Tribunners / Citizen Journalism
Informed Consent bagi Kegiatan Anak di Sekolah
Kegiatan kegiatan ekstrem dan diadakan di dalam maupun di luar area sekolah, hendaknya diberitahukan kepada orang tua/wali siswa.
OLEH : AWESTI TUNGGO ARI, Ibu Rumah Tangga/Alumni FH/Notariat UGM

ADA keluarga korban yang tidak mengetahui pihak sekolah menggelar kegiatan susur sungai. Mereka terkejut mengetahui anaknya menjadi korban jiwa setelah tenggelam di sungai dalam kegiatan sekolah.
Berita di Kompas 17 Oktober 2021 yang dimuat dalam halaman 4 tersebut cukup menyentakkan saya. Betapa tidak.
Kejadian serupa pernah terjadi pada murid murid SMPN 1 Turi, Sleman pada tanggal 21 Februari 2020 dan menewaskan 10 siswi.
Hanya setahun berselang, musibah serupa terjadi di Jawa Barat, menewaskan 11 siswa MTS Harapan Baru, Ciamis.
Entah apa yang menjadi sebab nyatanya sehingga musibah tersebut terjadi. Kegiatan yang dimaksudkan menambah wawasan dan pengalaman siswa telah berubah menjadi petaka bagi sementara siswa siswi kedua sekolah tersebut.
Semestinya sebelum melaksanakan kegiatan yang cukup ekstrem, berhubungan dengan alam, yang mengandung risiko cukup tinggi, berbagai pertimbangan matang dipikirkan oleh penyelenggara, dalam hal ini pihak sekolah.
Pertimbangan antara risiko dan kemanfaatan hendaknya dipikirkan secara seksama dengan mengutamakan keselamatan siswa peserta dan pendamping.
Studi lapangan tentang kondisi alam setempat, derasnya air, cuaca pada hari H dan risiko yang mungkin atau potensial timbul, hendaknya menjadi pertimbangan sebelum mengadakan kegiatan serupa.
Saya tidak paham, apakah hal hal tersebut sudah dilakukan secara cukup dan pantas oleh pihak sekolah, dalam hal ini panitia penyelenggara dan pendamping.
Kegiatan kegiatan ekstrem dan diadakan di dalam maupun di luar area sekolah, hendaknya diberitahukan kepada orang tua/wali siswa, beberapa hari atau beberapa minggu sebelum tanggal pelaksanaan.
Orang tua berhak mengetahui kegiatan sekolah, terlebih lagi kegiatan ekstrem serupa. Orang tua hendaknya dikirimi “Informed Consent”.
Ini pemberitahuan tentang kegiatan yang akan diadakan, diminta persetujuannya dengan hak untuk menolak memberikan persetujuan, dilengkapi dengan pertanyaan tentang kondisi medical khusus yang barangkali dimiliki oleh putra /putrinya.
Informed consent dimohon untuk ditanda tangani seandainya orang tua mengizinkan, dan diserahkan kembali ke sekolah, untuk dibaca satu per satu dan dipahami.
Kondisi medical siswa semestinya juga mendapat perhatian dari pendamping kegiatan, guru dan sekolah.
Pengetahuan tentang adanya kondisi khusus yang barangkali dimiliki siswa tertentu, bisa menjadi bahan pertimbangan tentang layak atau tidaknya siswa yang bersangkutan mengikuti kegiatan.
Ditambah langkah antisipatif seandainya di tempat kegiatan, ada kejadian khusus baik yang bisa diduga maupun potensial terjadi. Dengan demikian risiko yang mungkin timbul bisa ditekan seminimal mungkin.
Melakukan Informed Consent merupakan prasarat untuk melakukan aktivitas di negara maju, baik kegiatan fisik maupun penelitian, baik dilakukan oleh lembaga pendidikan, lembaga kemasyarakatan maupun lembaga lain yang melibatkan keikutsertaan publik.
Di Australia waktu anak anak saya masih duduk di bangku Primary School dan High School, cukup sering sekolah melakukan Informed Consent dengan mengirimkan lembaran ke orang tua yang harus ditanda tangani.
Di negara kita , hal tersebut baru dilakukan di bidang medis sebelum dokter melakukan tindakan medis bagi pasiennya.
Dalam bidang research juga sudah mulai dilakukan Informed Consent sebelumnya.
Tidak ada salahnya, kita lakukan Informed Consent juga untuk kegiatan di sekolah, maupun kegiatan kegiatan lain yang melibatkan publik, demi keamanan dan keselamatan bersama. Semoga! (*)
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.