akan bergejolak lagi menjelang rapat FOMC pada 26 Oktober nanti. Jika The Fed mengerek bunga tahun ini, rupiah akan di kisaran 14.400 hingga akhir tahun.

Kamis (8/10/2015) ini, hingga pukul 12.00 WIB, data Bloomberg menunjukkan, mata uang garuda berada di posisi Rp 13.866 per dollar AS, melemah 45 poin dibandingkan penutupan kemarin pada 13.821.

Sementara itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sesi I hari ini, ditutup naik 13,96 poin (0,31 persen) pada 4.501,09. (Maggie Quesada Sukiwan, Namira Daufina, Wahyu Satriani)

Sumber: Kontan
Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved