Jumat, 3 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

COVID-19 dan Problem Kebudayaan

Sedikitnya, dalam catatan Worldometers ada 196 negara yang sedang menghadapi masalah Covid-19

Editor: Husein Sanusi
Junaidi/PBNU
PBNU Peduli Corona 

COVID-19 dan Problem Kebudayaan

Oleh: Slamet Tuharie

Corona Virus Disease atau yang kita kenal sebagai Covid-19 dalam beberapa bulan ini telah berhasil merubah kondisi masyarakat dunia. Wilayah awal dari munculnya Corona yakni Wuhan, sempat menjadi kota mati, meski mulai 20 Maret 2020 lalu, pemerintah China sudah mulai memberikan izin secara bertahap kepada ratusan perusahaan nasional dan internasional yang ada di Wuhan untuk mulai beraktivitas kembali sebagaimana yang dilaporkan oleh Channel  News Asia (CNA). Bahkan, pemerintah China akan mencabut status Lockdown pada Provinsi Hubei, termasuk Kota Wuhan pada selasa (24/3) tengah malam.

Namun, ketika China kini sudah mulai berangsur-angsur pulih, di berbagai belahan negara di dunia justru masih harus terus berjuang untuk menghadapi pandemic global ini. Sedikitnya, dalam catatan Worldometers ada 210 negara yang sedang menghadapi masalah Covid-19, termasuk di dalamnya adalah Amerika Serikat yang justru menjadi negara dengan jumlah pasien positif dan tingkat kematian tertinggi di dunia akibat Covid-19.

Tingkat kematian di Amerika Serikat bahkan kini telah jauh melebihi China yang merupakan negara asal Covid-19 dengan jumlah korban meninggal sebanyak 34.641 orang dari jumlah pasien sebesar 678.210 orang per 17 April 2020.

PBNU Galang Gerakan #salingpedulicorona
PBNU Galang Gerakan #salingpedulicorona: https://nucare.id/program/gerakan_sejuta_masker_cegah_corona (Junaidi/PBNU)

Sementara itu, selain Amerika ada Spanyol dengan 184.948 orang dengan jumlah kematian sebesar 19.315, Italia dengan 168.941 orang dengan korban jiwa sebesar 22.170 orang. Begitu pula dengan Perancis yang telah mencatatkan korban meninggal sebanyak 17.920 dari total pasien positif sebanyak 165.027 orang.

Adapun Indonesia, dalam catatan Worldometers per 17 April 2020 tercatat 5.516 kasus dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 496 orang atau dengan Case Fatality Rate (CFR) sebanyak 8,99 persen. Ini adalah catatan yang sama dengan yang telah disampaikan oleh Satgas Penanganan COVID-19 dari Pemerintah Indonesia.

Tentu saja, ini adalah catatan yang tidak terlalu baik untuk Indonesia yang berdasarkan catatan World Health Organization (WHO) terhadap  Covid-19 berada di angka 3,4 persen. Oleh karena itu, bukan hanya pemerintah, namun seluruh masyarakat juga memiliki tanggungjawab yang sama untuk mencegah penyebaran Covid-19 agar tidak semakin meluas.

Problem Budaya Interaksi

Penyebaran Virus Corona yang begitu cepat hingga masuk ke 210 negara, telah dijelaskan oleh para ahli kesehatan dan virologist dengan berbagai teorinya.  Dan tulisan ini, tidak akan membahas Covid-19 dalam perspektif kesehatan, karena sudah begitu banyak yang menjelaskan dari sudut pandang itu. Perlu diketahui, bahwa ada satu hal yang turut menyumbangkan percepatan penyebaran Covid-19, yaitu budaya interaksi masyarakat global.

Meski era globalisasi telah memudahkan masyarakat global untuk berinteraksi tanpa skat geografis, nyatanya ada banyak hal yang belum bisa diselesaikan melalui dunia digital dan harus dilakukan dengan pertemuan/kunjungan secara langsung. Terutama hal-hal yang bersifat kenegaraan, bisnis, dan pariwisata. Bukan saja pada masyarakat kelas elit atau pun pejabat negara, namun masyarakat kelas menengah saat ini juga mulai menyukai eksplorasi pada negara lain untuk sekadar memenuhi rasa ingin tahu, atau tidak sedikit yang bertujuan untuk menciptakan social branding di media sosial.

Dengan adanya fenomena social branding ini, maka muncul budaya-budaya baru yang begitu menjamur di dunia maya, salah satunya adalah budaya berbagi yang tidak lagi mengindahkan batas-batas privasi seseorang, dan budaya eksisting di media sosial yang bertujuan untuk meningkatkan status sosial seseorang di dunia maya.

Budaya berbagi dan eksisting di media sosial ini ditangkap dengan baik oleh berbagai negara di dunia dengan memberikan kemudahan akses keluar masuk ke negaranya masing-masing. Jika Negara membutuhkan pemasukan devisa dari sektor pariwisata sekaligus untuk menaikkan citra pariwisatanya di dunia luar, maka masyarakat modern butuh publikasi di media sosial sebagai ajang eksistensi dirinya.

Benang merah dari dua hal tersebut kemudian terwujud melalui penerbitan kebijakan bebas oleh berbagai negara di dunia, kebijakan diskon harga tiket pesawat yang disubisi oleh pemerintah setempat, hingga rute-rute penerbangan baru yang direct antar negara pun diciptakan. Tujuannya tidak lain adalah untuk meningkatkan minat masyarakat luar negeri pada wisata di negaranya untuk sebesar-besarnya menarik income melalui sektor pariwisata. Itu pula yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Proses budaya interaksi masyarakat global saat ini dengan berbagai kemudahan akses untuk berkunjung ke suatu negara ini disadari atau tidak, juga memberikan sumbangsih bagi percepatan penyebaran sebuah virus, termasuk di dalamnya adalah virus corona. Maka, tak heran jika hari ini banyak negara yang memberlakukan lockdown dan menutup akses keluar masuk dari dan ke negara mereka, sekaligus untuk membatasi interaksi antar masyarakatnya. Tentu ini semata-mata karena ingin meminimalisir penyebaran Covid-19.

Lalu bagaiamana dengan Indonesia? Jika melihat pada kebijakan pemerintah yang saat ini telah membatasi penerbangan dari China, Italia, Iran, Vatikan. Spanyol, Perancis, Jerman, Swiss dan Inggris, paling tidak kita telah melihat ada upaya untuk membatasi interaksi masyarakat Indonesia dengan warga negara-negara tersebut ataupun warga Indonesia yang baru berkunjung dari negara-negara tersebut untuk mempersempit penyebaran Covid-19.

Namun, justru ada problem serius dari dalam negara Indonesia sendiri terkait masalah  budaya interaksi yang dapat mempercepat penyebaran Covid-19. Di Indonesia, budaya interkasi secara kelompok adalah hal umum yang sudah menjadi bagian dari kebudayaan kita. Maka tidak heran jika banyak sekali acara-acara yang sifatnya mengumpulkan massa. Mulai dari yang berasal dari sisi kebudayaan dan tradisi lokal, masalah keagamaan, hingga kegiatan organisasi sosial dan kemasyarakatan.  

Problem budaya interaksi inilah yang menjadi PR besar bagi pemerintah dan seluruh masyarakatnya agar bagaimana perlu saling sadar diri tentang risiko yang mungkin akan terjadi jika budaya interaksi secara kelompok ini masih terus dilakukan di tengah kondisi pandemic Covid-19. Meninggalkan hal yang sudah membudaya, memang bukanlah hal yang mudah, namun pemerintah perlu melakukan pressure terhadap siapapun atau kelompok apapun yang masih berkegiatan secara kelompok.

Hal ini sangat penting untuk dilakukan, disamping pemerintah juga tentu harus menggiatkan budaya literasi terhadap masyarakatnya agar lebih sadar terhadap risiko-risiko buruk yang mungkin terjadi karena budaya interaksi yang dilakukan. Oleh karena itu, sekarang bukan saatnya mengeluh. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama melawan Corona.

Pemerintah, dengan kekuasannya diberikan kepercayaan penuh untuk mengambil segala kebijakan strategis yang dirasa perlu dalam rangka meredam penyebaran Covid-19. Sementara masyarakat kita, harus meminimalisir interaksi-interkasi yang bersifat kelompok untuk sementara waktu.  Jika pemerintah dan masyarakat bisa bekerjasama, bukan tidak mungkin penanganan Covid-19 akan dapat dilakukan maksimal dengan waktu yang efektif.

Penulis Adalah Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved