Selasa, 7 Oktober 2025

Gejolak Rupiah

Dipanggil Jokowi ke Istana Bogor, Hary Tanoe Dimintai Saran Atasi Rupiah Anjlok

Dalam kesempatan itu, HT sapaan akrabnya mengatakan keadaan Indonesia sekarang sudah berubah dari 40 tahun yang lalu

Penulis: Wahyu Aji
Perindo/Perindo
(Dari Kiri Ke kanan) - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, Ketua Umum DPP Perindo Harry Tanoesoedibjo, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais. Partai Persatuan Indonesia (Perindo) menggelar acara buka puasa bersama di Kantor DPP Partai Perindo, Jalan Diponegoro Nomor 29, Menteng, Jakarta Pusat. Sabtu (27/7/2015) Ketua umum DPP Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) dalam sambutannya di acara buka bersama sempat menyampaikan kondisi perekonomian Indonesia. Selain sejumlah pejabat turut diundang dalam acara tersebut juga mengundang 100 anak yatim dari Pondok Pesantren Ulul Ilmi, Kelurahan Munjul, Cipayung, Jakarta Timur. (Dokumentasi PERINDO) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo dipanggil ke Istana Bogor oleh Presiden Joko Widodo untuk dimintai saran guna mengatasi anjloknya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (AS), beberapa hari lalu.

Dalam kesempatan itu, HT sapaan akrabnya mengatakan keadaan Indonesia sekarang sudah berubah dari 40 tahun yang lalu. Sekitar tahun 70-an, ekonomi Indonesia ditopang oleh 'oil boom'. Pada waktu itu harga minyak naik dan Indonesia masih sebagai anggota OPEC dan pengekspor minyak.

"Di era tahun 80 sampai 90-an, sektor industri khususnya manufaktur sebagai penopang ekonomi nasional. Banyak pabrik didirikan melalui fasilitas PMDN, PMA dan lainnya yang sekaligus menciptakan lapangan kerja," kata HT kepada wartawan di Jakarta, Rabu (26/8/2015).

Menurutnya, tahun 2000 sampai 2012, negara ini mendapat windfall commodity boom. Harga komoditas meroket tajam seperti kelapa sawit, batu bara, karet, timah, biji besi dan lain sebagainya, yang menyebabkan 65 persen ekspor non migas didominasi oleh komoditas.

"Pak SBY sebenarnya tertolong dengan commodity boom ini. Pada waktu harga komoditas mulai turun tahun 2013, imbasnya ke pertumbuhan ekonomi yang mulai melambat, itulah kenapa tahun 2014 kita hanya tumbuh sekitar lima persen," katanya.

Bos MNC group ini menjelaskan, saat ini penopang ekonomi Indonesia sudah tidak ada lagi. Indonesia sangat tergantung dengan impor minyak dan industri nasional sudah kalah bersaing dengan negara-negara regional dan harga komoditas juga sedang rendah-rendahnya.

"Sehingga solusinya adalah bagaimana investasi digalakkan dan belanja pemerintah dipercepat. Tidak ada jalan lain lagi. Itulah saran saya saat ini adalah bagaimana kedua hal diatas bisa dilaksanakan secara tepat sasaran dan cepat," katanya.

Lebih lanjut, semua kebijakan dan praktek yang menghambat investasi dan belanja pemerintah harus dipangkas dan bank kata HT harus fokus pada pembiayaan sektor produktif, bukan konsumtif.

Sedangkan proyek-proyek infrastruktur yang dipegang broker dan tidak dikerjakan dialihkan ke BUMN yang relevan agar bisa berjalan.

"Hal lain yang harus diantisipasi adalah penerimaan pajak yang akan berkurang banyak dengan lesunya ekonomi. Dari sekarang sudah harus dipikirkan alternative pendanaan agar APBN tetap bisa dilaksanakan," katanya.

Untuk itu HT menyarankan agar pemerintah memajukan sektor riil yang dilakoni oleh para pengusaha kecil menengah, petani dan nelayan.

"Saya sebenarnya punya banyak konsep penataan UMKM, petani, nelayan dan lain sebagainya dan ini penting dalam kondisi saat ini karena dengan kurs dollar Amerika Serikat yang melejit, justru kelompok marginal ini yang paling kena imbasnya. Kualitas hidup mereka turun drastis," katanya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved