Pengusaha Ancam Relokasi Pabrik karena Buruh Banyak Menuntut
Niat pengusaha untuk merelokasi pabrik, juga dipicu gejolak buruh yang menuntut kenaikan upah.

TRIBUNNEWS.COM, SOREANG - Sejumlah pemilik pabrik di Jawa Barat (Jabar) mengancam akan merelokasi pabrik, menyusul banyaknya tuntutan tenaga kerja yang dinilai merugikan pengusaha.
Niat pengusaha untuk merelokasi pabrik, juga dipicu gejolak buruh yang menuntut kenaikan upah.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar Hening Widiatmoko mengatakan, ketika banyak menuntut tanpa memahami kondisi pengusaha, relokasi pabrik sangat mungkin terjadi.
"Sebuah pabrik di Purwakarta sudah hampir kolaps. Rencananya mau merelokasi industrinya ke Vietnam atau provinsi lain. Kalau sudah seperti ini, yang rugi kita semua. Karena, banyak yang akan kehilangan lapangan pekerjaan," ujar Hening ketika ditemui Tribun di Soreang, Selasa (6/11/2012).
Hening enggan memberitahu kapan persisnya relokasi pabrik dilakukan. Dia juga meminta semua pihak, termasuk pengusaha dan buruh, menjaga untuk tidak beraksi terlalu berlebihan.
"Kalau pengusaha mengancam untuk merelokasi industrinya, juga tidak benar. Coba bicara terbuka. Kalau pekerja menuntut ganti rugi dan pengusaha mengancam relokasi, ribuan orang akan menganggur," tuturnya.
Hening menuturkan, Kuningan tercatat sebagai daerah yang memiliki nilai kebutuhan hidup layak (KHL) yang paling rendah di Jabar. Namun, Hening menolak mengatakan daerah yang memiliki KHL tertinggi.
"Kuningan yang paling rendah karena tidak memiliki industri. Untuk masalah survei, kabupaten/kota memiliki otoritas melakukannya. Ada aturannya, kami tidak boleh melakukan intervensi. Kami sudah mengundang daerah untuk duduk bersama," katanya.
Hening memaparkan, tuntutan serikat buruh untuk penyeragaman upah minimum kabupaten dan kota (UMK) di Bandung Raya sebesar Rp 2 juta, tidak mungkin direalisasikan. Menurut Hening, ketika ada survei di luar 60 komponen, berarti hal tersebut melanggar aturan.
"Kita kan negara hukum. Jangan sampai gara-gara menuntut terlalu banyak, lalu melupakan kepentingan usaha," ujarnya. (*)