23 Ribu Perajin Tahu-Tempe Kompak Stop Produksi
puluhan ribu perajin sekapat tidak akan memproduksi dan memasarkan produknya ke pasar selama tiga hari.
Penulis:
Srihandriatmo Malau
Editor:
Sugiyarto

Kompas Nasional/AGUS SUSANTO
Kasmono (kiri) dan Palal, keduanya perajin tempe memisahkan kedelai dari kulitnya di Desa Cimanggu Barat, Kecamatan Tanah Sereal, Bogor, Jawa Barat, Senin (16/7/2012). Perajin tempe mengeluhkan semakin melambungnya harga kedelai impor dalam beberapa bulan terakhir dari Rp 5.500 per kilogram dan kini menjadi Rp 7.700 per kilogram. Sehari industri rumahan yang berdiri sejak tahun 1976 ini membutuhkan enam kuintal kedelai untuk produksi. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perajin tahu dan tempe Indonesia tidak main-main dalam melakukan aksi mogok produksi mulai 25-27 Juli 2012 mendatang. Pasalnya, puluhan ribu perajin sekapat tidak akan memproduksi dan memasarkan produknya ke pasar selama tiga hari.
Paling tidak, menurut Ketua Koperasi Perajin Tempe Tahu Indonesia (KOPTTI) Jakarta Selatan, Sutaryo, sebanyak 23 ribu perajin tahu dan tempe di Jabodetabek akan melakukan aksi stop produksi.
“Untuk demo mogok DKI 4 ribu-5 ribu. Tangerang 3 ribu, Bekasi 5 ribu, Bogor 5 ribu, dan Bandung 5 ribu perajin,” jelasanya kepada Tribun, Jakarta, Selasa (24/7/2012).
Malah menurutnya, aksi mogok produksi tempe di DKI Jakarta, sudah dimulai sejak Senin (23/7/2012) kemarin.
Lebih lanjut dia mengatakan, aksi mogok produksi tahu dan tempe yang dilakukan Perajin Tempe tahu Indonesia bisa dikatakan sebagai puncak gunung es dari pengalaman serupa tahun 2008 lalu.
Saat itu, sebanyak 20 ribu perajin tahu dan tempe melakukan aksi mogok produksi dan berdemonstrasi di Istana Negara dan DPR.
Aksi mogok dan demontrasi para perajin tahu dan tempe di depan Istana dan DPR saat itu, hanya ditanggapi pemerintah dengan memberikan sekedar “obat” penenang sementara.
Tanpa adanya realiasi yang berarti atas janji yang pernah diutarakan pemerintah. Khususnya, janji dan tekad mulia pemerintah saat itu, membawa Indonesia swasembada kedelai pada 2014.
“Swasembada kedelai 2014. Tapi kita lihat tahun demi tahun tidak ada peningkatan produksi kedelai lolal. Pemerintah juga tidak memberikan instrumen dan insentif buat petani. Kalau hanya melepas demikian saja kepada petani tanpa memberikan insentif, petani tidak bisa melakukan itu,” ungkap Sutaryo.
Ia mempertanyakan apa aplikasi nyata dari janji swasembada kedelai yang pernah disampaikan pemerintah tersebut. Apalagi, kini hal serupa kembali terjadi. Saat harga kedelai melambung tinggi dalam dua pekan terakhir, para perajin tahu dan tempe semakin terjepit dan suara mereka pun tidak dengarkan pemerintah.
Ia mengaku telah mendatangi dan menyampaikan masalah kenaikan harga kedelai yang begitu signifikan kepada pemerintah. Dan saat itu mengusulkan agar pemerintah mencari jalan keluar atas permasalahan yang menghimpit para perajin tahu dan tempe.
“Sebenarnya kita sudah usulkan ke pemerintah berkali-kali melalui Perindustrian. Segera pak, instrulmen Bea masuk impor kedelai 5 persen dihapus dulu. Tetapi ternyata diam-diam saja,” kesalnya.
Akibat berlarut-larutnya dan semakin meningginya kenaikan harga kedelai, perajin tak mampu lagi untuk menjalankan produksi. Karena selama dua pekan tersebut, perajin tahu dan tempe sangat merasakan kenaikan harga dari sebelumnya Rp5 ribu menjadi Rp 8 ribu per kilogram (kg). Itu berarti terjadi kenaikan sebesar 35-40 persen dari harga sebelumnya.
Namun, kenaikan harga kedelai tersebut, tidak bisa secara langsung membuat para perajin bisa menaikan harga jual tempe atau tahu. Apalagi kenaikan itu terjadi tiap hari.
“Karena setiap hari naik. Jadinya perajin tahu tempe tidak punya keuntungan. Karena tidak bisa tiap hari berubah harga. Selama dua minggu ruginya para perajin itu ya tidak untung,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyebutkan kebutuhan nasional untuk kedelai tercatat sebanyak 2,4 juta ton/tahun. Dan produksi nasional untuk kedelai sendiri hanya 600.000 ton/ tahun. Terdapat kekurangan, dan selama ini kekurangan tersebut ditutupi dengan impor, yang mencapai 1,8 juta ton/tahun.
Terkait hal itu, ia mengatakan dari total kebutuhan akan kedelai tersebut kebutuhan buat produksi tahu dan tempe rata-rata mencapai 80 persen. Sedangkan sisanya untuk kebutuhan lainnya. (*)
BACA JUGA: