Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pembiaran Benih-benih Terorisme Sebuah Perjudian Konyol

Pembiaran terhadap benih-benih terorisme adalah sebuah perjudian konyol bagi masa depan negara.

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Pembiaran Benih-benih Terorisme Sebuah Perjudian Konyol
KOMPAS.com/VITALIS YOGI TRISNA
Polisi bersama tim INAFIS mengamankan sejumlah barang bukti dari lokasi penggerebekan rumah terduga teroris di Kampung Warung Jambu RT 3 RW 8, Desa Susukan, Bojong Gede, Bogor, Senin (10/9/2012). Penggerebekan yang dilakukan Densus 88 pada pukul 09.00 pagi ini merupakan hasil pengembangan atas penyerahan diri Muhammad Thorik yang menyerahkan diri ke Pos Polisi Tambora Jakarta Barat semalam. KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA

Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Fraksi Partai Golkar

TRIBUNNEWS.COM - Pembiaran terhadap benih-benih terorisme adalah sebuah perjudian konyol bagi masa depan negara. Demi stabilitas kehidupan berbangsa, demi pembangunan nasional yang berkelanjutan serta perbaikan citra Indonesia di panggung pergaulan antarbangsa, negara tidak boleh memberi toleransi sekecil apa pun terhadap benih-benih terorisme.

International Crisis Group mengklaim bahwa kekuatan kelompok-kelompok terorisme di Indonesia terus melemah setelah terbongkarnya jaringan teroris pasca ledakan bom Bali. Sekalipun penilaian ini benar, negara dan rakyat tidak boleh lengah. Sejumlah indikator tentang gerakan teroris di negara ini tetap harus diwaspadai. Fakta serta catatan terbaru yang sudah tersaji di ruang publik akhir-akhir ini mewajibkan negara dan rakyat untuk tidak boleh menyepelekan bentuk ancaman yang satu ini.

Sebab, baik Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun para pengamat sudah berulangkali mengingikasikan adanya jaringan atau kelompok-kelompok baru yang bernafsu melancarkan aksi teror di negara ini. Walaupun kelompok-kelompok tertentu sering menilai informasi ini tidak akurat, masyarakat juga melihat pemerintah biasa-biasa saja dalam menyikapi informasi yang sesungguhnya sangat penting ini. Maka, tidak mengherankan jika muncul anggapan bahwa pemerintah tidak tegas terhadap ancaman terorisme. Yang terlihat di permukaan hanya langkah atau aksi yang reaktif, berupa serangan balik pasca serangan para terduga teroris.
    
Serangan balik oleh Detesemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror pada pekan pertama September 2012 merupakan reaksi atas serangan tiga terduga teroris di Solo. Ketiga terduga teroris sudah melancarkan teror sejak paruh kedua Agustus 2012. Antara lain, penembakan Pos Pam Serengan (Jumat 17 Agustus) dengan akibat dua polisi terluka;  melempar granat ke Pos Pam di Gladak (Sabtu 18 Agustus), serta penembakan pos polisi Singosaren (Kamis 30 Agustus) dengan korban tewas Bripka Dwi Data Subekti.    

Akankah terus seperti ini dalam merespons eksistensi jaringan terorisme di Indonesia? Semestinya tidak dan tidak boleh! Kalau selalu reaktif seperti ini, itu pertanda negara di posisi yang lemah, dan warga tak berdosa setiap saat bisa menjadi korban. Apa jadinya jika bom rakitan meledak di rumah Muhammad Toriq, terduga teroris yang tinggal di Jalan Teratai VII, Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat?  Sangat banyak warga yang terancam  oleh kegiatan Toriq.  Tentu saja ancaman itu harus direspons dengan tegas-lugas demi keselamatan orang banyak.

Dilaporkan bahwa hingga saat ini ada sembilan kelompok teroris yang berusaha menunjukkan eksistensi masing-masing.  Kelompok-kelompok itu membentuk jaringan, serta memiliki dana untuk membeli senjata, bahan peledak dan membiayai kegiatan lainnya. Mereka telah menggelar latihan di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi. Wilayah Poso di  Sulawesi Tengah diduga sebagai basis. Selain di Sulawesi Tengah,  jaringan teroris juga berlatih di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Pesertanya berasal dari sejumlah daerah. Peserta yang kembali ke daerah asal langsung membentuk sel-sel baru.

Sebagai data atau informasi, gambaran tentang kelompok dan jaringan teroris tadi idealnya diterjemahkan sebagai ancaman. Baik ancaman terhadap keamanan masyarakat, ancaman terhadap stabilitas nasional, ancaman yang setiap saat bisa merusak strategi pembangunan, serta ancaman yang akan menghancurkan citra negara di panggung pergaulan antarbangsa.

Kalau seperti itu terjemahannya, bagaimana seharusnya negara dan pemerintah menyikapi dan merespons informasi tentang ancaman itu? Semestinya, pemerintah-lah yang paling tahu. Akan tetapi, menurut pemahaman banyak orang, sebuah pemerintahan yang konsisten melindungi rakyat dan menjaga stabilitas nasional pasti akan langsung mengeliminir ancaman itu, at all cost.

Menyikapi Ancaman

Banyak orang masih ingat tentang kisah operasi pemberantasan kejahatan yang dilancarkan pemerintah Orde Baru pada awal dasawarsa 80-an. Operasi yang dikenal dengan sebutan Penembakan Misterius  (Petrus) ini dilancarkan di hampir seluruh pelosok negeri. Selain karena eskalasi kejahatan dengan berbagai modus, gagasan melancarkan Petrus berlatarbelakang pada fakta bahwa para penjahat saat itu mulai berani menyerang dan membunuh baik anggota Polri maupun anggota TNI (dulu, ABRI).

Tentu saja, tidak ada maksud sedikit pun untuk menyarankan atau memberi rekomendasi kepada pemerintahan sekarang melancarkan juga Petrus dalam memerangi jaringan terorisme di negara ini. Namun, dengan mengungkap sekilas cerita tentang Petrus tadi, ingin ditunjukan mengenai perlunya ketegasan dan kelugasan sikap saat menghadapi ancaman yang nyata-nyata terlihat di depan mata. Ancaman bagi masa depan negara, dan juga ancaman bagi masyarakat kebanyakan.  

Kalau komunitas internasional melihat dan menilai bahwa Indonesia tidak pernah bersih dari jaringan dan kelompok-kelompok teroris, pembangunan ekonomi Indonesia akan sulit mencatat progres yang signifikan. Apalagi jika mengandalkan kualitas pertumbuhan ekonomi dari investasi asing. Bukankah investasi butuh iklim dan suasana yang kondusif? Walaupun obyek wisata Indonesia sangat beragam, jangan lagi mengharapkan kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman) dalam jumlah yang banyak. Sebab, komunitas Wisman tentu saja tidak mau menjadi sasaran serangan teroris lokal.

Karena itu, kalau benar-benar ingin mewujudkan masa depan Indonesia yang lebih baik, jangan melakukan perjudian terhadap setiap ancaman, termasuk ancaman terorisme lokal. Bagaimana pun, keberadaan dan ambisi terorisme lokal harus dipahami sebagai rencana kejahatan terhadap negara dan rakyat, sebab pelaku teror tidak pernah memilah-milah sasaran korbannya. Tentu saja masyarakat  berharap pemerintah, dan juga DPR, mau memaknai terorisme lokal sebagai ancaman yang serius terhadap negara dan rakyat.

Sudah cukup lama dan hingga kini, data dan informasi tentang jaringan serta aktivitas terduga teroris dikumpulkan oleh intelijen negara. Bahkan, boleh jadi, untuk mengeliminasi eksistensi kelompok terorisme lokal, banyak rekomendasi telah dibuat dan disodorkan kepada pemerintah. Karena semua kewenangan dan kekuatan berada dalam kendali pemerintah, persoalannya terpulang kepada pemerintah sendiri. Ingin terus membiarkan eksistensi kelompok-kelompok teroris atau mengeliminasi ancaman?

Harus diingatkan bahwa pembiaran terhadap benih-benih terorisme di negara ini bisa menjerumuskan masa depan Indonesia ke dalam perangkap negara gagal. Risiko seperti inilah yang harus diperhitungkan semua pihak. Karenanya, benih-benih  terorisme seharusnya tidak mendapat tempat di negara ini.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved