BKPM Manfaatkan Skema Kebijakan Inland FTA untuk Menarik Investor
Tujuannya sebagai salah satu daya tarik masuknya investasi ke Indonesia
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) akan memafaatkan skema kebijakan Inland Free Trade Agreement (Inland FTA ). Tujuannya sebagai salah satu daya tarik masuknya investasi ke Indonesia.
Kepala BKPM Franky Sibarani menyatakan Inland FTA merupakan kebijakan unilateral liberalisasi perdagangan untuk meningkatkan investasi sektor manufaktur.
Skema ini bekerja dengan memberikan fasilitas perdagangan atau kepabeanan bagi industri dalam negeri dengan memperlakukan preferensi FTA untuk proses produksi di dalam wilayah Indonesia.
Menurut Franky, dengan kebijakan Inland FTA, pemerintah membebaskan pengenaan tarif bea masuk bahan baku dan barang setengah jadi yang diimpor dari negara yang belum menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia.
“Skema itu merupakan strategi menarik untuk investasi, memperkuat industri domestik dan memacu pertumbuhan ekonomi," ujar Franky, Jumat (15/5/2015).
Selama ini kalau barang produk jadi maupun setengah jadi komponen yang dibuat di Kawasan Berikat atau di Free Trade Zone (Batam,Bintan, Karimun dan Sabang) begitu masuk ke daerah Pabean Indonesia akan dikenakan bea masuk sama dengan produk impor.
"Padahal barang yang sama yang dibuat misalnya di Singapura atau Malaysia(dengan tingkat komponen lokal ASEAN minimal 40 persen), masuk ke Indonesia diberlakukan tarif bea masuk 0 persen karena memanfaatkan skema FTA," ungkap Franky.
Sebelumnya, dalam Rapat Koordinasi di Kantor Menko Perekonomian, pemerintah menyepakati preferensi impor FTA atas produk yang dibuat di dalam negeri.
Dalam pelaksanaannya suatu barang tertentu yang dibuat di tempat tertentu di dalam negeri, menggunakan bahan baku, bahan penolong, komponen impor merupakan produk dalam negeri (made in Indonesia).
Dalam rapat tersebut juga disepakati, syarat yang harus dipenuhi yaitu jika bahan baku atau barang setengah jadi yang diimpor harus digunakan untuk memproduksi barang/produk akhir dengan tingkat kandungan lokal minimal 40 persen.