Pengembangan Biodiesel Sawit Butuh Dukungan Kebijakan
Pengembangan sawit sebagai energi terbarukan dinilai pilihan yang tepat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengembangan sawit sebagai energi terbarukan dinilai pilihan yang tepat. Meski demikian, pengembangan biodiesel jenis sawit di tanah air masih pada taraf rintisan. Karena itu dibutuhkan sokongan kebijakan pemerintah yang berkelanjutan agar tercipta iklim usaha yang kondusif.
Salah satu usulan kebijakan lanjutan yang perlu dipertimbangkan pemerintah adalah penetapan besaran volume Public Service Obligation (PSO) dalam pelaksanaan mandatori B-15 dilakukan secara pro rata berdasarkan kapasitas terpasang masing-masing produsen yang telah terdaftar dan diverifikasi Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE).
Dirut Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Bayu Krisnamurthi menegaskan pemerintah akan mengawasi perusahaan pemasok bio diesel secara ketat sehingga mereka tidak bisa bermain-main dengan kapasitas produksi yang mereka punyai.
"Jadi kalau produsen itu kapasitas produksinya misalnya 50 ribu kilo liter maka dia hanya bisa memasok sesuai kapasitas tidak bisa lebih. Itu verifikasinya ada di kementerian ESDM secara ketat," tegas Bayu saat diskusi optimasi industri sawit khususnya energi terbarukan yang diselenggarakan Kamar Dagang Indonesia (Kadin), Jumat (4/9/2015).
Bayu menegaskan sisa PSO yang ada tahun ini mencapai 750 ribu kilo liter. Meski demikian tahun depan kapasitasnya akan meningkat mencapai 1,5 juta kilo liter.
"Bagi kawan-kawan yang mempunyai kapasitas produksi gede mohon bersabar nanti tahun depan bisa ditingkatkan. Saat ini karena sisa sedikit maka dibagi rata," tambahnya.
Acara diskusi terarah ini antara lain menghadirkan Direktur Utama BLU Sawit, Bayu Krisnamurthi, Kepala BKF Kemenkeu dan para pengusaha di lingkungan Kadin.
Selain untuk memberi insentif bagi para pengusaha yang sudah berkiprah, pembagian pro rata ini juga membatasi peluang bagi hadirnya para ‘broker’ yang sekadar bermodal kuota saja tanpa memiliki akses produksi.
"Sejak awal, biodiesel jenis sawit harus membangun tata kelola yang bagus agar tecipta iklim usaha yang kondusif dan efisien," kata Franky Oesman Widjaja, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Agribisnis dan Pangan.
Dalam acara ini juga mengemuka usulan agar pemerintah terus mendukung upaya intensifikasi dan ekstensifikasi perkebunan sawit. Kedua hal ini dibutuhkan agar ketersediaan pasokan CPO terus terjaga baik untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan energi terbarukan.
"Ke depan, pemanfaatan biodiesel sebagai energi terbarukan akan semakin besar. Ini harus ditopang dengan ketersediaan pasokan CPO agar indusri biodiesel nasional bisa kompetitif," kata Franky.
Bayu Krisnamurthi selaku Direktur Ulama BLU Dana Sawit menegaskan, intensifikasi perkebunan sawit antara lain akan ditopang melalui guyuran dana untuk riset dan pengembangan dari hasil dana pungutan sawit yang disetor pengusaha sawit.
"R&D diarahkan untuk mendapatkan benih unggul baik dari sisi produktivitas maupun penggunaan bahan pendukungnya," katanya ketika ditemui seusai acara.
Usulan kebijakan lain yang mengemuka adalah penetapan sanksi bagi badan usaha yang tak melaksanakan mandatori B-15.
"Sanksi ini harus cukup besar secara finansial agar badan usaha tak mangkir karena lebih memilih membayar denda," kata Franky.
Selain itu, juga diusulkan adanya insentif fiskal untuk memperkuat industri sawit dalam energi terbarukan. Misalnya tax holiday atau tax allowance bagi para pelaku industry biodiesel.
Sebagaimana diketahui, sejak Agustus 2015 lalu mandori B-15 telah bergulir setelah sebulan sebelumnya BLU mulai menarik dana pungutan kepada pengusaha sawit yang besarannya bervariasi.
Diperkirakan pelaksanaan mandatori ini mampu menyerap produksi biodiesel dalam negeri sebesar 5,3 juta kilo liter (KL) (setara dengan 4,8 juta ton Crude Palm Oil/CPO) dan memberikan penghematan devisa sebesar 2,54 miliar dolar AS.