Indonesia Perlu Gelar Rekonsiliasi Nasional
Indonesia perlu mengadakan rekonsiliasi nasional, untuk menyikapi perubahan dan gonjang-ganjing politik.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia perlu mengadakan rekonsiliasi nasional, untuk menyikapi perubahan dan gonjang-ganjing politik yang semakin meningkat sejak Oktober 2012.
Tindakan ini diperlukan, mengingat konflik tak hanya terjadi pada tingkat penyelenggara negara, tapi juga melanda kelompok horizontal di daerah-daerah.
Konflik dalam berbagai dimensinya, dikhawatirkan tidak dapat diperbaiki lagi, dan mengarah pada perpecahan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Demikian diungkapkan Ketua Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Muliawan Margadana, dalam keterangan yang diterima Tribun, Senin (3/12/2012).
Muliawan menjelaskan, sejak September 2012, konflik horizontal di daerah terjadi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur Utara (Kaltara), Lampung, Papua, Ternate, dan Sulawesi Utara.
Sementara, di tingkat penyelenggara negara, terjadi ketidakharmonisan dalam hidup bernegara yang menyentuh MK, Sekretaris Kabinet, MA, KPK, Polri, Menteri BUMN, DPR, NU, dan Partai Demokrat.
Ketidakharmonisan dengan berbagai sebab, harus menjadi keprihatinan bersama, baik pemerintah di tingkat pusat dan daerah, juga masyarakat.
“Kami baru menghitung ketidakharmonisan atau konflik yang terjadi sejak September-Desember 2012. Dari data yang ada dapat disimpulkan, betapa seakan negara ini tidak memiliki pegangan lagi dalam hidup berbangsa dan bermasyarakat. Kita akan terperangah ketika menghitung data-data konflik serta korban jiwa, harta, dan trauma tahun ini,” ujar Muliawan.
Muliawan menjelaskan, alasan utama terjadinya konflik atau ketidakharmonisan, adalah absennya keteladanan dari para penyelenggara dan tokoh nasional dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Perilaku para pemimpin tidak berbeda dengan konflik horizontal yang terjadi di daerah-daerah. Rakyat selalu mendapatkan tontonan konflik sebagai berita utama acara televisi maupun laporan media, yang menonjolkan kekuatan kelompok, merendahkan martabat orang yang kalah, menjadikan orang lain sebagai musuh bagi yang tidak sesuai dengan pandangannya, serta rendahnya moralitas dan etika.
“Tidak ada ruang solidaritas dalam kemelut atau konflik. Semua masalah harus diselesaikan dengan kekuatan massa atau kekuasaan. Jika ruang solidaritas dalam permasalahan tidak muncul, soliditas dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa akan mempengaruhi pada kehidupan bernegara. Demikian juga sebaliknya, jika pihak penyelenggara negara tidak memberikan ruang solidaritas dalam kasus-kasus yang muncul, adu kekuatan dan kekuasaan akan muncul dengan sendirinya,” papar Muliawan.
Ia mengkhawatirkan kemelut atau konflik yang berlarut-larut dan semakin meningkat, akan sulit diredam.
Alasannya, Polri terlihat kewalahan menangani konflik-konflik di daerah, dan terkesan kurang mendapat kepercayaan lagi.
Kedua, jika para pemimpin bangsa dan penyelenggara negara melihat 2013-2014 sebagai tahun politik perebutan kekuasaan, maka dalam kondisi yang karut marut, konflik-konflik atau perseteruan tingkat elite kembali akan berimbas pada munculnya konflik di masyarakat.
Jika ini tidak disadari oleh seluruh pempimpin bangsa, ketidakharmonisan di Indonesia akan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang melihat terpecahnya bangsa, sebagai kesempatan untuk melegalkan tindakan mereka dalam mencapai ideologi gerakannya.
Demikian pula negara-negara asing, akan mencoba mengambil kesempatan dan keuntungan, dalam rendahnya rasa persatuan dan kesatuan bangsa.