Dirjen Kemenhan : Banyak Ancaman Non Militer Di Masa Depan
Di masa mendatang, ancaman pada suatu bangsa lebih banyak berupa ancaman non militer

TRIBUNNEWS.COM MAGELANG, – Di masa mendatang, ancaman pada suatu bangsa lebih banyak berupa ancaman non militer. Sehingga para taruna militer perlu dibekali pendidikan pertahanan atas ancaman non militer sejak dini. Begitu pula masyarakat juga perlu menyiapkan diri menghadapi ancaman masa depan.
Hal itu dikatakan Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan, Kementerian Pertahanan, Pos M Hutabarat, usai menjadi pembicara kunci dalam seminar Nasional Pembangunan Karakter dan Pertahanan Negara. Dalam seminar yang diselenggarakan Akmil dan Unnes di gedung A.H. Nasution Lantai II Jln Gatot Subroto, Akmil, Selasa (19/2/2013), ia hadir mewakili Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro.
"Pada masa depan ancaman militer itu berkurang, yang banyak itu ancaman nonmiliter, misalnya ancaman cyber, virus yang bisa menghancurkan bangsa dan ideologi kita," katanya.
Hutabarat mengatakan, bahwa kehidupan konsumerisme juga menjadi ancaman bangsa ini. Oleh karena itu, para taruna Akmil harus diberi penekanan bahwa ancaman militer adalah tanggungjawab mereka, dan ancaman nonmiliter mereka ikut terlibat jika terjadi depkalasi yang bisa menghancurkan seluruh bangsa.
Selain itu, jika terjadi bencana juga merupakan bagian tugas militer yang disebut dengan operasi militer bukan perang.
"Jadi terjadi bencana tsunami, banjir, bahkan bencana sosial, juga menjadi bagian tugas militer untuk menanganinya," katanya.
Ia mengatakan, beberapa waktu lalu saat Pekan Olahraga Nasional, tiga hari menjelang pembukaan persiapan belum siap maka dikerahkan anggota TNI untuk membantu periapan tersebut.
"Hal itu merupakan salah satu contoh kepedulian TNI dalam memperlancar seluruh kehidupan bangsa dan negara," katanya.
Untuk memperkuat bekal para taruna, memang telah dirubah kurikulum di Akmil. Sebanyak 70 persen tetap kegiatan yang berhubungan dengan militer, tetapi 30 persen kegiatan yang mencakup ilmu utama, seperti kegiatan sosial kemasyarakatan atau pendidikan karakter. Dengan begitu, pendidikan di akmil saat ini sudah setara dengan pendidikan setara sarjana universitas S1.
"Itu artinya setelah lulus dari pendidikan Akmil bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan S2 dan seterusnya," ujarnya.
Ia menambahkan, yang perlu ditekankan pula pada masyarakat khususnya generasi muda sekarang ini adalah rasa rela berkorban untuk bangsa dan negara. Yaitu, bagaimana hidup saling berdampingan ditengah masyarakat, saling toleransi dan membantu sesama warga yang membutuhkan.
"Kurikulum seperti itu yang sebenarnya dibutuhkan, tidak hanya di Akmil, akan tetapi juga perlu diterapkan pada kurikulum pendidikan umum lainnya. Menjaga ketahanan negara adalah long life," tegasnya.
Sementara itu terkait ancaman terorisme, Pos menyatakan bahwa hal itu adalah kewenangan Polri sesuai undang-undang. Karena terorisme bagian dari operasi non militer, kecuali terorisme dari luar yang bisa mengancam pertahanan dan kesatuan NKRI itu tugas TNI.
"Namun sesuai undang-undang, Polri bisa meminta bantuan TNI jika diperlukan," pungkasnya.
Peneliti Puslit Kemasyarakatan Kebudayaan LIPI, Jaleswari Pramodhawardani, yang menjadi salah satu nara sumber seminar, mengatakan, kurikulum pendidikan Akmil perlu merespon perkembangan dan tren ancaman terkini. Perlu ada perombakan dalam materi pendidikannya sesuai pasal 2 ayat 4 Jati Diri TNI dalam UU TNI.
“Hal tersebut penting untuk dieksplorasi agar Akmil tidak menghasilkan sekadar seorang teknisi, melainkan prajurit profesional yang matang dalam mengkalkulasi situasi, termasuk dalam zona war yang efektif,” katanya.(had)