Tribunners / Citizen Journalism
Kartel Politik, Musuh Kita
Belum lama ini, ketua KPK Abraham Samad berjanji ada kemajuan yang mengejutkan dalam pengusutan kasus Hambalang. Media dan publik luas
Oleh: Boni Hargens
TRIBUNNEWS.COM, BERLIN - Belum lama ini, ketua KPK Abraham Samad berjanji ada kemajuan yang mengejutkan dalam pengusutan kasus Hambalang. Media dan publik luas tentu berharap banyak di balik pernyataan yang lezat itu. Sampai sekarang, itu tak terbukti. Mungkin kita semua kecewa. Saya hanya ingin memberi komentar kepada kawan-kawan media, soal ini semua.
KPK memang instrumen terdepan dalam membangun pemerintahan yang bersih. Ekspektasi publik yang begitu besar merupakan cermin dari anima yang besar pula terhadap perubahan berdemokrasi.
Kasus Hambalang, seperti kasus besar lain, adalah ujian bagi KPK dalam memenuhi ekspektasi publik itu. Kita punya hak untuk menuntut itu.
Namun, dalam kasus korupsi yang kental muatan politik seperti ini, kita harus punya pandangan yang juga fleksibel. KPK secara ideal harusnya mampu menangani siapapun yang terjebak dalam kasus korupsi. Tapi apakah itu mungkin di Indonesia?
Korupsi politik di Asia Tenggara tidak banyak mengalami perubahan setelah reformasi konstitusi di negara-negara di kawasan tersebut. Saya melihat, hal ini terjadi karena penguatan institusi politik tidak sejalan dengan penguatan internalisasi nilai demokrasi dalam masyarakat posttransisional.
Indonesia bukan kasus tunggal. Thailand, Filipina, Laos, Vietnam adalah Negara yang sama lambannya dalam mengurangi korupsi politik. Malaysia sedikit lebih maju, tapi bukan karena korupsi berkurang, tapi karena pengungkapannya tidak semassif di Negara lain di kawasan ini.
Politik di Asia Tenggara masih dikuasai oleh kelompok oligarki. Kasus Indonesia, dalam pandangan saya, lebih lain lagi. Oligarki politik sebagian sudah menjelma menjadi kartel setelah mereka menyusup ke dalam partai politik, entah sebagai elite atau sebagai pemain belakang layar.
Konteks ini perlu dipahami sebagai Lebensraum, ruang hidup, dari korupsi politik dan segala bentuk praktek politik yang melawan spirit reformasi. Bagaimana ini bisa dijelaskan?
Kartel politik adalah sebuah sistem, bukan pemain tunggal. Ia bekerja memanipulasi proses politik untuk tujuan-tujuan parsial yang berkaitan dengan penguasaan dan penguatan sumberdaya ekonomi politik. Kartel bekerja keras dalam tiap pemilu untuk memenangkan siapapun yang berpotensi. Sampai di sini, kita paham kenapa koalisi politik sesudah pilpres selalu di luar logika normal.
Setelah kekuasaan berjalan, kartel tetap bekerja, di atas dan di bawah permukaan. Mereka mengatur institusi politik, partai, pemerintahan, parlemen, termasuk institusi hukum. Terbangun suatu simbiosisme mutual dalam satu jaringan bosisme yang samar, tapi nyata, dan sulit dibaca dari luar oleh masyarakat awam.
Mereka bekerja secara "gotong royong“ untuk menguasai sumber daya ekonomi politik, termasuk ketika mereka mengatur regulasi di parlemen dan eksekusinya di level eksekutif.
Menariknya, begitu terjadi skandal, hasilnya dibagi bersama, tetapi tanggung jawabnya tidak bisa sama-sama. Kartel hanya mengatur, bagaimana korban tertentu diselamatkan agar sistem besar ini tidak runtuh.
Dalam tiap kasus, pasti ada yang diborgol tapi pastinya ia bukan pemain utama dalam sistem ini. Kenapa? Kartel sudah mengatur dan menguasai seluruh sistem. Bahkan hak prerogatif presiden tak bermakna dalam praktek. Makanya presiden bisa nggak suka menteri tertentu ada dalam kabinetnya. Tapi ia harus terima.
Dalam kasus Hambalang, dan kasus lain, logika ini menjadi ekosistem dari buntunya pengusutan kasus atau rumitnya memahami kerja KPK.
KPK bukan lembaga yang bisa tegas seperti diharapkan. Mereka adalah manusia yang juga bekerja dalam ruang politik yang tidak netral. Mereka tidak bisa bebas menjalankan tanggung jawab bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena sistem sudah begitu adanya. Modus vivendi, cara hidup, dari institusi hukum dan politik sudah diatur dari satu titik kendali. Yang menjadi sutradara adalah kartel.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.