Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Komunis & Perokok: Tentang Dua Skenario Genosida

Ini awal Oktober. Tepat 47 tahun silam, hingga berbulan-bulan selanjutnya, serentetan pesta pembunuhan

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Komunis & Perokok: Tentang Dua Skenario Genosida
TRIBUNNERS/IQBAL AJI DARYONO
Among Tebal upacara pembukaan musim tanam tembakau di Lamuk Temanggung

TRIBUNNEWS.COM - Ini awal Oktober. Tepat 47 tahun silam, hingga berbulan-bulan selanjutnya, serentetan pesta pembunuhan paling akbar terjadi di republik ini. Tak kurang dari 500 ribu nyawa melayang sia-sia. Ada bahkan yang menyebutnya “Tiga juta!”, dan dia adalah Sarwo Edhi, bapak mertua presiden kita, yang berperan cukup sentral sebagai EO pembantaian sistematis tersebut.

Pada satu titik kita dibuat ternganga, bagaimana sebuah eskalasi kebrutalan nan haus darah dapat terjadi di sebuah negeri yang konon dihuni oleh manusia-manusia ramah dengan budaya adiluhung ini? Sungguh tak habis pikir. Namun jika kita merunutnya, sekaligus menggali beberapa detail yang jarang dicermati, peristiwa itu tidak terjadi dengan serta merta, sesederhana sebuah reaksi atas satu peristiwa. Ada banyak variabel pendukung yang mampu menyukseskan skenario holocaust, yang oleh duta besar Inggris waktu itu disebut sebagai “letusan kecil” dan “kabar baik dari Timur” itu.  

Mari kita simak urutan peristiwanya. Menjelang subuh, 1 Oktober 1965, tujuh jendral dibantai. Terlepas dari siapa pelaku maupun dalangnya, yang jelas fakta dan informasi tentang tragedi itu kemudian dilokalisir, untuk selanjutnya diracik dan diolah sesuai selera pihak yang membutuhkannya. Barulah kemudian hasil racikan disajikan ke publik dengan tampilan selezatnya. Ya, maka muncullah deskripsi tentang penis yang dipotong, mata yang dicungkil, juga segala varian tindakan yang nyaris tak masuk akal dalam kemanusiaan seorang normal. Bumbu penyedap selezat MSG pun disusulkan: ketujuh tokoh militer tadi disembelih sembari para pelakunya menari-nari gembira, juga para wanita di sana membuka seremoninya dengan ‘pesta harum bunga’, pesta seks paling gila. Ya astaga.

Belakang hari, dokter forensik yang memeriksa langsung ketujuh korban pembantaian, menyangkal kabar-kabar dahsyat tersebut. Dibunuh, ya, memang benar dibunuh. Tapi segala deskripsi luar biasa itu tak ada yang dapat diverifikasi kebenarannya. Cerdiknya, semua informasi itu telah disebar secara massif dan efektif oleh penguasa arus berita. Dikesankan bahwa tim forensik sendiri yang menyatakan itu, sementara semua suplai berita disterilkan dari pertanyaan dan perdebatan. Bebas melenggang, sebab semua media dibungkam. Ingat, cuma tiga yang boleh bersuara, dan semuanya alat tentara: Radio Republik Indonesia, koran Berita Yudha, dan harian Angkatan Bersenjata.

Orang dibunuh bukanlah kabar heboh. Tapi jika yang dibunuh tujuh tokoh nasional sekaligus, dan mereka dibunuh setelah mengalami siksaan yang—idiom standarnya—‘jauh di luar batas-batas perikemanusiaan’, maka semua mata dan telinga akan menyimaknya. Tak cukup menyimak saja. Semua orang di negeri ini lantas merasa perlu meresponsnya, secara personal maupun komunal. Respons-respons itu dilakukan bukan semata sebagai bela rasa atas tragedi pembantaian para jendral. Lebih mendasar lagi, sebab telah berhasil dibangunnya suatu atmosfir mencekam, yang membawa bayangan bahwa komunis bukan hanya membunuh jendral, melainkan juga mengancam keselamatan semua orang non-komunis, mengancam nyawa para pemuka agama, bahkan menyiapkan pembantaian-pembantaian susulan dengan sasaran siapa saja.

Dengan kondisi semacam ini, semua orang merasa terancam oleh komunis, dan komunis serta merta duduk pada posisi sebagai musuh bersama.

Menyusul gambaran-gambaran sadisme tentang pembantaian ketujuh jendral, juga kebiadaban-kebiadaban yang dilesakkan ke imaji publik secara sistematis dan sangat gencar lewat corong tunggal tanpa pilihan, efek puncak yang direncanakan pun terbangun secara sempurna. PKI, organisasi-organisasi yang berdekatan dengannya, berikut semua orang yang terlibat di dalamnya, tiba-tiba muncul dalam imajinasi publik (publik non-PKI, tentu saja) sebagai sosok-sosok demon, iblis yang bertubuh manusia, tetapi... seolah mereka sama sekali bukan manusia.

