Rabu, 1 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Revisi UU KPK

Karpet Merah Buat Koruptor

Mungkin hanya di Indonesia koruptor diperlakukan istimewa hingga diberi karpet merah.

Editor: Hasanudin Aco
Ist/Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat. 

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Mungkin hanya di Indonesia koruptor diperlakukan istimewa. Eksekutif dan legislatif bahkan menggelar karpet merah buat koruptor.

Lalu bagaimana dengan yudikatif? Mungkin setali tiga uang.

Dengan dalih demi kepastian hukum dan hak asasi manusia (HAM), sambil menafikan common sense yang disuarakan mahasiswa, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secepat kilat merevisi Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memberi ruang bagi koruptor untuk bergerak leluasa. Betapa tidak?

Dengan revisi UU KPK yang disahkan DPR pada Selasa (17/9/2019) lalu itu KPK menjadi tak berdaya, karena punya Dewan Pengawas, dan bila mau melakukan intersepsi atau penyadapan harus seizin Dewan Pengawas ini, sehingga peluang KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dipersempit.

Baca: LIVE STREAMING Mata Najwa Ujian Reformasi Pukul 20.00 WIB, Najwa Shihab Mention Bambang Soesatyo

Tidak itu saja, Dewan Pengawas KPK juga dipilih Presiden sehingga bisa menjadi alat kepentingan politik Presiden.

KPK juga diberi kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang memberi peluang KPK "main mata" dengan tersangka.

Penyadapan dan penyidikan yang selama ini pengawasannya dilakukan secara tak langsung oleh pengadilan, bisa dibatalkan oleh praperadilan karena dianggap tidak sah, atau divonis bersalah secara sah dan meyakinkan, ternyata dianggap tak cukup oleh pemerintah dan DPR.

Karpet merah bagi koruptor juga disiapkan eksekutif dan legislatif melalui revisi UU Pemasyarakatan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam RUU Pemasyarakatan yang akan menggantikan UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pemerintah dan DPR sepakat akan mempermudah pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime seperti korupsi dan terorisme.

RUU Pemasyarakatan akan meniadakan Peraturan Pemerintah (PP) No 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Konsekuensinya, pemerintah dan DPR menyepakati penerapan kembali PP No 32 Tahun 1999 tentang Pemberian Pembebasan Bersyarat, dengan dalih PP 32/1999 tersebut berkorelasi dengan RUU KUHP.

PP No 99/2012 mengatur prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat, salah satu syaratnya mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk ikut membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator.

Pasal 43B ayat (3) PP No 9/2012 mensyaratkan rekomendasi dari KPK sebagai pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM dalam memberikan remisi. Sedangkan PP No 32/1999 yang akan kembali dijadikan acuan dalam RUU Pemasyarakatan ini tak mencantumkan persyaratan itu.

PP 32/1999 hanya menyatakan remisi bisa diberikan bagi setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik.

Tidak itu saja, Pasal 9 dan 10 RUU Pemasyarakatan juga mengatur hak cuti bersyarat bisa digunakan oleh narapidana untuk keluar lembaga pemasyarakatan (lapas) dan pulang ke rumah atau jalan-jalan ke mal sepanjang didampingi oleh petugas.

Pasal ini menyatakan narapidana punya hak mendapat cuti bersyarat dan kegiatan rekreasi.

Sementara itu, RUU KUHP yang akan menggantikan UU No 1 Tahun 1946, sejumlah pasalnya kontroversial.

Sebagai contoh, hukuman koruptor lebih ringan dalam RUU KUHP daripada dalam UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Dalam UU Tipikor, minimal hukuman korupsi memperkaya diri sendiri adalah 4 tahun penjara, sedangkan dalam RUU KUHP menjadi 2 tahun penjara.

Selain itu, ancaman hukuman mati untuk koruptor di RUU KUHP juga sudah tidak ada.

Lebih parah lagi, DPR mengubah paradigma korupsi dari kejahatan luar biasa atau extraordinary crime menjadi kejahatan ekonomi.

Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil berpendapat, korupsi adalah kejahatan keuangan, karena itulah paradigma tersebut mendorong penegak hukum fokus pada pengembalian uang negara, bukan pemenjaraan secara fisik.

Padahal tujuan dari pemidanaan, khususnya tipikor, selain mengembalikan narapidana ke masyarakat untuk bisa hidup normal kembali, adalah menciptakan efek jera atau deterrence effect bagi terpidana itu sendiri sehingga kapok atau tobat, dan shock teraphy atau terapi kejut bagi calon koruptor lainnya.

Kalau koruptor hukumannya ringan, dan di lapas pun diizinkan untuk keluar rekreasi ke mal, jangan berharap akan muncul efek jera dan efek getar. Ini jauh panggang dari api.

DPR salah kaprah bila menganggap hukuman yang berat dan syarat-syarat remisi yang juga berat bagi koruptor itu diskriminatif dan berpotensi melanggar HAM.

Pembatasan hak dan ruang gerak koruptor tak bisa dimaknai diskriminatif dan melanggar HAM, melainkan itu pantas bagi mereka.

Bukankah koruptor juga telah melanggar hak bagi orang banyak, seperti hak untuk sejahtera. Akibat ulah koruptor, angka kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi.

Mengapa eksekutif dan legislatif berkepentingan melemahkan KPK? Sejauh ini sudah banyak menteri yang ditangkap KPK.

Ada sekitar 400 kepala daerah dan mantan kepala daerah yang terlibat korupsi. Sekitar 110 anggota dan mantan anggota DPR RI dan DPD RI ditangkap KPK. Lebih dari 3.600 anggota dan mantan anggota DPRD terlibat korupsi.

Ada yang menyarankan agar publik mengajukan gugatan judicial review atau uji materi ke pihak yudikatif, yakni Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan revisi UU KPK yang sudah terlanjur disahkan DPR.

Begitu pun terhadap revisi UU Pemasyarakatan dan KUHP bila nanti jadi tiba-tiba disahkan setelah sempat ditunda karena ada demo mahasiswa.

Tapi, tampaknya publik terlanjur apriori bahwa yudikatif pun akan berada dalam satu barisan dengan legislatif dan eksekutif. Pasalnya, yudikatif pun selama ini tak luput dari bidikan KPK sebagaimana legislatif dan eksekutif.

Tercatat misalnya, Akil Mochtar saat menjabat Ketua MK terkena OTT KPK, dan kini sedang menjalani vonis hukuman seumur hidup yang dijatuhkan pengadilan.

Patrialis Akbar saat menjadi Hakim Konstitusi di MK pun terkena OTT KPK dan kini pun sedang manjalani masa hukuman 7 tahun penjara berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA).

Jadi, yudikatif pun berkepentingan atas karpet merah bagi koruptor, sehingga bila ada yang mengajukan judicial review atas revisi UU KPK, kemungkinan besar akan ditolak.

Sudah galibnya yudikatif berada dalam satu barisan dengan legislatif dan eksekutif.

Dr. Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, M.M.: Mantan Anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved