Euro 2012
Ketika Sejarah Ditulis dengan Kaki dan Kepala
History isn't what happened, but a story of what happened (sejarah bukanlah apa yang terjadi, namun sebuah cerita tentang apa yang terjadi)
oleh: Willy Kumurur
History isn't what happened, but a story of what happened (sejarah bukanlah apa yang terjadi, namun sebuah cerita tentang apa yang terjadi), tutur sebuah situs. Dunia bola pun adalah sejarah, ketika banyak cerita epik tentang para seniman bola mengukir pada zamannya.
Jika Spanyol punya nama-nama besar seperti Raul Gonzales, Andres Iniesta, Iker Casillas cs, yang “menulis sejarah” kebesaran El Matador pada peta bola dunia, maka Perancis yang pernah memiliki Michel Platini dan Zinedine Zidane menorehkan tinta emas dalam sejarah Les Bleus ketika mereka meraih Piala Eropa di zamannya.
Spanyol dua kali merengkuh Piala Eropa (1964 dan 2008) sama dengan Perancis yang meraihnya di tahun 1984 dan 2000. Keduanya merindukan untuk melengkapi sejarah itu, menyamai rekor Der Panzer - Jerman yang sampai saat ini adalah satu-satunya negara yang meraih Piala Eropa sebanyak tiga kali sejak 1960.
EURO 2012 digelar di bawah semboyan Creating History Together (Bersama-sama Menciptakan Sejarah), namun dengan atau tanpa motto itu, Spanyol dan Perancis berambisi untuk mengukir sejarah baru.
Vicente Del Bosque, pelatih Spanyol, merindukan sejarah baru, karena menurut dia belum ada satu negarapun pernah memenangkan tropi Eropa secara beruntun, juga Piala Dunia. Di tengah zaman keemasan sepakbola negeri matador itu, Del Bosque berambisi untuk menghentar La Furia Roja membuat sandwhich (juara EURO 2008, juara Piala Dunia 2010 dan juara EURO 2012).
Di Afrika Selatan 2010, surat kabar terkemuka di Perancis, L’Equipe, membuka aib di kubu Tim Ayam Jantan Perancis usai dihajar secara menyakitkan 0-2 oleh Meksiko. Borok internal dibongkar habis-habisan oleh koran itu yang menyebabkan sang pelatih Raymond Domenech dicopot. Dan sekarang, L’Equipe kembali membocorkan perpecahan antara pemain dengan sang pelatih Laurent Blanc. Sejarah hitam 2010 berulang.
Adalah keluhan Alou Diarra dan Samir Nasri yang memicu pertengkaran. Mereka mengeluh karena merasa tidak mendapat dukungan penuh dari lini belakang. Akibatnya mereka lebih banyak turun ke belakang untuk menjemput bola saat melawan Swedia. Pertikaian antara Laurent Blanc dan gelandang menyerang Hatem Ben Arfa memuncak hanya gara-gara Arfa dimarahi Blanc saat ia menggunakan telepon genggam menghubungi keluarganya.
Ben Arfa ditarik keluar di menit ke-59, padahal menurutnya ada beberapa pemain yang bermain lebih buruk darinya. Seluruh dunia pun tahu bahwa Swedia yang tak punya asa lagi meluluh-lantakkan Perancis 2-0. “Jika Anda memang tak menyukaiku, pulangkan saya sekarang,” teriak Ben Arfa dengan amat emosional kepada Blanc.
Bagaimana mungkin legenda hidup sepakbola Perancis, Michel Platini, yang juga Presiden UEFA, menjagokan Les Bleus jika “sejarah” perseteruan pelatih-pemain terus terulang? Ia justru menempatkan El Matador sebagai favorit juara. Dengan nada canda ia berandai-andai bahwa para seniman bola Spanyol tak akan pernah merasa letih dengan terus mengalirkan bola melalui umpan pendek dari kaki ke kaki. “Yang justru akan merasa lelah adalah bolanya karena terus diputar-putar ke seluruh wilayah lapangan.”
Fans Perancis masih berharap, bahwa Les Bleus kembali solid demi menampilkan keindahan sepakbola indah Tim Ayam Jantan yang pernah memukau dunia. Karena lawannya nanti adalah Para Matador yang terbiasa menjinakkan banteng-banteng liar. Para veteran Perancis amat merindukan kokok Ayam Jantan yang perkasa menantang matador. Jika tidak maka benarlah Eduardo Galeano yang menulis dalam bukunya yang mashyur Soccer in Sun and Shadow bahwa the history of soccer is a sad voyage from beauty to duty (sejarah sepak bola adalah perjalanan sedih dari keindahan bertugas.***
Willy Kumurur adalah pencinta bola.