WNI di Luar Dirayu Pulang, Begini Tanggapan Diaspora RI di Australia
Akhir Januari lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia (RI), Darmin Nasution, sempat melontarkan wacana pemberian…
Akhir Januari lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Republik Indonesia (RI), Darmin Nasution, sempat melontarkan wacana pemberian insentif kepada diaspora Indonesia di luar negeri yang bersedia pulang dan bekerja di tanah air. Rencana ini ditanggapi beragam oleh beberapa diaspora RI di Australia atau mantan diaspora yang sudah kembali ke tanah air. Iming-iming jabatan ternyata bukanlah faktor utama bagi diaspora agar bersedia pulang.
Tahun lalu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2017 tentang Fasilitas Bagi Masyarakat Indonesia di Luar Negeri. Dalam Perpres ini diatur mengenai pemberian Kartu Masyarakat Indonesia di Luar Negeri (KMILN) kepada masyarakat Indonesia di Luar Negeri yang memenuhi persyaratan dan kriteria tertentu sepanjang tidak memiliki masalah hukum dengan pemerintah Indonesia.
Tahun ini, Pemerintah RI kembali berencana memberi fasilitas baru bagi masyarakat Indonesia di luar negeri (diaspora), baik mereka yang masih berstatus sebagai warga negara (WNI) atau sudah bukan warga negara, Upaya ini dilakukan agar para diaspora bersedia untuk pulang dan bekerja sebagai tenaga ahli di tanah air.
Kepada Nurina Savitri dari ABC, Kementerian Perekonomian RI membenarkan rencana insentif bagi diaspora tersebut.
“Yang lagi dibahas saat ini untuk yang talent digital karena kita kekurangan tenaga ahli di bidang tersebut. Untuk bidang lainnya juga akan diberikan tetapi bertahap,” jelas Asisten Deputi Ketenagakerjaan Kemenko Perekonomian RI, Yulius, lewat pesan teks.
ABC kemudian berbicara dengan beberapa diaspora RI di Australia mengenai rencana tersebut. Salah satunya adalah Adi Suryawiraman yang telah menetap di Australia selama lebih dari 14 tahun.
Menurut Adi, jika Pemerintah RI ingin menarik perhatian diaspora agar bersedia pulang, maka mereka harus melakukan upaya khusus.
“Kalau Pemerintah ingin membuat para diaspora untuk kembali ya harus menyediakan apa-apa yang para diaspora tersebut dapatkan di negara lain. Setiap orang mempunyai alasan yang berbeda-beda soalnya,” ujar pria yang menetap di Perth ini.
Lebih lanjut diaspora yang berprofesi sebagai insinyur sipil-pertambangan ini mengatakan, jabatan mungkin menggiurkan bagi sebagian orang, meski bagi sebagian lainnya, jabatan tidak terlalu penting.
Ia menuturkan, pendekatan yang mungkin paling mudah adalah lewat penawaran gaji.
“Kalau saya termasuk yang "wani piro (berani bayar berapa)" itu tadi (tertawa). Idealnya jadi ekspatriat di negara sendiri,” sebut alumnus Institut Teknologi Surabaya (ITS) ini.
Adi sendiri sempat bekerja di Indonesia pada periode 2010-2012, tepatnya di sektor pertambangan bersama perusahaan asal Australia. Dari pengalaman itu, ia mengetahui adanya faktor ketidakpastian hukum dalam dunia profesional di tanah air.
“Hal yang seperti ini juga salah satu penyebab kenapa banyak teman-teman diaspora "malas" pulang. Salah satu enaknya kerja di sini itu benar-benar profesional. Kalau kerja nggak perlu mikir faktor-faktor "x" lain, maksudnya nggak perlu takut bos marah, kalau kita benar ya kita bisa argue (mengeluarkan pendapat) sama bos kita,” utaranya.
Ia lalu menambahkan, “Mereka bos cuma di lingkungan kerja saja, di luar itu ya seperti teman biasa, nggak perlu mikir harus ngasih "upeti" sana sini, kalau proyek sudah ada izin ya sudah bisa jalan, nggak akan ada "aparat" yang mengganggu.”