Ketika kebiadaban yang dimitoskan secara berlebihan itu dicap sebagai tindakan-tindakan di luar batas ke-manusia-an, otomatis persepsi dan imaji para manusia yang merasa dalam posisi berlawanan dengan kaum komunis melihat orang komunis ya sebagai ‘komunis’ saja, bukan ‘manusia’. Dari sinilah aksi besar-besaran berupa pembantaian ‘pembalasan’ itu dapat dilakukan secara massif, seru, bahkan mengasyikkan (di Kediri ada yang sampai keranjingan membunuh dan mengalami semacam esktase ketika melakukannya, menurut cerita Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu). Sebabnya jelas: mereka merasa tidak sedang membunuh manusia. Apalagi, setelah di Jawa Timur, tentara meminta fatwa tentang PKI kepada seorang kiai besar, hingga mendapat hujan durian saat sang ulama menyebut dengan jelas: “PKI halal darahnya!” Artinya, otoritas keagamaan yang diwakili sang kiai menyatakan tegas bahwa orang-orang komunis boleh—bahkan dianjurkan untuk—dibunuh. Tak ayal lagi, legitimasi atas ‘pembantaian pembalasan’ bukan lagi sekadar tuntutan ‘moralitas’, melainkan ibarat sudah menjadi fardlu ‘ain, kewajiban personal setiap orang, yang diturunkan dari Tuhan!

Cerita pun berlanjut, dengan jutaan nyawa terbantai sia-sia.

***

Coba perhatikan poin-poin ini: 1) peristiwa bombastis; 2) kontrol informasi dan media; 3) informasi palsu dan legitimasi otoritatif; 4) pembentukan mitos-mitos dan stigma; 5) penumbuhan pressure group dari lingkungan terdekat; 6) fatwa dari otoritas keagamaan; dan 7) pembalasan!

Mencoba memetakan Tragedi 1965 dari beberapa variabel yang bekerja di dalamnya, tiba-tiba saya teringat dengan apa yang sedang dijalankan oleh negara dan kekuatan besar yang mendukungnya, kepada rokok dan kaum perokok. Tidak, ini sama sekali tidak lebhay. Mari kita cermati.

Dalam pola-pola yang dilakukan oleh semua elemen juru kampanye antirokok, peran peristiwa-peristiwa bombastis sangatlah vital. Coba ingat, ada berapa saja kasus yang mereka klaim terjadi sebagai akibat merokok, lalu semuanya diangkat tinggi-tinggi. Banyak sekali. Anak cacat mental, misalnya. Bocah kurus kering mengenaskan yang disajikan ke penonton media sebagai korban rokok. Gadis cantik yang tewas mengenaskan dengan surat wasiat yang dengan yakin menuding asap rokok sebagai penyebab kematiannya. Dan sebagainya.

Terlepas dari metode risetnya yang entah seberapa akurat, atau sekadar menggunakan statistik yang semata mengandalkan wishful thinking, kasus-kasus itu menjadi amunisi paling menggiurkan untuk menciptakan stimulan-stimulan yang pastilah memancing reaksi responsif publik. Publik akan terkejut, mengelus dada, dan seolah melihat di depan mata kepala: bila asap rokok terus mengenai mereka, anak-anak mereka sendiri bakal mengalami nasib serupa. “Fakta-fakta” ini terus direproduksi, dicecarkan, tanpa ada kesempatan bagi audiens untuk ambil nafas dan bertanya, mengkritik, ataupun meragukan. Video seorang anak kecil asli Indonesia yang perokok berat dan hobi mengumpat pun diunggah dan disebar, lalu disusul dengan seorang lelaki klimis ber-personal branding “pencinta anak” yang berkali-kali mengucapkan kata prihatin melihat fenomena itu. Teror diciptakan, dibangun, diberondongkan, di setiap kesempatan.

Demikianlah, ketika pada satu titik semua media terkondisi untuk turut mengimani politik informasi serupa, yang terjadi adalah dominasi wacana. Ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan tiga media pada 1965. Dari situlah, setelah publik memberikan respons “positif” (dalam artian berdiri jauh-jauh dari rokok dan asapnya sambil memasang ekspresi antipati), stigma dan mitos dibangun secara lebih eksplosif. Ya, sebab momentum tersebut menjadi saat paling strategis untuk menjejalkan informasi yang paling “dikehendaki” para konsumen berita. Maka, bermunculanlah secara berentetan segala label-label mengerikan atas rokok: penyebab kanker paru, kanker usus, impotensi, katarak, hernia, ambeien, cacat mental, osteoporosis, menopause dini, memperpendek penis, dan sebagainya dan sebagainya. (Tampaknya asyik juga kalau rokok sekalian dituding jadi penyebab tunggal melempemnya timnas sepakbola kita, atau asap rokok dapat menyebabkan lempeng tektonik di Selat Sunda bergeser hingga terjadilah gempa terbesar pada milenium ini.) Wah!

Melangkah lebih lanjut, di saat dominasi wacana telah berakar kuat pada benak masyarakat, dan daya kritis publik menumpul, kelompok penekan (pressure group) di sekitar para perokok diciptakan. Ide brilian berupa osu perokok pasif (second hand smokers) dijejalkan, terus menerus. Apa yang terjadi kemudian? Jelas, setiap orang yang berada di sekitar perokok akan merasa terancam, sangat terancam. Mereka jadi percaya begitu saja bahwa 70% efek buruk asap rokok justru akan diserap oleh non-perokok yang terpapar asap tembakau, bukan oleh si perokok itu sendiri. Lebih mengerikan lagi, bahkan baju atau tembok atau kulit yang tersentuh asap rokok dikatakan masih memiliki potensi besar untuk meracuni, dan yang paling gampang terkena racun adalah anak-anak si perokok sendiri! Tak terhindarkan, kelompok yang merasa sebagai perokok pasif tak lagi terbatas pada orang-orang asing yang berdiri di dekat perokok, namun bahkan pasangan si perokok, keluarga terdekat, dan akhirnya semua orang dengan lantang membentak: “Kau masih merokok di kantor?? Jadi kau mau membunuh anakmu sendiri di rumah??!!”

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved