Regulasi Anti-Rokok Merupakan Kriminalisasi Kegiatan Merokok
Pengamat politik internasional Fisip Universitas Indonesia Syamsul Hadi, Ph.D menilai regulasi-regulasi
TRIBUNNEWS.COM - Pengamat politik internasional Fisip Universitas Indonesia Syamsul Hadi, Ph.D menilai regulasi-regulasi anti-rokok dan “kriminalisasi” kegiatan merokok yang disponsori oleh lembaga-lembaga internasional yang punya kepentingan bisnis tertentu, baik yang bersifat lembaga antarnegara maupun lembaga non-pemerintah merupakan bentuk kriminalisasi yang dilakukan Negara terhadap industri rokok nasional. Hal ini disampaikan Syamsul Hadi, P.hD dalam diskusi yang berlangsung, Kamis (17/1/2013), di Jakarta, seperti yang tertulis dalam rilis yang dikirim ke redaksi Tribunnews.com.
Menurut Syamsul, beban industri rokok nasional berupa standarisasi, kenaikan cukai yang terus-menerus, dan regulasi-regulasi yang dipromosikan oleh kepentingan internasional tidak hanya masuk lewat pemerintah pusat, tetapi justru lebih gencar masuk melalui pintu pemerintah-pemerintah daerah seiring dengan penerapan otonomi daerah. Hasilnya, perusahaan-perusahaan rokok berskala kecil pun gulung tikar.
“Perusahaan-perusahaan asing di bidang rokok seperti Phillip Morris (PM) dan British American Tobacco (BAT) makin menguasai pasar Indonesia, sementara perusahaan-perusahaan farmasi internasional yang mengampanyekan produk-produk anti nikotin bersiap meraup untung dari proyek besar untuk mengatasi “penyakit” merokok di masyarakat,” paparnya.
Salah satu kekuatan yang paling gencar membiayai kegiatan anti rokok adalah perusahaan-perusahan farmasi multinasional seperti Johnson and Johnson, Ciba-Geigy, Novartis, Pharmatia & Upjohn, dan Glaxo Wellcome. Mereka membiayai kegiatan-kegiatan WHO, LSM dan lembaga-lembaga riset yang diharapkan mensosialisasikan bahaya merokok dan perlunya mengobati rokok dengan obat pengganti nikotin. Mereka mensponsori terapi ketergantungan kepada nikotin ini dengan berbagai macam obat anti ketergantungan pada rokok. Bahkan Bank Dunia termasuk giat mempromosikan ini.
Bayangkan, dengan memberikan cap bahwa rokok adalah “penyakit kronis”, maka bisa dijalankan proyek berupa mendirikan klinik-klinik ketergantungan kepada rokok, yang sekaligus menjadi lahan untuk menjual produk-produk anti nikotin yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan farmasi di atas. Karena kegiatan merokok dianggap “penyakit”, maka ada peluang proyek berupa pembangunan klinik terapi anti rokok sekaligus penjualan obat-obat anti ketergantungan kepada rokok.
“Peluang proyek sudah pasti menguntungkan lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia (dan WHO), serta perusahaan-perusahaan farmasi internasional seperti Novartis, Johson & Johnson dan Ciba-Geigy,” terangnya.
Sebelumnya diwartakan, Dirjen Agro Kementerian Perindustrian, Benny Wahjudi, menyatakan bahwa bakal ada dampak bagi industri kecil dan menengah terkait diberlakukannya PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Benny menambahkan, nantinya industri rokok itu akan mengalami penurunan produksi dan pemasaran dan juga akan berdampak pada menurunnya pembelian bahan baku dari petani.
Syamsul menjelaskan, pernyataan Dirjen Agro Kemenperin sebenarnya menyiratkan pengakuan, bahwa PP ini akan memiliki dampak yang serius bagi indusri rokok. “Indusri rokok yang merupakan satu-satunya industri nasional yang sampai saat ini masih sanggup bertahan di tengah dominasi asing di segala sektor dalam ekonomi Indonesia, praktis menjadi satu-satunya industri nasional yang masih bertahan,” jelasnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, dibandingkan dengan sektor industri lain, seperti industri otomotif, perbankan, dan elektronik. Industri tekstil yang disebut sebagai salah satu unggulan Indonesia di pasar internasional mengalami pukulan yang telak akibat Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China (CAFTA). Begitu pula industri mainan anak-anak. “Industri rokok atau tembakau adalah satu-satunya industri yang menggunakan bahan baku, tenaga kerja, teknologi, dan pasar nasional secara terintegrasi,” ungkapnya.
Tinjau Ulang PP 109/2012
PP 109/2012 adalah bagian dari regulasi yang melihat aktivitas merokok sebagai kegiatan negatif, dan kurang memperhatikan aspek-aspek terkait kontribusi sosial ekonomi rokok bagi sejumlah besar rakyatIndonesia. PP ini merupakan bagian dari keberhasilan kampanye anti rokok internasional, yang sebenarnya tidak bisa dilihat sebagai “bebas nilai” atau “bebas kepentingan”.
Menurut peneliti IGJ Salamuddin Daeng, PP ini harus segera dibatalkan atau minimal ditinjau ulang. Dampak yang ditimbulkannya sangat jelas, yaitu industri rokok Indonesia akan makin dimonopoli asing yang lebih bisa mengikuti “standar kesehatan” yang dibuat lembaga-lembaga internasional.
“Industri rokok kecil dan menengah akan berguguran. Petani tembakau dan cengkeh juga akan jadi korban karena standarisasi dalam produksi rokok diperkirakan akan menambah kecenderungan impor,” tukasnya.
NASIONAL POPULER