Minggu, 5 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Ketika KPK Menjadi 'Anak Tiri' Jokowi

Pemberantasan korupsi mendukung investasi yang digalakkan Jokowi atau tidak?

Editor: Hasanudin Aco
Ist/Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Pemberantasan korupsi, mendukung atau justru mengganggu investasi?

Pertanyaan ini terngiang dalam benak penulis usai menyaksikan pidato inagurasi Joko Widodo saat dilantik sebagai Presiden RI untuk kedua kalinya, Minggu (20/10/2019) sore, di Kompleks DPR/DPD/MPR RI, Senayan, Jakarta.

Pada periode 2019-2024 ini, Presiden Jokowi didampingi KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden RI yang menggantikan Jusuf Kalla.

Betapa tidak? Dalam pidato yang disampaikan Presiden Jokowi tanpa teks itu, mantan Gubernur DKI Jakarta ini sama sekali tidak menyinggung soal pemberantasan korupsi.

Wong Solo itu hanya fokus pada pembangunan sumber daya manusia dan ekonomi.

Ada lima garis besar kebijakan Presiden Jokowi lima tahun ke depan yang ia paparkan.

Pertama, pembangunan sumber daya manusia, yang akan menjadi prioritas utama periode kedua pemerintahannya.

Upaya ini dilakukan untuk merespons bonus demografi yang menciptakan peluang tersendiri. Presiden Jokowi ingin menciptakan generasi pekerja keras yang dinamis, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Kedua, pembangunan infrastruktur, yang akan terus dilanjutkan untuk mendukung aktivitas masyarakat, termasuk mendukung pengembangan perekonomian dan kemudahan aksesibilitas. 

Ketiga, penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi. Untuk itu, Presiden Jokowi akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua undang-undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja, dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Kedua UU ini akan merevisi banyak UU yang menghambat terciptanya lapangan kerja dan UMKM.

Keempat, penyederhanaan birokrasi. Presiden Jokowi bertekad memotong birokrasi yang panjang, dan akan melakukan penyederhanaan eselonisasi, dari empat menjadi hanya dua, yakni tingkat fungsional yang menghargai kompetensi dan keahlian. Ia tak segan mencopot pejabat yang tak serius bekerja.

Kelima, transformasi ekonomi. Negara akan fokus pada upaya transformasi dari ketergantungan sumber daya alam ke daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa.

Presiden Jokowi menargetkan pada 2045 Indonesia keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah, dan angka kemiskinan Indonesia mendekati nol persen. 

Mengapa Presiden Jokowi sama sekali tak menyinggung pemberantasan korupsi?

Apakah ia menganggap pemberantasan korupsi akan mengganggu investasi, sebagaimana pernah disampaikan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Moeldoko yang kemudian diralat?

Saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Jokowi melontarkan sembilan program kerja yang kemudian dikenal sebagai Nawacita.

Cita ke-4 dari Nawacita adalah, "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.'

Apakah tidak disebutnya pemberantasan korupsi itu karena Jokowi merasa sudah berhasil pada periode pertamanya? Kita tak tahu pasti. Yang jelas, angka korupsi di Indonesia tak kunjung turun.

Lingkungan pemerintahan sendiri juga tak bersih-bersih amat. Idrus Marham, sebelumnya Menteri Sosial, dan Imam Nahrawi, sebelumnya Menteri Pemuda dan Olah Raga, sudah menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagitu pun mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy, "sohib" Jokowi.

Apakah karena itu lalu pemberantasan korupsi dan KPK tidak disebut dalam pidato inagurasi Jokowi?

Tidak itu saja. Jokowi juga sama sekali tidak melibatkan KPK dalam penelusuran track records (rekam jejak) calon menteri kabinet yang kini sedang disusun Jokowi.

Memang, di dalam konstitusi tak ada keharusan Presiden melibatkan KPK, karena urusan penyusunan kabinet merupakan hak prerogratif Presiden.

Namun hal ini menimbulkan tanda tanya besar karena saat menyusun Kabinet Kerja I, Jokowi melibatkan KPK. Apakah KPK kini telah menjadi anak tiri Jokowi?

Mungkin bukan sekadar anak tiri, melainkan sudah menjadi anak durhaka, sehingga KPK harus "dikutuk" menjadi "batu".

"Kutukan" itu berwujud pemilihan pimpinan KPK dan revisi Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang kini menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang disahkan DPR pada 17 September 2019.

Meski banyak penolakan terhadap Firli Bahuri karena sosoknya yang kontroversial, Presiden Jokowi tetap mengirim nama Kapolda Sumatera Selatan ini ke DPR untuk dilakukan fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).

Akhirnya DPR pun meloloskan Firli yang juga mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) ini sebagai Ketua KPK.

Saat menjabat Deputi Penindakan KPK, Firli diduga bertemu dengan pihak yang sedang berurusan dengan KPK, yakni M Zainul Majdi saat pria yang akrab disapa Tuan Guru Bajang ini menjabat Gubernur NTB.

Presiden Jokowi juga menyetujui revisi UU KPK yang merupakan usul inisiatif DPR. Padahal revisi itu berpotensi melemahkan KPK. Betapa tidak?

Kini KPK punya Dewan Pengawas. Bila mau melakukan penyadapan, KPK harus izin dulu ke Dewan Pengawas ini. Implikasinya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) pun akan sulit dilakukan KPK.

Padahal sebelumnya KPK gencar melalukan OTT. Sepanjang Januari 2019 hingga kini, KPK sedikitnya sudah melakukan 21 kali OTT.

KPK juga diberi kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), yang sebelumnya dilarang. SP3 ini memungkinkan penyidik dan pimpinan KPK "main mata" dengan tersangka.

Dengan memiliki kedua hal itu, yakni Dewan Pengawas dan SP3, kini posisi KPK seperti lame duck (bebek lumpuh), kalau tidak boleh dikatakan menjelma menjadi batu.

Bila Presiden Jokowi menargetkan angka kemiskinan mendekati nol persen pada 2045, sekarang baru sekitar 9 persen, mengapa ia seakan abai terhadap pemberantasan korupsi?

Pun, bila Presiden Jokowi mau menggenjot investasi, mengapa pula ia seakan abai terhadap pemberantasan korupsi?

Ataukah memang ia menganggap pemberantasan korupsi justru menghambat dan mengganggu investasi seperti pernah disuarakan Moeldoko?

Berbagai lembaga survei menyatakan, salah satu faktor iklim investasi yang baik ialah soal penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi termasuk di dalamnya.

Salah satu faktor yang memengaruhi investasi adalah kepastian hukum, dan dalam kepastian hukum itu ada pemberantasan korupsi.

Meski KPK gencar melakukan OTT, tapi realisasi investasi tidak mengalami penurunan.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang Semester I/2019 realisasi investasi sebesar Rp 395,6 triliun. Realisasi ini tumbuh 9,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, yakni Rp 361,6 triliun.

Secara persentase, peningkatan investasi kali ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan 2018 yang tumbuh 7,4 persen.

Dari sisi porsi realisasi, jumlah pencapaian investasi semester I/2019 ini setara dengan 49,9 persen dari target sepanjang tahun ini yang mencapai Rp792 triliun.

Praktik korupsi juga menciptakan ekonomi berbiaya tinggi atau high cost economy yang membebani pelaku ekonomi.

Kondisi ekonomi berbiaya tinggi ini berimbas pada mahalnya harga barang dan jasa pelayanan publik karena harga yang ditetapkan harus dapat menutupi kerugian pelaku ekonomi akibat besarnya modal yang dikeluarkan karena korupsi.

Karena harga barang dan jasa meningkat, maka daya beli masyarakat menurun, dan inflasi pun meningkat. Jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan pun bertambah.

Itulah benang kusut antara korupsi dan kemiskinan yang saling berkelindan.

Maka ketika Presiden Jokowi berbicara soal angka kemiskinan dan investasi tanpa menyebut pemberantasan korupsi, itu nonsens.

Dr. Drs H Sumaryoto Padmodiningat MM: Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI) Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved