Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Menelaah Putusan yang Bernuansa Hukum Adaptif

Terdapat beberapa putusan hakim yang dapat kategorikan sebagai putusan yang sesuai dengan operasionalisasi hukum adaptif.  Di antaranya kasus Fidelis.

Editor: Sri Juliati
KOMPAS.com/Yohanes Kurnia Irawan
HUKUM ADAPTIF - Fidelis Arie Sudewarto saat di ruang Cakra, Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat dalam sidang putusan kepemilikan 39 batang ganja, Rabu (2/8/2017). Terdapat beberapa putusan hakim yang dapat kategorikan sebagai putusan yang sesuai dengan operasionalisasi hukum adaptif.  Di antaranya kasus Fidelis. 

Oleh: Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta

TRIBUNNEWS.COM - Selain produk hukum, sebagaimana tulisan sebelumnya, terdapat beberapa putusan hakim yang dapat kategorikan sebagai putusan yang sesuai dengan operasionalisasi hukum adaptif. 

Hakim, dengan kedalaman pertimbangannya, tidak jarang berani keluar dari kebiasaan tekstual dengan tetap memperhatikan niat baik, kontekstualitas, dan tindakan afirmatif.

Penulis memberikan setidaknya tiga contoh putusan hakim yang bernuansa hukum adaptif. Ketiga contoh putusan tersebut sebagai berikut:

Putusan Mahkamah Agung RI Putusan Nomor 368K/Ag / 1995 tentang Wasiat Wajibah bagi Anak Non-Muslim

Contoh pertama adalah putusan perihal wasiat wajibah.

Mahkamah Agung, di kisaran tahun 1995, pernah membuat putusan yang dianggap kontroversial yakni Putusan Nomor 368K/Ag /1995. 

Isi putusan itu perihal anak non-Muslim yang dapat menerima wasiat wajibah dari orang tua Muslim. 

Putusan itu tetap dijalankan meskipun secara Hukum Islam tradisional dikatakan bahwa perbedaan agama dapat menjadi salah satu penghalang seseorang memperoleh warisan. 

Jika kita telisik artinya putusan ini muncul murni atas niat baik hakim. Niat baik untuk mengedepankan keadilan substantif dan memberikan perlindungan hak asasi manusia dalam masyarakat yang plural.

Putusan ini juga dapat dikatakan hakim turut mempertimbangkan realitas sosial yang ada pada masyarakat Indonesia. 

Baca juga: Jejak Keadilan yang Berperspektif Hukum Adaptif

Masyarakat Indonesia seperti kita ketahui bersama adalah masyarakat yang multikultural dan multireligius. 

Oleh sebab itu, seringkali muncul keadaan di mana seorang anak yang berpindah agama setelah anak tersebut dewasa. Penyebabnya bisa karena pernikahan, bisnis, atau keadaan lain.

Putusan ini, berdasarkan analisis tindakan affirmatif, negara memberikan pengakuan hukum kepada anak non-Muslim sebagai ahli waris yang sebelumnya tidak diakui. 

Putusan ini juga memperkuat inklusivitas dalam Hukum Waris di Indonesia. 

Putusan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag Pengadilan Negeri Sanggau dalam Kasus Fidelis Arie

Contoh kedua terjadi pada tahun 2017. Saat itu, masyarakat Indonesia pernah dihebohkan oleh Putusan Nomor 111/Pid.Sus/2017/PN.Sag Pengadilan Negeri Sanggau

Kehebohan itu sesungguhnya merupakan puncak dari cerita awal seorang bernama Fidelis Arie yang dituntut karena memiliki dan menggunakan ganja. 

Usut punya usut, ternyata ganja itu ia pergunakan untuk mengobati istrinya yang sakit parah. 

Secara fakta dan norma tentu tindakan tersebut melanggar UU Narkotika. 

Akan tetapi hakim menjatuhkan hukuman yang ringan atau di bawah minimum khusus dengan alasan pertimbangan berdasarkan motif kemanusiaan. 

Hakim memilih keluar dari kurungan teks undang-undang. Hakim lebih mempertimbangkan niat baik terdakwa yang bertujuan menyelamatkan nyawa istrinya. 

Pertimbangan selanjutnya, selain kondisi medis istri terdakwa, adalah kondisi keterbatasan pengetahuan terdakwa. 

Kondisi keterbatasan terdakwa Fidelie Arie dalam mengakses pengobatan alternatif yang legal membuatny mau tidak mau menggunakan ganja. 

Secara kontekstual, sesungguhnya kekurangan dimaksud adalah masalah sebagian besar masyarakat Indonesia. 

Dengan memberikan hukuman di bawah minimum khusus menunjukkan bahwa hakim menghargai upaya seorang kepala keluarga dalam mencari solusi pengobatan bagi anggota keluarganya. Meskipun diketahui upaya itu dinilai bertentangan dengan hukum positif.

Baca juga: Hukum yang Adaptif: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Kehidupan Masa Depan yang Adil

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengakuan Hak Anak Luar Kawin

Terakhir adalah Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010. Putusan ini muncul atas pengujian atau pemintaan tafsir atas Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 

Pasal tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan ini dianggap diskriminatif terhadap anak luar kawin. 

Mahkamah melalui putusannya kemudian menyatakan, Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya. 

Hubungan itu dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. 

Mahkamah Konstitusi secara terang dan jelas menunjukkan niat baik dalam melindungi hak-hak anak luar kawin. Perlindungan agar mereka tidak mengalami diskriminasi dalam urusan keperdataan. 

Secara kontekstual, putusan mahkamah ini juga mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta realitas sosial bahwa di Indonesia teramat banyak anak luar kawin yang memiliki hubungan biologis dengan ayahnya. Dan mereka pada waktu itu tidak memperoleh perhatian yang cukup.

Putusan ini merupakan angin segar bagi anak luar kawin. Putusan yang memberikan pengakuan hukum kepada anak luar kawin untuk memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Dengan putusan ini perlindungan hukum bagi anak-anak dalam situasi tersebut diperkuat. 

Baca juga: Manifesto Hukum Adaptif: Melampaui Teks, Merengkuh Keadilan

Penutup

Ketiga putusan di atas menunjukkan bahwa hukum bisa beradaptasi. Adaptif di sini bukan berarti mengabaikan aturan. Adaptif di sini lahir dari niat baik untuk menegakkan keadilan dalam realitas yang kompleks. 

Atau ringkasnya, hakim tidak hanya berpegang pada teks hukum, tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial, niat baik, dan tindakan afirmatif dalam upaya memenuhi keadilan substantif. (*)

Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn
Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta
Dr. Bakhrul Amal, S.H., M.Kn Dosen Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta (ISTIMEWA/TRIBUNNEWS.COM)
Sumber: TribunSolo.com

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved