Bocah Penderita Kanker Otak
Adi Boleh Sakit Tapi Jangan Ambil Matanya
Kini, hari-hari Adi tak lagi menapakkan kaki kecilnya ke sekolah yang dicintainya itu.
"SIAPA yang datang, Di?" tanya Hesti kepada anaknya.
"Bu Ummi, ya?," terka sang bocah yang berbaring di kasur di rumahnya di Bengkong Indah 3, Blok B Nomor 26, RT 01 RW 03.
Percakapan soal Ummi itu terhenti ketika Tribun Batam (Tribun Network) yang menyapanya. Mungkin bocah ini merasakan bahwa suara itu bukan Ummi, guru agamanya yang sering berkunjung dan menemaninya.
Adi Prayogi namanya. Terakhir ia tercatat sebagai siswa kelas 4 di SD Negeri 011 Bengkong Sadai. Tapi itu November 2011 lalu. Kini, hari-hari Adi tak lagi menapakkan kaki kecilnya ke sekolah yang dicintainya itu.
Sekolah dan kawan-kawannya yang berseragam putih-merah tua semakin jauh dari jangkauannya. Ya, Adi tak lagi bisa sekolah. Padahal bocah 11 tahun ini cukup berprestasi di kelasnya. Ia selalu meraih 10 besar di kelas.
Adi juga tak lagi bocah ceria, apalagi menendang si kulit bundar yang menjadi hobinya. Hari-hari Adi kini hanya berbaring dan berbaring setelah dokter yang memeriksanya mengatakan bahwa bocah itu mengidap kanker otak. Itulah yang membuat ia semakin berjarak dengan sekolah, kawan-kawan dan cita-citanya menjadi dokter. Keceriaan Adi langsung lenyap.
Seminggu setelah ia mendapat vonis itu, dokter memasukkan selang berdiameter 0,5 cm ke otaknya dan mengambil beberapa mililiter cairan bening dari kepalanya. Di hari ke-8 dan 9, Adi sudah tak sadarkan diri.
Begitu ia sadar di hari berikutnya, penglihatannya sudah tidak jelas. Kasarnya, Adi mengalami kebutaan. Dunia gelap-gulita dirasakan bocah malang ini.
"Nggak apa-apa Adi dikasih penyakit, tapi jangan ambil mata Adi," ucap Hesti menirukan kalimat anak keduanya itu, Rabu (30/5/2012).
Merekapun kembali berkonsultasi dengan dokter mata, Haryanto. Dokter ini rujukan dokter umum yang memeriksa Adi pertama. Saat itu, Adi sering mengalami pusing di kepala dan sering memuntahkan makanan setelah minum susu. Dokter itu pun cukup miris dengan keadaan Adi yang tak mampu melihat, jalan pun harus dipapah.
"Sampai dokter matanya ikut nangis melihatnya. 'Ini anak yang kemarin itukan?'" Tanya dokter tersebut kepada kedua orangtua Adi. Dokter Haryanto tercenung dan tak mau menerima uang pengobatan Adi.
Kebutaan yang dialami Adi, menurut Dokter Haryanto, disebabkan syaraf kedua dan ketiga di otaknya sudah putus. Walaupun kanker otak yang masih bersarang di kepala Adi diangkat, sangat kecil kemungkinan Adi dapat melihat kembali. Hanya mukjizat atau keajaiban saja yang mampu menyembuhkan kebutaannya.
Tidak ada daya yang dapat dilakukan Hesti Wiiyani dan suaminya Slamet Riyadi. Berobat ke rumah sakit, mereka tak punya uang. Biaya saat memasukkan selang ke otak Adi, membeli obat-obatan, dan lainnya, sudah menghabiskan dana Rp 40 juta. Merujuk ke rumah sakit hanya menambah sakit di hati kedua orangtua yang malang itu.
"Kami pikir setelah selang dimasukkan, semuanya bisa membaik. Tetapi kata dokter di RSOB (RS Otorita Batam), dia harus di-X-Ray. Tapi rupanya itu hanya ada di Jakarta. Kami sudah tak punya apa-apa lagi," ucap Slamet.
Slamet memang tak mungkin melakukan itu. Sehari-hari ia berprofesi sebagai penjual es cendol di Pasar Bengkong. Sedangkan Hesti hanya seorang ibu rumah tangga. Mereka telah berutang ke tetangga dan keluarga dekat selama ini. Bahkan sertifikat rumah pun sudah tergadai untuk biaya Adi.
Baca juga:
- Bentrok Warga, Posko Gerbas Ludes Dibakar
- Asap Tebal di Ruko Gegerkan Warga Mecanang
- Toko Emas Nyaris Dijarah Perampok
- 13.860 Liter Solar Disita Resmobda Kaltim