Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Kebencian SARA pada Usia Dini : Alarm Merah untuk Pendidikan Kita

Kasus ini manifestasi nyata dari benih-benih kebencian SARA yang telah menjangkiti pikiran anak-anak usia dini, bahkan berani melakukan kekerasan

Editor: Eko Sutriyanto
dok pribadi
Makmur Sianipar, Ketua Umum Perkumpulan Masyarakat Teolog Indonesia (PEMASTI), Senior Fellow Research Institute for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild) 

Oleh :  Makmur Sianipar,  Ketua Umum Perkumpulan Masyarakat Teolog Indonesia (PEMASTI),  Senior Fellow  Research Institute  for Ethical Business and Political Leadership Development (Rebuild)

 

TRIBUNNERS - Tragedi yang terjadi di Indragiri Hulu, Riau, di mana seorang anak kelas 2 SD meninggal dunia setelah diduga menjadi korban bullying bermotif SARA oleh lima kakak kelasnya, merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan dan masyarakat Indonesia.

Ironis dan memilukan, sebab kebencian yang biasanya diasosiasikan dengan kelompok dewasa kini telah menjangkiti usia yang bahkan belum baligh secara psikologis dan sosial. 

Peristiwa di Indragiri Hulu merupakan alarm merah untuk pendidikan kita. Kasus ini merupakan  manifestasi nyata dari benih-benih kebencian SARA yang telah menjangkiti pikiran anak-anak usia dini, bahkan hingga berani melakukan tindakan kekerasan.

Sebuah paradoks memilukan di tengah upaya kita membangun masyarakat yang harmonis dan toleran.  Jauh sebelumnya, beberapa  tahun yang lalu,   beredar video yang menunjukkan bagaimana ajaran kebencian disisipkan dalam  pendidikan usia dini.

Namun, publik tidak  mendengar  respons atau tindakan konkret dari pemerintah terhadap sekolah  yang menyebarkan ajaran berbahaya ini.

Baca juga: Siswi SMP di Cirebon Jadi Korban Bullying, Orang Tua Korban Minta Pelaku Dikeluarkan dari Sekolah

Cermin Retak Perilaku Kebencian

Dalam perspektif   Social Learning Theory  Albert Bandura (1977),   sebagian besar pembelajaran manusia terjadi dalam konteks sosial melalui pengamatan, imitasi, dan pemodelan.

Artinya, anak-anak tidak hanya belajar dari pengalaman langsung mereka, tetapi juga dari mengamati perilaku orang lain.  Anak-anak mengamati perilaku orang dewasa atau figur otoritatif di sekitar mereka,  baik di rumah, sekolah, maupun media,  lalu menirunya, terutama jika perilaku itu tidak mendapat sanksi atau bahkan diberi ganjaran. 

Dalam konteks kasus Indragiri Hulu,  perilaku kebencian SARA yang  "menjangkiti" anak-anak  ini  mungkin terjadi   karena  mengamati atau terekspos pada perilaku dan narasi yang bias atau diskriminatif dari lingkungan sekitarnya. Lingkungan ini bisa berupa lingkungan  keluarga,  sekolah, dan lingkungan sosial  yang lebih luas. 

Dalam lingkungan keluarga,  orang tua adalah figur pertama yang membentuk pandangan dunia anak. Jika orang tua menunjukkan atau mengajarkan sikap diskriminatif berdasarkan SARA, baik secara verbal maupun non-verbal, anak-anak akan menyerapnya.

Dalam kasus ini, penting untuk menelusuri apakah orang tua pelaku memiliki pandangan atau ajaran yang bias secara rasial yang kemudian ditularkan kepada anak-anak mereka.

Demikian halnya  dengan  lingkungan sekolah.  Sekolah seharusnya menjadi benteng toleransi dan keragaman. Namun, jika ada guru atau staf pengajar yang secara sengaja atau tidak sengaja menyisipkan ajaran kebencian SARA, atau jika lingkungan sekolah gagal menangani insiden diskriminasi, maka sekolah justru menjadi sarana transmisi kebencian. 

Lebih jauh, jika di sekolah terdapat pembiaran terhadap praktik-praktik diskriminatif atau perundungan yang berdasar SARA, hal itu akan dipersepsikan oleh anak-anak sebagai sesuatu yang "normal" atau "dapat diterima".

Dalam lingkungan sosial yang lebih luas,  paparan terhadap ujaran kebencian di media sosial, lingkungan tetangga, atau bahkan ceramah atau konten keagamaan yang ekstrim juga dapat memengaruhi cara anak-anak memahami dan merespons perbedaan.

 Yang sangat  mengkhawatirkan adalah apabila  tindakan kekerasan anak-anak ini tidak hanya meniru perilaku agresif, tetapi juga telah menyerap narasi kebencian berbasis identitas dari lingkungan sosialnya. 

Apakah itu dari keluarga, sekolah, media sosial, atau kombinasi dari semuanya.  Ketika kebencian SARA menjadi bagian dari model perilaku yang mereka amati, maka bukan hal yang mustahil bagi mereka untuk reproduksinya, bahkan dalam bentuk kekerasan fisik.  

Teori Bandura mengingatkan kita bahwa kekerasan tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia dipelajari, diulang, dan diwariskan.  

Audit Menyeluruh dan Tanggung Jawab Kolektif

 Peristiwa di Indragiri Hulu ini harus menjadi momentum bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Kementerian Agama, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap lembaga pendidikan di semua tingkatan.  Audit ini bukan hanya untuk memeriksa kurikulum formal, melainkan juga praktik-praktik pengajaran yang tersembunyi (hidden curriculum), interaksi antar siswa, serta cara penanganan konflik dan perbedaan di sekolah.

Pemerintah perlu memastikan bahwa tidak ada satu pun institusi pendidikan yang mengajarkan atau membiarkan praktik kebencian SARA, baik secara eksplisit maupun implisit. Sanksi tegas harus diberikan kepada sekolah-sekolah yang terbukti melanggar prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

 Selain itu, kasus ini juga menuntut pertanggungjawaban yang lebih luas. Sekolah dan guru harus diperiksa,  terutama karena laporan orang tua korban kepada wali kelas dan kepala sekolah  tidak ditindaklanjuti.

Peran orang tua pelaku juga tidak bisa diabaikan. Penting untuk menelusuri apakah ajaran kebencian rasial telah menyusupi lingkungan keluarga mereka.  

Tidak dalam semangat mencari kambing hitam, tetapi untuk memutus rantai transmisi kebencian. Jika ditemukan bahwa ada pengaruh ideologi intoleran atau narasi eksklusif di dalam keluarga, maka intervensi sosial dan edukatif harus diberikan.  

 Pemerintah daerah juga harus memastikan bahwa setiap laporan kekerasan, sekecil apa pun, tidak diabaikan. Dalam kasus ini, kelambanan pihak sekolah merupakan bentuk kelalaian institusional yang fatal.

Jangan Biarkan Anak Belajar Membenci

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, keberagaman adalah fakta sosial yang tidak bisa disangkal. Namun jika keberagaman tidak diiringi dengan sistem nilai yang menghargai perbedaan, maka ia menjadi sumber konflik.

Tragedi ini adalah peringatan bahwa pendidikan nilai,  terutama nilai toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan,  bukanlah pelengkap, tetapi inti dari proses pendidikan nasional.

 Mencegah penularan kebencian SARA pada anak usia dini adalah investasi krusial bagi masa depan bangsa. Jika kita membiarkan benih-benih kebencian ini tumbuh subur di benak anak-anak, maka kita tengah membangun fondasi masyarakat yang rapuh, penuh konflik, dan jauh dari cita-cita persatuan.

 Jika anak-anak usia 7–10 tahun sudah bisa menganiaya  karena alasan suku dan agama, maka kita semua, sebagai orang dewasa, telah gagal menjaga mereka. Anak-anak tidak lahir dengan kebencian. Mereka mempelajarinya dari dunia yang kita bangun. 

Teori Bandura telah memperingatkan bahwa manusia belajar dari lingkungan sosialnya. 

Maka tanggung jawab kita adalah menciptakan lingkungan yang tidak memberi ruang bagi ujaran kebencian, diskriminasi, dan kekerasan. Jika tidak, maka yang kita tanam hari ini sebagai benih kebencian, akan tumbuh menjadi racun mematikan di masa depan.

 

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved