UU Pemda Rawan Korupsi
Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM dan PUSAKO menilai Pasal 30 UU Nomor 32 Tahun 2004

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Imanuel Nicolas Manafe
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM dan PUSAKO menilai Pasal 30 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) mengenai proses pemecatan Kepala Daerah tidak tegas. Untuk itu mereka selaku pemohon mendaftarkan untuk diujimateriilkan ke Mahkamah Konstitusi.
"Proses pemecatan kepala daerah tidak selamanya mulus, saat ini muncul perlawanan balik dari koruptor ketika posisinya sebagai kepala daerah dilengserkan oleh pemerintah pusat," ujar seorang Tim Advokasi untuk Pemerintahan Daerah Yang Bersih, Alvon Kurnia Palma kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (23/7/2012).
Pasal 30 ayat (1) UU Pemda yang dimaksud berbunyi, Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila dinyatakan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan
Menurut Alvon, Pasal 30 ayat (1) UU Pemda tersebut tidak singkron dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebab, tidak ada satupun ketentuan pidana dalam UU Tipikor maupun UU lainnya yang menyebutkan ancaman pidana minimal 5 tahun.
"Kalau ini menjadi sandingan pemerintah atau negara untuk memberhentikan bisa-bisa tidak ada kepala daerah yang diberhentikan. Ini supaya ," kata Alvon.
Untuk itu, lanjut Alvon, pihaknya meminta Mahkamah Konstitusi untuk mempertegas tafsir pada Pasal 30 ayat (1) UU Pemda tersebut dengan menafsirkan bahwa, "..diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, baik berdasarkan putusan pengadilan".
"Kami minta MK untuk tafsirkan bahwa makna yang benar adalah Kepala daerah yang dinyatakan bersalah dengan ancaman lima tahun atau lebih Karena tidak ada satupun pasal di UU Tipikor yang menyatakan adanya ancaman hukuman minimal 5 tahun," ujar Donal Faridz selaku salah satu tim kuasa hukum para pemohon.
Dalam permohonan ini, para pemohon yakni, Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M, (selaku individu, Direktur PUKAT UGM), Feri Amsari, S.H., M.H., (selaku individu, Peneliti PUSAKO Sumbar) dan Indonesia Corruption Watch (diwakili oleh Danang Widoyoko). Sementara itu, kuasa hukum para pemohon yakni Abdul Kadir W, S.H., Alvon Kurnia Palma, S.H., Andi Muttaqien, S.H., Donal Fariz, S.H. , Emerson Yuntho, S.H., Febri Diansyah, S.H., Hamami, S.H. , Iki Dulagin, S.H., M.H., Mustikal, S.H. , Ridwan Bakar, S.H., Wahyu Wagiman, S.H., Wahyudi Djafar, S.H.
- Warga Dayak Minta Provinsi Kaltara Dibentuk
- Sebatik dan Mahakam Ulu Prioritas Dimekarkan
- Presidum: Bupati Tarik Dukungan Tak Pengaruhi Perjuangan Kaltara
- Gubernur Kaltim Harus Segera Memanggil Bupati Tana Tidung
- Presidum Kaltara: Penarikan Dukungan KTT tak Pengaruhi Perjuangan
- Bupati Tana Tidung Tarik Dukungan Pembentukan Provinsi Kaltara