Kamis, 2 Oktober 2025
ABC World

Putu Laxman Pendit Doktor Perpustakaan yang Tidak Dapat Tempat di Indonesia

Putu Laxman Pendit pernah memilih menekuni ilmu perpustakaan yang langka di Indonesia, bahkan sampai ke tingkat doktor. Namun, ia akhirnya…

"Inilah satu-satunya alasan saya bersedia meninggalkan pekerjaan yang waktu itu cukup mapan di bidang kewartawanan dan “berpindah ladang” ke dunia akademik yang sebenarnya jauh lebih 'kering'," katanya kepada ABC Indonesia. 

Menurut Putu Pendit, di akhir 1980-an hanya ada dua perguruan tinggi yang mendidik sarjana bidang perpustakaan di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran, Bandung.

Tapi kini sudah ada setidaknya 60 perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan diploma, sarjana, dan magister di bidang perpustakaan.

"Menengok ke belakang, saya merasa cukup bangga dan berhasil mencapai cita-cita saya, sebab berhasil menegaskan bahwa profesi pustakawan memerlukan landasan keilmuan."

"Tahun 1993 saya bersama Profesor Sulistyo-Basuki mendirikan sekolah magister (strata-2) – sebuah sekolah jenis pertama di Indonesia untuk bidang perpustakaan.

Meski sempat mendapat tentangan, kelak dari sekolah ini lahir puluhan magister yang menyebar ke universitas-universitas di luar Jakarta dan Bandung, lalu mendirikan jurusan-jurusan ilmu perpustakaan di berbagai tempat di Indonesia.

"Banyak rekan akademisi yang pesimistis dan bahkan mencibir. Untung saja, pimpinan fakultas dan universitas tidak menolak upaya kami mendirikan pendidikan profesional S2 Ilmu Perpustakaan dan Informasi yang pertama di Indonesia di Fakultas Sastra Universitas Indonesia."

Diberhentikan Universitas Indonesia, menetap di Australia

Setelah mengajar selama beberapa tahun di UI membangun pondasi pendidikan profesional perpustakaan, Putu Pendit kemudian bersemangat untuk melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas RMIT yang membuatnya tinggal di Melbourne sampai sekarang.

Pada awalnya, Putu yang melanjutkan pendidikan di Australia atas biaya sendiri ingin mendirikan pendidikan S3 di Indonesia di bidang pendidikan perpustakaan serta membantu perpustakaan-perpustakaan di Indonesia beralih ke teknologi informasi.

"Namun sepulangnya dari Australia dengan berbekal gelar doktor, saya justru menghadapi resistensi di Universitas Indonesia."

"Rencana saya untuk bekerja sama dengan RMIT mendirikan program studi double-degree kurang diterima dengan alasan tidak menguntungkan Indonesia dan lebih menguntungkan RMIT," katanya lagi.

Dalam waktu bersamaan ketika itu, enam bulan setelah dia diwisuda di RMIT, Pemerintah Australia memberikan status permanent residence kepada keluarga Putu.

"Saya menghadapi dilema. Di satu sisi pihak kampus menegaskan saya harus hadir penuh di Indonesia sebagai dosen dan pegawai negeri, di lain sisi saya tidak ingin kehilangan kesempatan untuk keluarga tinggal di Australia, terutama bagi kepentingan kedua putri kami yang waktu itu masih setingkat SMP."

Putu Pendit kemudian menawarkan diri untuk hadir di Indonesia sebagai dosen tidak tetap dan hanya mengajar dua kali setahun selama 3 bulan dengan biaya transportasi yang ditanggung sendiri.

"Tetapi nampaknya tawaran saya ini tidak sesuai dengan skema kepegawaian UI waktu itu dan dengan berbagai cara yang sampai sekarang saya masih merasa diberlakukan tidak-adil, akhirnya saya diberhentikan secara tidak hormat pada tahun 2007 dan semua kegiatan serta upaya saya di UI selama ini dihapuskan dari catatan mereka."

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved