Tribunners / Citizen Journalism
Nuansa Politik di Balik Polemik Gus Muwafiq dengan FPI, Buah Simalakama Buat Bareskrim Polri
Jebakan buah simalakama semacam ini memang dibuat untuk Bareskrim Polri. Karenanya, umat muslim perlu tahu, bahwa agama merupakan sasaran empuk
FPI vs Gus Muwafiq ; Buah Simalakama untuk Bareskrim Polri
Oleh KH Imam Jazuli, Lc., M.A*
Kita nyaris sepakat, agama adalah bahan mentah politik yang mudah menyulut emosi orang. Karena agama itu letaknya di hati dan emosi, konflik ini sangat menguras perasaan. Termasuk soal FPI yang melaporkan Gus Muwafiq ke Bareskrim Polri.
Tentu saja kita ingin terlalu jauh melihat FPI dan Gus Muwafiq (NU). Kita tidak ingin terjebak pada analisa emosional yang subjektif, dan mewakili kelompok ormas tertentu.
Sebaliknya, hal paling penting adalah masalah yang Bareskrim Polri hadapi, adanya laporan FPI tentang penistaan agama oleh dai NU, Gus Muwafiq.
Setidaknya ada beberapa alasan untuk itu: pertama, ketidaksukaan FPI pada Gus Muwafiq adalah kebencian politis FPI pada NU.
Sekali pun ada upaya "islah" dari Ketum PBNU KH Said Aqil, yang meminta umat muslim untuk menghormati para habaib yang keturunan Nabi, termasuk Habib Rizieq Shihab (HRS), seruan islah ini tidak dianggap cukup.
FPI menagih perkara lain yang lebih penting bagi kelompok mereka, yakni sebelum kepulangan HRS dari Arab Saudi, konsep damai atau islah adalah omong kosong.
Kedua, FPI melihat bahwa kongkalikong politik di pemerintah sangat kental. Tampak nalar pemerintah dipengaruhi oleh nalar dakwah NU yang menekankan "amar ma'ruf", bukan model "nahi mungkar" gaya FPI selama ini.
Dengan berbelit-belitnya sistem prosedural SKT FPI, penantian panjang mendapat restu dari Kemendagri dan Kemenko Polhukam, membuat Reuni 212 tidak bermakna secara politis, karena tanpa kehadiran HRS.
Ketiga, FPI melihat kecenderungan pemerintah yang mengulur-ulur SKT tidak lepas dari campur aduk orang-orang PBNU di kekuasaan, yang selama ini memang musuh "bebuyutan" FPI dalam berdakwah. Apalagi SKT dari Kemenag itu dikritik secara keras oleh lingkaran elite PBNU sendiri, padahal manfaat SKT sangat menguntungkan FPI.
Dalam konteks politik semacam ini, Bareskrim Polri harus mengerti bahwa laporan "penistaan agama" oleh FPI atas yang tertuduh Gus Muwafiq, Dai Milenial NU, merupakan perang politik. Polri di sini bisa terjerumus pada lubang politik yang sedang disiapkan oleh FPI.
Kecewa besar HRS tidak hadir pada Reuni 212, perjalanan panjang mendapat restu dari Kemendagri (Tito Karnavian) dan Kemenko Polhukam (Mahfud MD), adalah alasan kebencian FPI pada NU.
Gus Muwafiq adalah target empuk, dengan kesalahan yang cukup representatif untuk diserang. Inilah konteks politik yang Bareskrim harus pahami.
Bareskrim Polri dihadapkan pada persoalan politik, di mana Interpretasi hukum akan bernuansa politis. Karena kebencian FPI pada Gus Muwafiq adalah permusuhan abadi FPI pada NU, maka Bareskrim kini dihadapkan pada buah "simalakama".
Sebab, hanya permainan dan perjudian politik yang membolehkan perbuatan saling membunuh karakter lawan. Sebaliknya, ajaran agama mana pun mewajibkan kerukunan, saling memaafkan, karena tidak ada manusia yang bebas dari dosa.
Jika suatu hari nanti Bareskrim Polri tidak menangkap Gus Muwafiq dan/atau pengadilan memenangkan perkara Gus Muwafiq, maka gengsi politis FPI akan hancur.
Tetapi, jika mengikuti keinginan dan nalar kepentingan FPI, maka orang-orang NU akan bergerak.
Mengapa? Ustad Abdul Somad (UAS) menuduh Nabi Muhammad tidak mampu mewujudkan Islam Rahmatan lil alamin, Evie Effendi menghina Nabi Muhammad dengan menyebutnya sesat, Kholid Basalamah yang berpendapat kedua orang tua Nabi Muhammad berada di neraka.
Ulama-ulama NU mengerti bahwa cara menghadapi pendapat keliru adalah dengan pendapat yang benar; fatwa dibalas fatwa, bukan lewat jalur hukum dan perjudian politik, seperti kasus FPI atas Gus Muwafiq.
Gus Muwafiq memang terpeleset lidah dengan mengatakan Nabi pada masa kecil berpenampilan "rembesan".
Tetapi, dai NU ini masih bisa dibilang tidak parah bila dibanding ucapan-ucapan kasar tentang Nabi dari da'i-da'i golongan mereka.
FPI tidak akan mendapat keuntungan politik bila memerkarakan dai-dai seperti UAS, Evie Effendi, Kholid Basalamah, dan lainnya.
Tetapi, dengan memenjarakan Gus Muwafiq maka terbalaslah dendam FPI pada NU, termasuk kekecewaan FPI pada pemerintah terkait sulitnya perpanjangan SKT maupun pemulangan HRS.
FPI merasa perlu memainkan perjudian politik di sini. Menang kalah urusan belakangan. Sebab, politik adalah permainan, dan pemenang tidak bisa ditentukan sejak awal.
Tetapi, target utama memerkarakan kasus Gus Muwafiq ini sudah sangat jelas. Ulama-ulama NU harus memilih di antara dua pilihan: pertama, ulama NU mengorbankan Gus Muwafiq dan tetap konsisten menolak SKT FPI, atau kedua, ulama NU membela kasus Gus Muwafiq yang kini sudah masuk ranah hukum, lalu mengendur dalam soal SKT FPI.
Jebakan buah simalakama semacam ini memang dibuat untuk Bareskrim Polri. Karenanya, umat muslim perlu tahu, bahwa agama merupakan sasaran empuk untuk diperjual-belikan.
Konflik agama semacam ini, sejak Pilpres 2019 yang lalu, sudah semakin terang benderang apa maksud dan agenda besarnya.
Ternyata, banyak umat beragama dijadikan "kelinci" percobaan oleh para dalang-dalang di balik layar. Para dalang ini berhasil menyelam ke dasar pertahanan emosional umat beragama.
Massa digerakkan atas dasar sesuatu yang bisa diterima mereka secara lebih emosional. Kemudian efek perlawanan emosional mereka itulah kelak dijadikan bahan mentah, yang bisa diolah oleh berbagai kepentingan elite.
Apa yang dilakukan FPI pada Gus Muwafiq adalah cara bermain politik agama yang monoton, dan sudah kadaluwarsa. Andai FPI tidak sedang berbisnis politik, tentu mereka akan melaporkan kasus-kasus UAS, Evie, Basalamah, dan lainnya. Nyatanya mereka bungkam seribu bahasa.
Tetapi, Umat sudah banyak belajar dari kasus mantan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Kasus Kerusuhan berbasis agama pada Pilpres 2019. Salah satu pelajaran penting dari semua itu, kita harus mengusir sejauh-jauhnya para dalang yang menjadi otak dari semua ini.
Para dalang ini adalah mereka yang jadi Gelandangan-gelandangan politik. Merekalah yang harus ditangkap, setidaknya dibongkar rahasia mereka ke publik, supaya publik lebih sadar bahwa mereka betul-betul dipermainkan dan ditipu. Agama dijadikan pintu masuk untuk mengobok-obok hati dan pikiran, yang kelak bisa dipetik buahnya demi kepentingan pragmatis dan politik kekuasaan.
Gelandangan-gelandangan politik pun harus move on; bergerak lebih maju, dan jangan hanya bermain eceran semacam ini.
Bangsa dan negara ini harus kuat, bersatu padu, demi menghadapi persaingan global yang semakin keras. Jangan lagi permainkan hati, iman, dan pikiran orang-orang awam. Mereka itu tulus beragama, dan jangan kalian jual untuk kepentingan politis pragmatis kalian sendiri. Mari kita hidup rukun, bahu-membahu, menyongsong masa depan cerah bangsa dan negara.*
*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015*.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.