Senin, 6 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

28 Tahun Kudatuli: Merawat Elan Kejuangan Ibu Megawati

Kudatuli berawal dari upaya pengambilalihan secara paksa Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng.

|
Editor: Hasanudin Aco
Istimewa
Anggota DPR RI dari PDI Perjuangan I Made Urip. 

Oleh: I Made Urip
Anggota DPR RI dan Ketua DPP PDIP

TRIBUNNEWS.COM - Hari ini, Sabtu (27/7/2024), kita peringati 28 tahun tragedi berdarah di Jakarta yang kemudian dikenal dengan istilah Kudatuli, singkatan dari Kerusuhan 27 Juli 1996.

Kudatuli berawal dari upaya pengambilalihan secara paksa Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat.

Saat itu, Kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri hendak direbut paksa oleh massa pendukung Soerjadi yang didukung orang-orang berambut cepak dan berbadan tegap.

Akhirnya meletuplah Kudatuli itu.

Megawati merupakan Ketua Umum PDI hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya, Jawa Timur, 2-6 Desember 1993.

Sedangkan Soerjadi adalah Ketua Umum PDI hasil KLB di Medan, Sumatera Utara, 22 Juni 1996.

Dualisme kepemimpinan PDI itu bermula dari menyempalnya 16 fungsionaris DPP PDI hasil KLB Surabaya yang kemudian menggelar KLB di Medan yang dikomandani Fatimah Achmad yang telah dipecat dari PDI bersama 15 fungsionaris lainnya yang telah menyempal itu.

Baca juga: Refleksi 28 Tahun Kudatuli, PDIP Percaya Kekuatan Arus Bawah Mampu Lawan Tembok Kekuasaan Lupa Diri

Pemerintahan rezim Soeharto kemudian mengakui PDI yang dipimpin Soerjadi, dan sebaliknya tidak mengakui PDI yang dipimpin Megawati.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, kerusuhan itu mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang lainnya hilang. Adapun kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp100 miliar.

Kudatuli pun menjadi semacam puncak perlawanan Ibu Megawati terhadap rezim Orde Baru. Lalu lahirlah gerakan Reformasi yang mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998 saat Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden.

Tak akan ada Reformasi jika tak ada Kudatuli. Kudatuli adalah tonggak Reformasi.

Selain secara politik, Ibu Megawati dalam melawan rezim Orde Baru juga melakukannya secara hukum. Beliau taat asas dan taat hukum.

Tak ada aksi anarkis yang digerakkan Ibu Megawati dalam melawan rezim.

Dua tahun kemudian lahirlah gerakan Reformasi yang dimotori mahasiswa. Aksi-aksi demonstrasi pun digelar di mana-mana.

Terutama di Jakarta. Lalu terjadilah tragedi Trisakti serta Semanggi I dan Semanggi II berupa penembakan terhadap demonstran oleh aparat keamanan yang menimbulkan kematian korban. Akhirnya tumbanglah Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Wakil Presiden BJ Habibie kemudian naik menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Mandat utama buat Habibie adalah menggelar pemilu secepatnya.

Tiga bulan menjelang Pemilu 1999 atau tepatnya 15 Februari 1999, PDI bermetamorfosis menjadi PDI Perjuangan dan berhasil keluar sebagai pemenang Pemilu 1999, pemilu perdana di era Reformasi.

Ironisnya, yang terpilih menjadi Presiden adalah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bukan pemenang pemilu.

Bukan pula "runner up".

Bukan pula juara tiga. PKB hanya juara empat setelah Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemenangan Gus Dur terjadi akibat rekayasa Poros Tengah.

Sebagai negarawan sekaligus sosok yang taat asas, Ibu Megawati pun legawa menerimanya. Bahkan demi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, beliau bersedia menjadi Wakil Presiden.

Tapi akhirnya hak yang sempat melayang itu kembali ke putri Proklamator RI Bung Karno itu.

MPR yang sama dan dengan ketua yang sama melengserkan Gus Dur pada 23 Juli 2001. Lalu naiklah Ibu Megawati menjadi Presiden menggantikan Gus Dur.

Kursi Wapres ditempati Hamzah Haz yang menang dalam pemungutan suara di MPR. Pesan moralnya, kalau memang sudah haknya, maka tak akan ke mana.

Pada Pemilu 2004 dan 2009, PDIP seakan kehilangan tongkat sehingga kalah. Lalu bangkit lagi dan menang bahkan sampai "hattrick" atau tiga kali berturut-turut pada Pemilu 2014, 2019, dan 2024.

Lalu apa kunci kemenangan bahkan sampai "hattrick" itu? Ternyata adalah menjaga dan merawat elan atau semangat kejuangan seperti yang telah dicontohkan Ibu Megawati saat melawan rezim Orde Baru.

Yakni, taat asas serta setia kepada rakyat dan cita-cita. Jangan pernah melukai rakyat, apalagi rakyat kecil atau "wong cilik" yang merupakan mayoritas konstituen PDIP.

Rakyat adalah ruh PDIP. Maka perjuangan PDIP harus seirama dan senapas dengan aspirasi rakyat. Tanpa dukungan rakyat, PDIP bukan apa-apa.

"Vox populi vox dei", suara rakyat adalah suara Tuhan.

Kini, tantangan PDIP ke depan tidaklah lebih mudah.

Apalagi setelah mengalami kekalahan di Pilpres 2024.

Akan tetapi selama seluruh kader dan pengurus bisa menjaga dan merawat elan kejuangan seperti yang telah dicontohkan Ibu Megawati, kita tak perlu berkecil hati.

Kita optimistis. Kita akan kembali menang di Pemilu 2029. Semoga!

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved