Tribunners / Citizen Journalism
Mendesaknya Pembentukan Kementerian Pesantren
Kementerian pesantren bertujuan mengembalikan jati diri kebangsaan yang telah banyak dikorupsi itu.
Mendesaknya Pembentukan Kementerian Pesantren
Oleh: KH. IMAM JAZULI, Lc., MA.*
Negara kita sedang darurat terorisme. Paham Islam radikal-fundamental diimpor terus-menerus dari luar dan diproyeksikan menghancurkan peradaban nusantara yang telah dibangun susah payah oleh kaum santri.
Tanpa hendak berlebihan mengkritik pemerintah dan direkorat pesantren di Kementerian Agama, tapi inilah buah pahit yang harus ditelan karena telah mengabaikan kontribusi pesantren.
Pesantren telah banyak menanam saham kebangsaan untuk masa depan negara ini.
Tetapi, perlahan seiring berjalannya waktu, komunitas pesantren terus dipinggirkan. Sebanyak 28 ribu pesantren, puluhan ribu diniyah, dengan jumlah santri 8 juta jiwa, pelan dan pasti terus tersingkirkan oleh sistem sosial-politik. Jika kemudian kendali negara, pemerintah, dan kekuasaan dipegang oleh pribadi-pribadi yang rakus, materialistis, jauh dari pribadi adiluhung maka itulah konsekuensinya.
Jati diri keagamaan dan kebangsaan kita hari ini jauh dari idealisme historis. Padahal, jati diri sebuah bangsa terletak pada komitmennya untuk mempertahankan sejarah. Perubahan waktu yang terus-menerus dalam sejarah merupakan tantangan terberat agar tetap selalu ingat.
Salah satunya sejarah pesantren dalam konteks relasinya dengan dan posisinya di depan kekuasaan.
Usia pesantren sudah jamak diketahui setua periode Islamisasi atau dakwah Islam di bumi Nusantara. Sebagai wadah penggemblengan intelektual dan spiritual, pesantren berhadap-hadapan langsung dengan masyarakat maupun penguasa (kerajaan ataupun kolonial).
Karenanya, para santri bukan semata berasal dari masyarakat biasa melainkan juga dari kalangan elit istana.
Raden Fatah, Raja Kerajaan Islam Demak pertama, adalah sosok seorang santri. Di bawah gemblengan intelektual dan spiritual Walisongo, Raden Fatah membangun kerajaan Islam.
Di kemudian hari, Sunan Gunung Jati sendiri yang menjabat sebagai Raja. Ini semua merepresentasikan kehadiran santri dan peran pesantren di pusat kekuasaan keraton, baik sebagai subjek aktif maupun objek pasif.
Memasuki era kolonialisme, kita dapat mengangkat sosok Pangeran Diponegoro sebagai representasi santri, yang tidak saja berbekal spiritualitas melainkan juga intelektualitas subversif pada penjajahan.
Di era paling belakangan, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari bersama para santri di bawah spirit Resolusi Jihad memperkuat hipotesa perlawanan santri dalam rangka merebut kekuasaan.
Begitu pun sebaliknya, pesantren sebagai institusi pendidikan memiliki sejarahnya sendiri.
Sebuah memori sejarah yang detik ini, tepat saat artikel ini ditulis, masih bertahan dalam kenangan dan belum sepenuhnya manifes dalam tulisan. Pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan nusantara yang masih mewariskan dan mempertahankan aspek-aspek tertentu dari jaman sebelumnya.
Pertama, era pra kolonial.
Pondok pesantren pada era pra kolonial mengajarkan kurikulum pendidikan yang sangat komplek, sebagaimana lembaga pendidikan Hindu-Buddha.
Pengajaran agama, kesenian, kebudayaan, kesusastraan, sosial-kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi digarap di dalam pondok pesantren. Sedangkan kebijakan politik, ekonomi, dan keamanan sepenuhnya hak prerogatif keraton.
Kedua, era kolonial. Pemangkasan sistem pendidikan pondok pesantren terjadi sejak memasuki era kolonial dan berpuncak di era paska kemerdekaan. Sistem klasikal mulai diterapkan oleh otoritas kolonial untuk mengontrol perkembangan wacana pengetahuan orang pribumi, dan pondok pesantren hanya diperbolehkan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Aspek-aspek lain selain bidang agama diambil alih kerajaan dan kolonial.
Satu-satunya strategi bertahan yang dilakukan oleh para kiai adalah membangun pondok-pondok pesantren di pedalaman, yang mustahil dijangkau oleh kekuasaan. Di wilayah-wilayah pelosok pedalaman ini, pesantren mengajarkan ilmu agama sekaligus melebur bersama masyarakat dalam berbagai lini. Karenanya, di jaman dulu, pesantren bukan milik kiai melainkan milik bersama masyarakat. Ketika peradaban baru itu lahir, penghancurnya bukan lagi kaum kolonial semata, melainkan ketambahan aliran radikal-fundamental yang diimpor dari luar. Jauh dari identitas aseli nusantara yang sudah mengakar.
Hadirnya Kementerian Pesantren
Hemat penulis, naiknya KH. Ma’ruf Amin ke tampuk kekuasaan adalah penerus tongkat estafet KH. Abdurrahman Wahid. Untuk menyelamatkan nilai kebangsaan dan kenegaraan, pembentukan Kementerian Pesantren merupakan perkara yang sangat mendesak. Proyek utama dan pertama yang harus dijalankan adalah penegasan ulang identitas kebangsaan dan kenegaraan kita; yakni, sebuah tugas yang belum sempurna. Menuliskan ulang kebangsaan dan kenegaraan versi pesantren.
Di kalangan para kiai mulai ramai diperbincangkan, tentu dibumbui selera humor yang tinggi namun berbobot. “Kita tahu korupsi itu berbahaya, karena yang dicuri adalah uang rakyat. Tetapi, korupsi sejarah jauh lebih besar mudharat dan mafsadatnya. Lalu siapa yang berpikir bahwa bendera merah putih itu buatan kiai-kiai kita?”
Kementerian Pesantren bertugas mengembalikan jati diri kebangsaan yang dikorupsi ini. Periode kepemimpinan Jokowi-Amin 2019-2024 adalah momentum paling tepat untuk kembali mempertegas identitas kebangsaan yang adiluhung, Islam rahmatan lil alamin, dan mengembalikan perkara-perkara sejarah yang telah sengaja disamarkan, diselewengkan dan dihapus. Sehingga putra bangsa kita menjadi buta akan identitas dirinya sendiri dan kemudian limbung bahkan terpesona oleh identitas yang dimanipulatif dan ditanamkan oleh pihak luar.
Penulis tidak lagi gumun bila putra-putra bangsa sendiri lebih suka merengek-rengek ke asing, berbangga-bangga diri dengan permak-permak yang berasal dari luar, dan kemudian menjadi biang kerok bagi setiap kerusuhan yang menimbulkan perpecahan di dalam negeri. Sebab, mereka memang betul-betul tidak paham identitas dan jati diri mereka, yang sudah susah payah ditanam oleh leluhurnya.
Pada level pragmatis, hadirnya Kementerian Pesantren bisa menjadi perpanjangan tangan Undang-undang Pesantren yang baru diresmikan. Namun, penerjemahan pasal demi pasal dalam UU tersebut tidak boleh didominasi oleh interes pragmatis, yang hanya menaruh perhatian pada aspek-aspek “struktur” pondok pesantren. Aspek-aspek “supra struktur” pondok pesantren, berupa nilai-nilai idealisme pesantren, harus jadi target utama.
Terkait nilai-nilai idealisme pesantren yang lebih luas inilah, Kementerian Pesantren dapat menjadi representasi pemerintah yang paling otoritatif dalam menerjemahkan pasa demi pasal dalam undang-undang pesantren tersebut. Sehingga, di sisi lain, melalui Kementerian Pesantren ini pula, publik luas menemukan pelabuhan mereka untuk menurunkan jangkar kepentingannya.[]
*alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.