Sabtu, 4 Oktober 2025
ABC World

Mengapa Brunei Tidak Jadi Terapkan Hukuman Mati Bagi Homoseksual?

Pemerintah Brunei Darussalam tampaknya mundur dari rencana menerapkan undang-undang baru yang menjadikannya sebagai negara pertama…

Pemerintah Brunei Darussalam tampaknya mundur dari rencana menerapkan undang-undang baru yang menjadikannya sebagai negara pertama di Asia Timur yang menghukum mati homoseksual. Tapi kenyataannya lebih kompleks.

Pada bulan April lalu, negara kecil di Asia Tenggara tersebut meluncurkan fase terakhir dari Perintah Hukum Pidana Syariah (SPCO) yang kontroversial, sebuah interpretasi ketat soal hukum Islam atau syariah, dengan menganjar pelaku sodomi, perzinahan dan pemerkosaan dengan hukuman mati dalam bentuk rajam.

Tetapi setelah kampanye yang digencarkan oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, beserta pemerintah negara Barat dan sejumlah selebritas, Sultan Hassanal Bolkiah, yang juga Perdana Menteri negara itu, secara mengejutkan mengumumkan pada hari Minggu setelah beberapa minggu bahwa pemerintahannya akan memperpanjang moratorium hukuman mati menjadi pelanggaran berdasarkan undang-undang hukum pidana yang baru.

"Saya menyadari bahwa ada banyak pertanyaan dan kesalahan persepsi terkait dengan implementasi SPCO. Namun, kami percaya bahwa setelah ini diselesaikan, manfaat hukum akan jelas," katanya dalam pidato untuk menandai dimulainya bulan suci Ramadan.

"Sebagai bukti selama lebih dari dua dekade, kami telah mempraktekkan moratorium de facto atas eksekusi hukuman mati untuk kasus-kasus berdasarkan hukum biasa. Ini juga akan diterapkan pada kasus-kasus di bawah SPCO yang memberikan ruang lingkup yang lebih luas untuk pengurangan."

Meskipun mempertahankan hukuman mati dalam aturan hukum, Brunei tidak melakukan eksekusi selama beberapa dekade.

Di saat undang-undang anti-gay yang keras tetap ada, pengamat telah berjuang untuk membongkar apa yang mungkin mendorong klarifikasi yang tiba-tiba dan sangat umum. Berikut ini beberapa kemungkinannya.

Brunei bertindak sebelum peninjauan PBB

Pengumuman Sultan muncul sebelum tampilnya Brunei di hadapan Peninjauan Umum Periodik di Dewan Hak Asasi Manusia PBB, hari Jumat ini, dimana negara-negara anggota memeriksa catatan hak asasi manusia suatu negara selama empat tahun terakhir.

Empat hari setelah SPCO diperkenalkan, Menteri Luar Negeri Brunei Erywan Pehin Yusof menulis surat ke Kantor Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) untuk membela kebijakan tersebut, mengklaim bahwa hukum pidana syariah "lebih fokus pada pencegahan daripada hukuman".

"Tujuannya adalah untuk mendidik, mencegah, merehabilitasi, dan memelihara daripada menghukum," bunyi suratnya.

"Ini berusaha untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara melindungi hak-hak orang yang dituduh dan hak-hak para korban dan keluarga mereka."

Sejumlah negara, termasuk Australia, telah mengajukan keprihatinan dengan Brunei atas penerapan hukum pidana, yang juga dikecam oleh Komisioner HAM PBB Michelle Bachelet dengan menyebutnya sebagai "kejam".

Brunei, yang sampai sekarang membela undang-undang baru ini, kemungkinan akan menghadapi teguran pada tinjauan PBB hari Jumat.

Menurut Paula Gerber, direktur Pusat Hukum Hak Asasi Manusia Castan, "Sultan sepertinya terlihat mengatakan \'kami sudah berubah pikiran tentang ini, kami sekarang tidak akan menerapkan hukuman mati \'. "

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved