Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Pembantaian Rohingya di Myanmar

Susahnya Muslim Ronghiya Hanya Untuk Buang Hajat

Tahap awal di bulan Syawal ini bantuan diwujudkan 8 ekor sapi, mengundang kegembiraan setelah dipagut sendu

Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Susahnya Muslim Ronghiya Hanya Untuk Buang Hajat
IST
Sapi untuk Muslim Ronghiya di Myanmar

TRIBUNNEWS.COM - Tahap awal di bulan Syawal ini bantuan diwujudkan 8 ekor sapi, mengundang kegembiraan setelah dipagut sendu pengungsian berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lamanya. , Andhika P. Swasono melaporkan dari Bangladesh.

 Andhika memilih Kamp Saplapur sebagai titik pendistribusian daging sapi dan pakaian. Mengaoa memilih Saplapur? “”Kamp ini merupakan kamp pengungsi tak teregistrasi yang ada sejak lebih dari 10 tahun lalu. Namun karena letaknya tepat di pinggir laut dan jauh dari jalan utama, kamp ini tidak mendapatkan banyak perhatian. Bahkan untuk sarana sanitasi, sama sekali tidak ada fasilitas sanitasi yang memadai. Sarana sanitasinya mirip dengan sanitasi pengungsi kelaparan Somalia di ex- RS Unicef Mogadishu,” ungkap Andhika yang juga mengikhlaskan Lebaran di pengungsian tahun lalu, di Mogadishu, Somalia. 

 Andhika menjelaskan, untuk buang hajat saja, mereka membuat WC darurat dengan kayu sekitar 50x50cm ditutupi karung goni setinggi 1.5 - 1.75 meter. “Kalau di Indonesia, kloset seperti ini  adanya di tepi kali. Nah, yang dibuat pengungsi Rohingya, di bangun di daratan, di satu tempat yang tak terlalu jauh dari gubuk-gubuk yang mereka tinggali,” jelas Andhika. Air, mereka ambil dari pompa air terdekat. Limbah WC itu,  mereka tempatkan pada wadah yang mereka bawa lalu ditanam/dikubur. Cara ini, tetap tidak higienis karena ada saja kotoran yang tercecer.

 Kamp Saplapur dihuni  sekitar 1800 KK. Kamp ini punya fasilitas madrasah, namanya Darul Quran, mengajar untuk anak-anak belajar Al Quran, Bahasa (Bengal, Inggris), berhitung dan menulis. Mereka belajar dengan sabak dan kapur. “Ini seperti yang dialami bapak saya ketika beliau sekolah SD. Ruangan belajar mereka sekitar 3x6 meter, beralaskan pasir pantai yang dipadatkan. Tiap anak membawa karung goni untuk alas mereka belajar. Ada empat  guru mengajar di madrasah ini,” jelas Andhika. 

 Pengungsi juga membangun mushala berukuran sekitar 4x7 meter terbuat dari anyaman bambu, beratap dedaunan kering berlantai pasir padat dilapisi "karpet" berupa karung goni. Kamp ini tidak didukung listrik. Penerangannya dengan lilin. Nergi untuk pengeras suara saat adzan, menggunakan tenaga aki. Tinggi mushala itu dua meteran, tapi dari tanah ke rangka hanya sekitar 1, 65 meter. “Saya yang tingginya 1,75 meter, kalau masuk mushala tidak menunduk, akan membentur rangka. Dua tiga kali saya terbentuk saat lupa menunduk. Maklum, tinggi pintu masuknya hanya sekitar 1,5-1,6 meter,” ujar Andhika.

 Distribusi Pakaian dan Daging Sapi

 Di kamp ini, Sabtum 26 Agustus, ACT mendistribusikan 370 paket dari 500 paket pakaian untuk anak-anak yang direncanakan. “Yang dibagikan bukan baju seperti biasa, tapi berupa kain yang nantinya dijahit untuk seragam madrasah. Kami usulkan ini untuk memotivasi anak-anak agar mereka mau masuk sekolah dan senang karena mendapatkan seragam baru,” jelas Andhika. Sengaja membagikan kain, karena ukuran tubuh anak-anak di madrasah itu berbeda”Jadi silakan Anda memberikan bantuan berupa kain cukup untuk membuat satu stel baju seragam," usul Idris, relawan lokal yang selama ini membantu ACT. Anak-anak yang memperoleh seragam, beragam usia, dari usia 3-4 tahun sampai sekitar 7-10 tahun.

 Di Saplapur ini,  delapan ekor sapi dipotong. Para penghuni kamp amat antusias dan bergoyong-royong  membantu. “Tidak ada saling berebut, semua tertib saling tolong menolong. Beberapa orang membuat daftar penerima manfaat, yang lainnya memotong dan mencacah daging. Meskipun tidak akan cukup untuk semua warga, Brother Idris dan kawan-kawan relawan lokal kami berusaha untuk membuat prioritas penerima manfaat untuk perbaikan gizi penghuni kamp,” ungkap Andhika. 

 Bicara gizi, anak-anak di kamp ini sebagian besar mmengidap gizi kurang sampai gizi buruk. Maklum,  mereka tidak mendapatkan gizi memadai. Penghuni kamp rata-rata dalam kondisi extremely poor sehingga mereka tidak mmapu memenuhi gizi keluarga dan anak-anak mereka. Hampir semua pria bekerja sebagai nelayan dengan penghasilan BDT 100 sehari. Itu juga jika mereka mendapatkan ikan yang cukup. Biasanya penghasilan itu hanya cukup untuk membeli nasi atau tepung gandum (semai). Ikan yang mereka tangkap sebagian besar dijual, sedikit yang dikonsumsi untuk keluarga mereka. “Saya juga menyaksikan, anak-anak usia 12-15 tahun sudah menggotong ikan hasil tangkapan ke para pengepul di pasar,” ujar Andhika. 

 Dhonodbad Indonesia

 Ketika Andhika  dan tim akan kembali ke basecamp, sejumlah penghuni kamp mengerumuni mereka. Ada yang minta nomor telepon, tapi kebanyakan menyampaikan terima kasih. "Dhonodbad (terima kasih) Indonesia. Please come back again to visit us," kata mereka yang bisa bahasa Inggris patah-patah. Rasa terima kasih itu juga diwakili tokoh muda setempat ketika kami akan kembali. "Don't forget us," kata mereka.

 Mereka kembali ke kamp di Cox's Bazar pukul 16.22. Sudah cukup sore dan  baru tersadar semua belum makan siang. “Di perjalanan, kami berhenti di sebuah rumah makan tepat di pinggir pantai Cox's Bazar. Tidak terlalu ramai, tapi menjelang senja pantai Cox's Bazar nampak indah. Pantai landai sepanjang 125 km ini dinobatkan pantai terpanjang di dunia. Menuju Cox's Bazar, pandangan kami dihibur sunset yang indah, meski  kami tidak bisa berhenti,” ungkap  Andhika.

 Tiba di Cox's Bazar, kondisi sangat ramai. Maklum, hari itu masih libur nasional  Bangladesh, wisatawan, terutama domestik membanjiri Cox's Bazar. Inilah salah satu penyebab sangat sulit mendapatkan seat penerbangan dan basecamp yang representatif. Semua terisi wisatawan.

 Bro Idris akhirnya memesan tiket pesawat ke Dhaka, tapi harus terbang dari Chittagong. "Semua penerbangan dari Cox's Bazar ke Dhaka, habis," katanya. Rute ini hanya dilayani dua maskapai dengan pesawat kecil jenis ATR 72 dan Bombardier Dash 8 dengan kapasitas penumpang maksimal 68 sampai 74. “Saya kira jadwal pesawat tanggal 26 sore sehingga saya bisa berangkat tanggal 26 pagi (Cox's Bazar ke Chittagong bisa ditempuh dalam waktu 3,5 jam). Ternyata dugaan saya keliru. Kata Bro Idris,  pesawat yang akan saya tumpangi berangkat pukul 8 pagi. Jadi malam ini saya harus ke Chittagong. Teman Bro Idris sudah mengatur tiket dan penginapan saya di sana," jelas Idris.

 Bro Idris melanjutkan, "Anda bisa istirahat tanggal 26, dan tanggal 27 Anda bisa kembali ke negara Anda," lanjutnya. Andhika sejenak tercenung. “Saya akhirnya sadar Bro Idris salah tangkap informasi. Saya memang sempat informasikan, tanggal 27 visa saya habis dan harus diperpanjang di Dhaka. Sebenarnya saya pulang 7 September, bukan Agustus, mungkin karena belakangnya sama2 "seventh" dia nangkapnya tanggal 27 saya kembali ke Indonesia,” ungkap Andhika.

Halaman
12

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved