Tribunners / Citizen Journalism
Menjerakan dan Memiskinkan Koruptor
Lambe sak tumang kari sak merang. Terbukti, masih banyak pejabat, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang terlibat korupsi.
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Entah dengan cara apa lagi kita mencegah dan memberantas korupsi. Imbauan untuk tidak korupsi yang disampaikan pemerintah dan aparat penegak hukum mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri hingga Kejaksaan Agung, serta para pemuka agama, sampai mulut berbusa-busa pun tidak signifikan hasilnya.
Lambe sak tumang kari sak merang. Terbukti, masih banyak pejabat, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang terlibat korupsi.
Teranyar, KPK menetapkan Wakil Ketua DPR RI Taufik Kurniawan sebagai tersangka penerima gratifikasi Rp 3,65 miliar dari Bupati Kebumen, Jawa Tengah, M Yahya Fuad, terkait perolehan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) pada APBN Perubahan Tahun 2016.
Kebumen mendapat alokasi DAK tambahan sebesar Rp 93,37 miliar.
Yang menonjol kemudian adalah upaya penindakan KPK, sedangkan upaya pencegahan hanya terdengar sayup-sayup, karena hasilnya memang tidak signifikan. Sepanjang tahun ini, KPK sedikitnya sudah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) 19 kali.
Banyaknya OTT tersebut membuktikan bahwa KPK dan juga Pengadilan Tipikor gagal menciptakan shock teraphy (terapi kejut) dan detterent effect (efek jera). Mengapa? Karena hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa korupsi rata-rata ringan.
Billy Sindoro, misalnya. Direktur Operasional Lippo Group itu menjadi tersangka suap terhadap Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin terkait proyek Meikarta. Padahal 10 tahun lalu,
Billy dihukum tiga tahun penjara karena menyuap komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M Iqbal terkait kasus hak siar Liga Inggris.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat lebih dari seribu terdakwa kasus korupsi yang ditangani sepanjang tahun 2017 divonis penjara ringan atau kurang dari empat tahun lamanya, atau rata-rata 2 tahun 2 bulan.
Rinciannya, 81,61% atau 1.127 terdakwa dijatuhi hukuman ringan satu hingga empat tahun penjara, 169 terdakwa divonis sedang antara empat hingga 10 tahun penjara, dan hanya empat terdakwa yang divonis di atas 10 tahun penjara.
Sudah dihukum ringan, ketika di penjara mereka mendapat perlakuan dan fasilitas istimewa, terbukti dari OTT terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Wahid Husen, 20 Juli 2018, terkait suap, maka makin tidak jeralah para koruptor itu.
E-Budgeting dan Pembuktian Terbalik
Mengharap koruptor jera atau calon koruptor takut, ibarat menggantang asap, setali tiga uang dengan berharap hakim memvonis terdakwa korupsi dengan hukuman berat, dengan dalih hakim memiliki independensi. Lalu bagaimana cara mengatasi korupsi yang kian marak?
Pertama, terus membentuk opini publik agar para hakim mau menghukum berat para koruptor, baik hakim di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung (MA).
Hukuman berat ini termasuk pemiskinan, dengan jalan merampas seluruh harta koruptor untuk dikembalikan ke negara. Sepeninggal Artidjo Alkostar pensiun, MA seolah kehilangan taring.
Kedua, menerapkan sistem penyusunan anggaran secara elektronik (internet) atau electronic budgeting (e-budgeting), baik di DPRD kabupaten/kota/provinsi maupun DPR RI. Informasi soal anggaran perlu dibuat transparan dan akuntabel sehingga publik bisa mengawasi. Sistem penganggaran manual sangat rawan terhadap penyelundupan proyek dan permainan calo. Para anggota DPRD dan DPR RI tersangka korupsi rata-rata karena menjadi calo anggaran. E-budgeting pernah diterapkan di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ketiga, menerapkan asas pembuktian terbalik dalam perkara korupsi, dimulai dari para pejabat yang melaporkan kekayaannya dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) ke KPK, diwajibkan menyertakan risalah asal-usul harta mereka.
Salah satu penyebab sulitnya memberantas korupsi adalah sulitnya dalam pembuktian, karena para pelaku korupsi melakukan kejahatannya dengan sangat rapi dan biasanya dilakukan secara bersama-sama yang kemudian saling melindungi satu sama lain.
Apalagi para pelaku korupsi kemudian melakukan pencucian uang untuk menyamarkan hasil korupsinya.
Meskipun kedudukan dan penerapan asas pembuktian terbalik ini dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) serta jaminan perlindungan hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui oleh Indonesia di dalam KUHAP maupun dunia internasional, namun demi tegaknya hukum dan berhasilnya pemberantasan korupsi serta sesuai dengan tujuan hukum untuk mencapai kebahagiaan bagi masyarakat banyak, maka asas pembuktian terbalik ini dapat diterapkan.
Sejatinya, dalam sistem hukum pidana di Indonesia, beban untuk membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum (JPU), sebagaimana tersirat dalam Pasal 66 KUHAP, bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.
Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan asas praduga tak bersalah.
Namun, ada ahli yang berpendapat, dalam hal adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak, beban pembuktian itu dapat diletakkan tidak lagi pada JPU, tapi pada terdakwa. Beban pembuktian dialokasikan atas dasar 3P, yaitu policy, possession of evidence, dan probabilities (kebijakan, penguasaan bukti, dan probabilitas).
Jadi, pada dasarnya, pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban pembuktian yang tidak lagi pada JPU, tetapi pada terdakwa.
Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain dalam Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), khususnya Pasal 37 ayat (1) dan Pasal 37A ayat (3).
Tapi, yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU Tipikor tersebut, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan JPU tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa atau extraordinary crime sebagaimana kejahatan narkotika dan terorisme, sehingga untuk melawannya pun harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa pula. Kalau dilawan dengan cara-cara biasa atau konvensional, jangan harap koruptor akan jera.
Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.