Tribunners / Citizen Journalism
Poligami dan Korupsi
Ada dua tipe korupsi, yakni corruption by need (korupsi karena kebutuhan) dan corruption by greed (korupsi karena keserakahan).
Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Seorang teman semasa kuliah, Emy Susanti (43), tiba-tiba menyentil lewat pesan WhatsApp, Senin (8/7/2019) petang, saat penulis menumpang busway sepulang kerja, “Mas, enggak menulis soal poligami?”
Aku pun menjawab, “Apanya yang mau ditulis, Mbak? Bukankah isu poligami itu soal biasa, sudah diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan, meski belakangan kembali mencuat lantaran dimunculkan di dalam Rancangan Qanun Aceh?”
“Tetap aktual, Pak, kalau isu poligami itu dihubungkan dengan korupsi. Monogami saja sudah banyak pejabat korupsi, bagaimana bila nanti poligami?”
“Benar juga,” jawabku dalam hati.
Lantas, adakah hubungan kausalitas antara poligami dan korupsi?
Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh tengah membahas qanun untuk melegalkan poligami. Sebab, di Aceh saat ini sedang marak praktik pernikahan siri. Qanun adalah istilah lain dari undang-undang untuk wilayah Aceh.
Mereka berdalih, legalisasi poligami itu untuk menyelamatkan perempuan dan anak yang selama ini menjadi korban pernikahan siri.
Selama poligami tidak dilegalkan, maka perempuan akan tetap menjadi korban. Praktik pernikahan siri dinilai tidak pernah memberikan kejelasan, terutama bagi pihak perempuan. Sebab, pernikahan siri tidak tercatat oleh negara.
Padahal, aturan mengenai praktik poligami sudah tertuang di dalam Undang-Undang (UU) No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Poligami dilegalkan sepanjang memenuhi syarat dan kondisi tertentu, terutama izin dari istri pertama.
Kegelisahan temanku itu ternyata beralasan. Pasalnya, sejumlah pejabat yang terlibat korupsi memiliki istri lebih dari satu, meskipun istri kedua atau selebihnya itu hanya dinikahi secara siri.
Sebut saja mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, dan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Bahkan ada kecenderungan istri-istri muda itu berperan sebagai semacam “escrow account” atau “rekening penampung”.
Di sini seakan berlaku hukum ekonomi “supply and demand”. Ketika permintaan (demand) sedang tinggi, maka supply (penawaran) pun tinggi.
Ketika lebih banyak kebutuhan keluarga akibat adanya istri muda, maka penghasilan seorang suami pun harus lebih banyak pula. Bagi yang punya kewenangan seperti pejabat atau birokrat, korupsi kemudian menjadi jalan pintas. “Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely,” kata Lord Acton (1834-1902).
Ada dua motif korupsi, yakni niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, maka tidak terjadi itu korupsi. Ada kesempatan tapi tak ada niat, juga tak terjadi itu korupsi. Dalam konteks ini, poligami bisa berperan sebagai pemicu niat.
Ada dua tipe korupsi, yakni corruption by need (korupsi karena kebutuhan) dan corruption by greed (korupsi karena keserakahan).
Dalam konteks ini, poligami juga bisa berperan sebagai pemicu corruption by need.
Namun, menarik apa yang disampaikan Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam pada 2013 lalu bahwa urusan korupsi tak ada kaitan dengan poligami. Korupsi, katanya, didorong oleh gaya hidup hedonis. Sebab, tak sedikit koruptor yang hanya beristri tunggal.
Korupsi, katanya, juga bukan soal kaya atau miskin. Banyak orang kaya yang korupsi, namun banyak pula orang yang pas-pasan tapi mampu menjaga diri dari korupsi. Dengan kata lain, korupsi dipicu oleh sifat tamak atau serakah, atau corruption by greed.
Sejatinya, poligami itu tidak dilarang, baik menurut hukum negara maupun hukum Islam. Tapi korupsi sangat jelas dilarang, baik oleh hukum negara maupun hukum Islam yang dianut mayoritas rakyat Indonesia.
Dihumpun dari berbagai sumber, sesuai ketentuan Pasal 1 UU No 1/1974, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sejatinya hukum pernikahan di Indonesia berasaskan monogami; hal mana ditegaskan lagi di Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Akan tetapi, UU Perkawinan juga memberikan pengecualian, yakni Pasal 3 ayat (2) di mana pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Menurut hukum Islam, pengaturan poligami merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan.
Hanya saja di dalam KHI dijelaskan antara lain bahwa pria beristri lebih dari satu diberikan pembatasan, yaitu seorang pria tidak boleh beristri lebih dari 4 orang. Selain itu, syarat utama pria untuk poligami adalah harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (Pasal 55 KHI).
Adapun larangan korupsi menurut hukum negara setidaknya tertuang dalam KUHP dan UU No 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hukum Islam juga melarang korupsi. Islam membagi istilah korupsi dalam beberapa dimensi, yakni “risywah” atau suap, “saraqah” atau pencurian, “al gasysy” atau penipuan, dan “khianat” atau pengkhianatan.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al Baqarah: 188).
Larangan korupsi juga ditegaskan di dalam Surat Ali Imran ayat (130) dan An-Nisa ayat (29).
Alhasil, hukum negara dan hukum Islam tidak melarang poligami, meski syaratnya cukup ketat. Sebaliknya, hukum negara dan hukum Islam melarang keras praktik korupsi, tanpa toleransi. Namun, pada kasus tertentu tenyata terjadi hukum kausalitas antara poligami dan korupsi. Itulah!
Karyudi Sutajah Putra: Salah Satu Pendaftar Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.