Jumat, 3 Oktober 2025

Batik Cirebon Dipakai Presiden Uni Eropa di Bali

EMPAT orang perempuan dengan canting (alat melukis batik) di tangan begitu tenang menorehkan pewarna

Editor: Hendra Gunawan
zoom-inlihat foto Batik Cirebon Dipakai Presiden Uni Eropa di Bali
TRIBUN JOGJA/Bramasto Adhy
Ilustrasi

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Tarsisius Sutomonaio

TRIBUNNEWS.COM -- EMPAT orang perempuan dengan canting (alat melukis batik) di tangan begitu tenang menorehkan pewarna pada lembaran-lembaran sutra dan katun di hadapan mereka. Canting itu digerakkan mengikuti pola pada kain-kain itu. Di sana semuanya bermotif pesisir, gambar flora dan fauna.

Masih ada empat perempuan lagi belum bergabung untuk mengerjakan hal yang sama. Kali ini, mereka mendapat garapan spesial. Hasil karya dari ruangan berlantaikan tanah di Blok Bambangan, Desa Trusmi Wetan, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, itu bakal melekat di badan para pembesar dunia pada sebuah acara bertaraf internasional di Bali, November mendatang.

"Kami mendapat rekomendasi Ekonid (Kamar Dagang Ekonomi Indonesia-Jerman) yang bekerja sama dengan Uni Eropa melalui Indo Pacific Edelman (IPE) di Jakarta untuk membuat batik ini. Satu di antara yang akan mengenakan batik kami adalah Presiden Uni Eropa (Herman van Rompuy)," ujar perajin batik itu, Rukadi Suminta, di rumah produksi batik miliknya, Grage Klasik, Selasa (16/10/2012).

Pesanan itu, ucapnya, berjalan sejak bulan lalu. Total, Grage Klasik mesti mengirimkan 120 batik. Sebanyak 60 lembar kain batik sutra dan 60 kain batik kain katun. Nantinya, batik itu menjadi bahan untuk pembuatan baju lengan panjang dari batik sutra dan batik katun serta selendang batik. "Sebagian sudah kami kirim ke Jakarta," kata Rukadi.

Dari total pesanan itu, kata Rukadi, ia mendapat omzet Rp 60 juta dengan keuntungan seperempat dari jumlah itu alias Rp 15 juta. Meski bukan nilai yang fantastis, pembuatan batik pesanan ini merupakan pencapaian tersendiri. Pria ini mendapatkan peluang istimewa ini karena konsisten mengikuti pembinaan Ekonid dan Uni Eropa soal produksi ramah lingkungan.

Kesempatan ini makin istimewa karena, menurutnya, hanya ia dan para perajinnya yang mendapat kesempatan itu. Dua hal yang diperhatikan dalam pembinaan Ekonid dan Uni Eropa adalah hemat penggunaan bahan baku dan energi.

Selain itu, kembali pada pemakaian pewarna alami. Bahan baku lilin, misalnya, tak boleh dibiarkan berceceran, padahal bisa dimanfaatkan lagi.

Para pembatik di Grage Klasik mengumpulkan cairan lilin yang jatuh pada alas lilin berupa karung atau kain. Nantinya, lilin itu dicairkan lagi. "Satu batik bisa menghabiskan satu kilogram lilin. Yang tercecer biasanya sampai 50 gram. Lumayan kalau yang 50 gram itu dikumpulkan," ujar Rukadi. Ia menyebutkan setiap kilogram lilin bernilai Rp 20.000.

Pewarna batik berasal dari ekstrak tumbuhan. Sesuai pesanan, Grage Klasik merwarnai 120 batik dengan kuning, cokelat, dan biru. Pewarna kuning diperoleh dari ektrak daun mangga, pewarna cokelat dari ekstraksi batang tingi (bakau pesisir), dan pewarna biru dari daun tanaman indigo (tom).

Menurut dia, dari segi ekonomi, penggunaan pewarna alami lebih memakan biaya. "Pewarna biru sintesis hanya berharga sekitar Rp 5.000-Rp 7.000, sedangkan pewarna biru alami bisa 10 kali lipat," katanya.

Ia mengakui, khusus pewarna biru, ia memesan dari Yogyakarta dengan harga Rp 75.000 per kilogram. Dua pewarna lainnya, Rukadi mengolah sendiri. Pembuatan pewarna, ucapnya, memakan waktu sekitar 2-3 jam.

Selain dari segi ekonomi, dari segi kecerahan dan keawetan warna batik, pemakaian pewarna alami kalah dari pewarna sintesis. Hasil maksimal pewarna alami, ucapnya, hanya seperempat dari kecerahan pemakaiana warna sintetis. Produksi ramah lingkungan menuntut memimalisasi penggunaan zat kimia. Dalam produksi batik, sejauh ini, zat kimia peluluh lilin belum terganti dengan cara alami.

Gara-gara itu, Rukadi mengaku pembuatan batiknya gagal dua kali. "Warna batik hilang ketika direndam dalam proses pelelehan lilin. Pewarna alami peka terhadap zat kimia, tapi di sisi lain lilin tak bisa dilelehkan tanpa zat kimia," ujarnya.

Rukadi memilih mengurangi separuh dari jumlah zat kimia yang biasa ia gunakan untuk melelehkan lilin meski memakan waktu yang lebih lama. Namun, ia mengaku tetap konsisten dengan pewarna alami.

Ia mengharapkan bisa memberikan yang terbaik pada kesempatan pertama ini. Hal ini, ucapnya, sebagai langkah demi mendapat peluang yang lebih besar. "Kalau ada pesanan lebih besar, saya bagi-bagikan ke para perajin batik di Cirebon," ujar Ruhadi, yang juga sebagai Ketua Pengusaha dan Perajin Batik Cirebon.

Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved