Ratusan Pelaku UMKM Bantul Alami Kredit Macet
Mujiyo (77) mengaku hampir tak percaya, apa yang menjadi bebannya selama ini akhirnya menemui titik terang.

TRIBUNNEWS.COM BANTUL, - Membaca berita mengenai penghapusan kredit macet Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) bagi korban gempa bumi yang terjadi pada tahun 2006 oleh Kementrian BUMN RI, Mujiyo (77) mengaku hampir tak percaya, apa yang menjadi bebannya selama ini akhirnya menemui titik terang.
Bagaimana tidak, warga Ngentak Mulyodadi, Bambanglipuro ini sudah menunggu kebijakan ini selama bertahun-tahun sejak Koperasi Tani Wanita Ekowati yang dirintisnya mengalami kredit macet akibat gempa tahun 2006 silam.
Ia pun setidaknya bisa bernafas lega, akan ada solusi dari pemerintah terhadap kredit macet sebesar Rp 300 juta atas nama koperasinya tersebut. Sebab, pengajuan pinjaman kepada Bank Tabungan Negara (BTN) kala itu, menggunakan agunan berupa sertifikat tanak milik Mujiyo.
"Ibaratnya seperti mendapat durian runtuh. Saya sangat senang sekali, ada kebijakan dari pemerintah, semoga bisa segera diurus," ujarnya di temui di rumahnya, Selasa (5/2).
Mujiyo yang saat ini masih menjabat sebagai manager di koperasi yang bergerak pada jasa simpan pinjam tersebut menuturkan, sebelum gempa tujuh tahun silam, ia berinisiatif mendirikan sebuah koperasi simpan pinjam yang bertujuan mengelola para pedagang pisang di Dusunnya tersebut.
Bapak lima anak ini pun lantas merelakan sebuah sertifikat tanahnya dijadikan agunan agar mendapatkan permodalan dari BTN kala itu. Keputusan untuk menambah modal koperasi pun bukan tanpa dasar, lantaran sebelumnya, pinjaman modal dari bank yang sama sebesar Rp 100 juta sukses dikembalikan dalam jangka waktu dua tahun.
"Saya berani menambah pinjaman modal, karena pinjaman yang pertama sebesar Rp 100 juta lancar. Apa boleh buat, karena bencana gempa, pinjaman yang kedua Rp 300 juta, hanya sekali saja bisa kami bayarkan cicilannya," ungkapnya.
Pasca gempa hebat tersebut, praktis semua kegiatan perekonomian sekitar 100 warga anggota koperasi tersebut terhenti. Jangankan untuk membayar cicilan, memikirkan makan sehari-haripun mereka harus bersusah payah.
"Pinjaman Rp 300 juta itu dipinjamkan kepada sekitar 100 an warga anggota koperasi, maksimal hanya Rp 5 juta," terang Mujiyo.
Mujiyo pun masih berandai-andai bila diminta mengingat lagi, gempa yang telah membuat keluarga dan seluruh tetangganya tersebut lumpuh total dalam kegiatan ekonomi.
"Bila saja ngga terjadi gempa, saya optimis, pinjaman tersebut akan lancar kami bayar cicilannya," ucapnya.
Kini, meskipun belum maksimal, perlahan tapi pasti, koperasinya tersebut mulai bergeliat, hanya saja kendala permodalan selama ini masih menjadi masalah utama. "Adanya kredit macet tersebut, otomatis, kami tidak bisa lagi mengandalkan pinjaman dari bank, sebab, kami tercatat dalam BI checking dan tak bisa lagi meminjam," terangnya.
Lain halnya yang dialami oleh Syaad Bisyir (38), pelaku UMKM budidaya perikanan ini menyayangkan mengapa kebijakan penghapusan kredit macet tidak dilakukan pada saat warga korban gempa benar-benar membutuhkan bantuan secara mental dan perekonomian.
Ia pun menuturkan, gempa 2006 silam telah menguburkan impian usahanya di bidang perikanan. Kala itu, Syaad harus memikirkan keberlangsungan hidup keluarganya ditambah ada tanggungan sebesar Rp 40 juta dari pinjaman di sebuah bank milik pemerintah.
"Setelah gempa itu saya kalang kabut, semua usaha perikanan saya hancur, tapi saya tetap berusaha membayar kewajiban saya selaku debitur. Meskipun berat sekali, sebab harus bertahan menghidupi keluarga dengan sisa dana yang pas-pasan," ujarnya ditemui di tempat usaha mebel bekas miliknya di Jalan Protokol Bantul, Selasa (5/2).