Pengungsi Myanmar yang Melarikan Diri Pada 1991 Kini Aktif Membantu Komunitas Australia
Pengungsi asal Myanmar, Tin Hta Nu, telah berkontribusi banyak bagi komunitas Australia, namun ia masih harus menghadapi stereotip…
Tin Hta Nu menyebut Australia sebagai "tempat yang menyelamatkan hidupnya."
Sebelum bermigrasi dari Myanmar sebagai pengungsi politik pada tahun 1991, ia melihat teman dan rekannya ditahan bahkan hingga dibunuh karena terlibat gerakan pro-demokrasi.
Sebagai bentuk penghargaan terhadap Australia sebagai negara barunya, ia telah menetapkan hatinya untuk membantu orang lain yang kurang beruntung.
"Motto hidup saya adalah berbagi," katanya.
"Menyiapkan dan memberikan makanan kepada orang-orang dan melihat mereka menikmatinya adalah bentuk penghargaan untuk saya, penghargaan emosional."
Kini berusia 70-an dan tinggal di kota kecil Kendall, di NSW Mid North Coast, Tin sangat aktif dalam komunitas pengungsi setempat.
Ia mendirikan The Mid North Coast Refugee Support Group (MNCRSG) bersama teman-temannya dan berupaya membantu mereka beradaptasi dengan negara baru, sebuah tantangan yang dipahaminya dengan sangat baik.
Ia mendirikan taman komunitas dan kafe, menjadi sukarelawan di toko barang bekas, Kendall dan Asosiasi Perempuan Daerah, serta menyiapkan makanan gratis yang sangat banyak setiap minggunya untuk Laurieton United Services Club.
Tin suka menggunakan produk segar dari kebunnya untuk membuat makanan bagi para tunawisma dan mereka yang kurang beruntung, hingga memenangkan penghargaan 'Senior Citizen Living Treasure' untuk lansia pada Australia Day tahun ini.
Namun terlepas dari banyak prestasi dan cintanya untuk komunitasnya, Tin mengatakan ia dan pengungsi lain masih menghadapi stigma di dalam masyarakat Australia.
Kerap menerima stereotip
Tin merasa bahwa pengungsi terlalu sering dilihat sebagai beban negara, dan ingin menunjukkan seberapa banyaknya warga non-Australia yang dapat berperan dalam komunitas.
"Saya telah mencoba untuk membuktikan bahwa tidak semua pengungsi datang ke sini sebagai orang bodoh," katanya.
Ia bertemu dengan suaminya, Ian Oxenford, di University of New England (UNE) di Armidale, di mana ia menjadi dosen di bidang ekonomi dan pertanian dari tahun 1991-98.
Sepanjang menjalani hubungan bersama Ian, Tin menghadapi stereotip yang meresahkan.
"Ketika Ian dan saya pergi ke suatu tempat, mereka tidak menanyakan [pertanyaan] langsung kepada saya, seolah-olah saya tidak mengerti bahasa Inggris," katanya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.