BP Migas Dibubarkan
Pembubaran BP Migas Harus Teguhkan Penguasaan Negara
Pemerintah harus melakukan tindakan cepat dan kebijakan yang tepat terhadap pembubaran BP Migas oleh MK.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa (13/11/2012) mengeluarkan keputusan bahwa Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.
Keputusan tersebut berdampak pada pembubaran BP Migas. Keputusan ini harus segera direspon oleh Pemerintah baik dari tataran kelembagaan maupun kepastian regulasi, agar iklim investasi migas tetap positif.
“Pemerintah harus melakukan tindakan cepat dan kebijakan yang tepat terhadap pembubaran BP Migas oleh MK. Bukan hanya masalah pemindahan otoritas dan kewenangan BP Migas kepada Kementerian ESDM semata, namun juga Pemerintah harus memastikan adanya akselerasi kebijakan dan tata kelola migas di sektor hulu yang berpihak kepada kepentingan nasional," ungka[ Anggota Komisi VII DPR RI Rofi munawar dalam pesan tertulis kepada Tribunnews.com.
Ia mencontohkan, seperti secara konsisten mendesak audit atas lifting yang sahih dan dikontrol secara ketat melalui real-time monitoring. "Sehingga dapat dilakukan antisipasi secara dini atas kegagalan pemenuhan target, juga meminta Pemerintah lebih serius mengungkap biaya Cost Recovery yang angkanya terus meningkat secara tajam,”tambahnya.
MK dalam pertimbangannya mengatakan hubungan antara negara dan sumber daya alam Migas sepanjang dikonstruksi dalam bentuk KKS antara BP Migas selaku Badan Hukum Milik Negara sebagai pihak pemerintah atau yang mewakili Pemerintah dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagaimana diatur dalam UU Migas bertentangan dengan prinsip penguasaan negara yang dimaksud oleh konstitusi.
Rofi menjelaskan, BP Migas menggantikan peran Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) Pertamina dalam pengawasan pengendalian kontraktor pengusahaan hulu migas. Di banyak negara dunia selain Indonesia, peran pengawasan dan pengendalian hanya dua jenis yaitu berada pada Pemerintah (Kementerian) atau Perusahaan Negara.
“Jika kewenangan dan otoritas yang dimiliki BP Migas selama ini dipindahkan ke ESDM, maka harus menjamin juga bahwa semangat konstitusi dan penguasaan migas nasional lebih diutamakan. Jika lembaga berganti, namun peran dan fungsinya tidak optimal maka keputusan tersebut menjadi hal yang sia-sia.” tegas Rofi.
MK menjelaskan fakta BP Migas saat meneken kontrak kerja sama (KKS) telah menghilangkan kebebasan negara untuk membuat regulasi yang bertentangan dengan isi KKS. Dengan demikian, keberadaan BP Migas membatasi negara untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat UUD 1945.
Legislator dari Jatim VII ini menambahkan, “Keputusan MK ini tentu harus menjadi salah satu pijakan dasar bagi pengelolan migas dimasa yang akan datang. Karenanya dibutuhkan keseriusan dari Pemerintah dalam mendorong efisiensi pengelolaan, efektifitas penerimaan negara dan peningkatan produksi migas nasional di sektor hulu. ”
MK menyatakan frasa "dengan Badan Pelaksana" dalam Pasal 11 Ayat (1), frasa "melalui Badan Pelaksana" dalam Pasal 20 Ayat (3), frasa "berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 21 ayat (1), frasa "Badan Pelaksana dan" dalam Pasal 49 UU Migas, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (*)
BACA JUGA: