Tribunners / Citizen Journalism
Tegas Menolak ISIS Eks WNI, “Jempol” untuk Jokowi
Dalam kajian Ushul Fiqh, sikap tegas berpikir presiden masuk pembahasan Sadd al-Dzari’ah (menutup jalan keburukan).
Tegas Menolak ISIS EKS WNI, “Jempol” untuk Jokowi
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tegas dalam berpikir penyelamatan mayoritas. Demi mengamankan 260-an juta jiwa, yang belum terpapar radikalisme, Jokowi memutuskan tidak memulangkan 689 jiwa Eks WIN tersebut.
Ketegasan itu tercermin pada ucapannya, “nama dan siapa berasal dari mana, data itu komplet. Sehingga cegah tangkal bisa dilakukan di sini, kalau data itu dimasukkan ke imigrasi. Tegas ini saya sampaikan,” katanya.
Dalam kajian Ushul Fiqh, sikap tegas berpikir presiden masuk pembahasan Sadd al-Dzari’ah (menutup jalan keburukan).
Muhammad Hisyam al-Burhani mengutip al-Qurthubi dalam mengartikan al-Dzari’ah. Bagi al-Qurthubi, Dzari’ah adalah al-Khauf (ketakutan, kekhawatiran).
Pemulangan Eks WNI menjadi sumber munculnya kekhawatiran publik, seperti bertambahnya jumlah pendukung paham radikal.
Menolak pemulangan atas dasar kekhawatiran itu merupakan logika Sadd al-Dzari’ah.
Bangsa Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945. Turki Utsmani runtuh tahun 1922, sebelum kemudian spirit khilafah ini bangkit kembali pada tahun 1952.
Artinya, 689 jiwa Eks WNI itu sudah betul-betul matang dalam melihat baik-buruk keputusan mereka menolak NKRI-Pancasila.
Alasan subjektif mereka memilih bergabung dengan ISIS juga sudah kuat. Karenanya, Jokowi sudah tepat merasa khawatir Eks WNI tersebut dipulangkan.
Komnas HAM dan politisi-politisi dari beberapa partai politik yang mendukung pemulangan Eks WNI itu, bertentangan dengan logika Sadd al-Dzari’ah. Al-Qurthubi mengatakan, “al-Dari’ah ibaratun ‘an amrin ghairi mamnu’in li nafsihi, yukhafu min irtikabihi al-wuqu’u fi mamnu’in.” Perkara yang pada dirinya sendiri tidak terlarang namun melakukannya dikhawatirkan terjatuh pada perkara terlarang (Al-Burhani, Sadd al-Dzara’i fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Ktab Inc., 1985: 60).
Bagi aktivis Komnas HAM, diksi Eks WNI dari Jokowi tidak tepat. Lebih tepat disebut WNI Eks ISIS.
Artinya, status sebagai warga negara Indonesia belum terhapus sama sekali, sekali pun sudah memutuskan anti-Pancasila dan anti-NKRI. Komnas HAM tidak memakai logika “kekhawatiran” sebagaimana dipakai oleh Jokowi.
Karena beda logika, di mata Komnas HAM, ilmuwan, dan sebagian politisi pendukung pemulangan, maka pemulangan Eks ISIS tersebut bukan perkara terlarang.
Penulis berseberangan dengan pandangan Komnas HAM, ilmuwan dan politisi yang pro-pemulangan.
Bagi Al-Chaidar Abdul Rahman Puteh, Universitas Malikussaleh Aceh, misalnya, Eks ISIS itu tertipu bujuk rayu manis ISIS, hanya terperdaya saja. Atas alasan terperdaya itu, al-Chaidar pro-pemulangan.
Pernyataan di atas tidak konsisten. Al-Chaidar sendiri mengakui bahwa ISIS berpaham Wahabi-Takfiri, yang mengkafirkan orang lain, suka membunuh orang Islam.
Penulis semakin ragu pada pernyataan tersebut, sebab era internet itu sudah dimulai tahun 1990-an namun dalam sekejap mata mampu mengoneksikan jaringan Indonesia ke Afghanistan. Apalagi pasca 2000-an, maka sudah pasti akses informasi sudah tidak tertutup lagi.
Keputusan Pemerintah Jokowi untuk menolak pemulangan Eks WNI sudah satu langkah lebih maju dari nalar Komnas HAM. Ini sebagai pelajaran terakhir setelah sebelumnya pemerintah pernah kecolongan.
Eks WNI yang pernah bergabung dengan teroris Afghanistan diperbolehkan pulang ke Indonesia tahun 1990-an. Tahun 2002, alumni-alumni Afghanistan melakukan teror bom di Bali.
Menolak pemulangan alumni ISIS dengan berkaca pada Bom Bali sudah dibenarkan oleh kaidah Ushul Fiqih. Al-Qurthubi menyebutnya, “yukhafu min irtikabihi al-wuqu’u fi mamnu’in.” Pekerjaan yang dikhawatirkan, di masa depan, mendorong terjadinya perkara yang terlarang. Terlebih para warga negara Indonesia mantan anggota ISIS, Raihan, mengatakan: “ISIS itu pembohong. Jangan percaya sama media-media mereka lagi,”
Pro-kontra pemulangan ini bukan lagi persoalan sejarah, ideologi, alasan-alasan parsial, melainkan sudah menyangkut perkara yang lebih sublim. Percaya atau tidak. Khawatir atau tidak. Sebab, sebagian Eks ISIS sudah menaruh mosi tidak percaya, sekali pun pendukung ISIS menaruh percaya akan kejujuran.
Di hadapan dua pilihan rasional ini, Jokowi berpihak pada logika antisipasi dan mosi tidak mau percaya seperti disampaikannya: “Karena sudah menjadi keputusan mereka, tentu saja segala sesuatu mestinya sudah dihitung dan dikalkulasi oleh yang bersangkutan,"
Bagaimana nasib anak-anak yang belum mengerti tujuan radikalisme orang tua mereka? Menko Polhukam, Mahfud MD, menyebut penanganan anak-anak Eks WNI di bawah usia 10 tahun bukan program deradikalisasi melainkan program kontra radikalisme. Penulis setuju dengan pandangan Menko Polhukam ini.
Dalam turunan kaidah Sadd al-Dzari’ah ini terdapat istilah yang disebut “maddah”. Muhammad Hisyam al-Burhani mengatakan, fal maddah fi ayyi mitsalin min amtsilati saddi al-dzara’i waqi’atun min fi’lil mukallafi, yattakhidzuha wasilatan li ghardin fasidin, wan nazharu fi hadzihil waqi’ati ‘amalun lil mujtahidi,” (al-Burhani, Sadd al-Dzara’i, 1985: 146).
Semua kasus yang berkaitan dengan Sadd al-Dzari’ah ini harus menyangkut perbuatan orang mukalaf.
Anak-anak kecil yang belum mukalaf tidak termasuk. Jadi, pemerintah harus segera menyelamatkan anak-anak kecil ini yang belum mengerti apa itu ideologi, pseudo-science, kebenaran semu itu.
Karena Menko Polhukam yang punya ide tersebut, maka menurut penulis, Pak Mahfud perlu segera ambil tindakan konkret, sebelum usia anak-anak itu bertumbuh lebih dewasa dan menyimpan kebencian yang diwariskan dari orang tuanya.
Terakhir, penulis sampaikan apresiasi kepada Presiden Jokowi yang telah menjamin rasa aman pada hati dan pikiran publik mayoritas. Pemerintah harus kuat keyakinan dan teguh hati untuk mengabaikan logika-logika “penipu” yang pro-pemulangan Eks WNI tersebut. Karena kaidah lain berbunyi ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib, maka mendukung pemerintah Jokowi dalam hal penolakan pemulangan Eks WNI juga merupakan perkara wajib.
Harapannya, demi jumlah para pendukung ideologi khilafah di Indonesia tidak bertambah secara kuantitas, pemulangan harus ditolak.[]
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.