Tribunners / Citizen Journalism
Sudah Tak Mampukah Aparat Berantas Korupsi?
Dengan PP ini, pemerintah bakal memberi hadiah bagi masyarakat yang melaporkan adanya kasus korupsi maksimal hingga Rp 200 juta.
Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Pada 17 September 2018, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) No 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan PP ini, pemerintah bakal memberi hadiah bagi masyarakat yang melaporkan adanya kasus korupsi maksimal hingga Rp 200 juta.
PP ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 41 ayat (1).
Pasal 13 ayat (3) PP 43/2018 menyebutkan, penghargaan akan diberikan kepada masyarakat yang secara aktif, konsisten, dan berkelanjutan bergerak di bidang pencegahan tindak pidana korupsi atau pelapor.
Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam dan/atau premi. Besaran premi paling banyak Rp 200 juta.
Sejatinya PP 43/2018 ini bukan “barang baru”. Sebelumnya, aturan yang sama sudah pernah ada, yakni PP 71/2000, namun seakan hilang ditelan bumi.
Apakah aparat sudah kewalahan menangani korupsi yang demikian marak sehingga perlu melibatkan masyarakat? Bisa jadi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menangkap Bupati Bekasi, Jawa Barat, Neneng Hasanah Yasin, Senin (15/10/2018), karena diduga menerima suap perizinan proyek ambisius Meikarta.
Di hari yang sama, KPK juga menahan Bupati Malang, Jawa Timur, Rendra Kresna, sebagai tersangka gratifikasi sejumlah proyek.
Data Kementerian Dalam Negeri, 2004-2017 jumlah kepala daerah yang terlibat korupsi mencapai 313 orang. Tahun 2018 ini 25 kepala daerah ditangkap KPK, dan bila dihitung sejak 2004, KPK telah menangkap 99 kepala daerah karena korupsi.
Ataukah PP 43/2018 tersebut merupakan permakluman bahwa aparat penegak hukum seperti Kepolisian RI (Polri), Kejaksaan Agung, bahkan KPK memang tak mampu lagi memberantas korupsi, sehingga perlu melibatkan masyarakat melalui semacam sayembara?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, banyak kasus korupsi yang terungkap berdasarkan laporan masyarakat, bukan karena kerja intelijen atau temuan aparat penegak hukum.
Data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari semua kasus korupsi yang terungkap, 90% berasal dari laporan masyarakat. Ironisnya, sejauh ini baru Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat yang memberikan penghargaan kepada Forum Peduli Sumatera Barat pada 2004, sebagai pelapor kasus korupsi yang dilakukan anggota DPRD Sumbar.Polri dan KPK belum pernah memberikan penghargaan kepada masyarakat.
Di sisi lain, laporan masyarakat banyak yang tidak ditindaklanjuti oleh penegak hukum dengan dalih kurang bukti. Padahal, masyarakat mempunyai keterbatasan untuk memperoleh bukti-bukti lanjutan, tidak seperti penegak hukum yang memang diberikan wewenang untuk itu.
Lagi pula, korupsi bukan delik aduan. Ada atau tidak ada laporan masyarakat, mestinya penegak hukum terus bergerak.
Tidak itu saja, PP 43/2018 juga bisa jadi bumerang. Masyarakat yang melaporkan kasus korupsi bisa digugat balik oleh pihak yang dilaporkan.
Banyak koruptor adalah orang-orang kuat atau berkuasa. Pemerintah, melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), harus memaksimalkan perannya untuk melindungi pelapor kasus korupsi. Bila tidak, masyarakat akan tetap takut untuk melaporkan kasus korupsi kendati ada sayembara berhadiah.
Apakah PP 43/2018 juga merupakan permakluman bahwa sinergi antar-penegak hukum dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, yakni Polri, Kejagung dan KPK sangat lemah? Bisa jadi. Padahal, Polri memiliki personel hingga ke tingkat kecamatan (Polsek), dan kejaksaan memiliki personel hingga ke tingkat kabupaten/kota (Kejaksaan Negeri).
KPK pun bisa melakukan supervisi kepada kepolisian dan kejaksaan, dari pusat hingga daerah. Mengapa hal ini tidak diefektifkan?
Apakah PP 43/2018 juga merupakan permakluman bahwa kinerja auditor internal pemerintah, yakni Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen) di kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga, serta Inspektorat Wilayah Provinsi (Itwilprov), Inspektorat Wilayah Kabupaten (Itwilkab) dan Inspektorat Wilayah Kota (Itwilkot), cukup lemah? Juga kinerja audior eksternal pemerintah, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI? Bisa jadi.
Kalau kinerja mereka optimal, tentu tidak banyak kasus korupsi yang terjadi. Sebelum kasus terjadi, tentu mereka bisa melakukan upaya pencegahan. Ironis, memang.
Kita juga jarang mendengar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yang setiap semester menerima hasil pemeriksaan BPK RI, menelisik dan menindaklanjuti temuan-temuan BPK RI tersebut.
Penyerahan hasil pemeriksaan BPK RI kepada DPR RI berhenti sebatas upacara seremonial saja. Selebihnya, mungkin sekadar dibaca pun tidak. Rata-rata 40% temuan BPK RI tidak ditindaklanjuti instansi terkait.
BPK RI mencatat ada 116.021 rekomendasi hasil pemeriksaan periode 2015-2017 senilai Rp 118,99 triliun. Hasil pemeriksaan tersebut terdiri laporan keuangan dan kinerja pemerintah pusat, daerah, BUMN dan badan lainnya. Menurut Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHSP) II-2017, memantau tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan (TLRHP) dari masa jabatan pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Jusuf Kalla, baru 54,5% yang sudah sesuai rekomendasi BPK RI.
Melansir IHSP II-2017, Selasa (3/4/2018), seperti dikutip sebuah media, ada 63.238 rekomendasi (54,5%) senilai Rp 24,96 triliun yang telah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh BPK RI. Lalu ada 37.627 rekomendasi (32,4%) senilai Rp 67,31 triliun belum sesuai dengan rekomendasi, 14.937 rekomendasi (12,9%) senilai Rp 26,02 triliun belum ditindaklanjuti dan 219 rekomendasi (0,2%) senilai Rp 696,17 miliar tidak dapat ditindaklanjuti.
Secara kumulatif, rekomendasi BPK RI atas hasil pemeriksaan periode 2015-2017 yang ditindaklanjuti dengan penyerahan aset dan/atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp 8,70 triliun.
Drs. H. Sumaryoto Padmodiningrat, M.M: Anggota DPR RI Periode 1999-2004, 2004-2009 dan 2009-2014/Chief Executive Officer (CEO) Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.