
Blog Tribunners
Meraih Simpati Pemilih Melalui Pendekatan Budaya
Para artis, pengusaha, tokoh masyarakat di Indonesia beramai – rame mencalonkan diri menjadi anggota DPR, bupapati/walikota bahkan wakil presiden meni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejadian di suatu negara akan berimbas ditiru oleh negara lain, setidaknya itulah yang terjadi pada pemilu yang akan dilaksanakan oleh Indonesia pada 2019.
Menjadi Presiden Prancis pada 2017 dengan usia yang relatif muda 39 tahun adalah tidak mudah bagi Emmanuel Macron.
Pemilih Prancis sempat meragukanya dan menjulukinya sebagai elite kapitalis global, ia juga sempat dicemooh lawan politiknya karena memiliki kekayaan yang besar.
Namun Emmanuel Macron tidak patah semangat hingga akhirnya dia menang mutlak atas pesainnya Marine Le Pen.
Markon awal pekerjaanya sebagai bankir kemudian dia mengundurkan diri sebab menjadi mentri perekonomian sebelum pemilu Prancis.
Kesuksesan Emmanuel Macron menjadi Presiden Prancis pada 2017 mungkin yang akan ditiru oleh para politisi pemula Indonesia , sebab langkah politiknya yang hampir mirip ditiru oleh para artis, pengusaha, maupun kalangan militer yang baru saja pensiun.
Para artis, pengusaha, tokoh masyarakat di Indonesia beramai – rame mencalonkan diri menjadi anggota DPR, bupapati/walikota bahkan wakil presiden meniru kesuksesan Emmanuel Macron di Prancis.
Hal itu memang tidak salah, namun Prancis dengan Indonesia berbeda jauh secara tingkat kemajuan bangsanya dan budaya yang dimilikinya.
Memahami budaya dapat memperlengkapi para calon yang akan maju dalam politik untuk siap dalam menghadapi tantangan intern dalam partai bahkan dalam konteks nasional.
Meskipun demikian, menyadari pentingnya perbedaan budaya, membantu para calon yang akan maju dalam pemilihan memahami mitra dan pesaing mereka dan pada akhirnya membantu meningkatkan kemampuan pengetahuan politik mereka.
Model budaya memberikan kerangka kerja untuk memahami perilaku pemilih yang ditemui dalam situasi kampanye yang pada awalnya tampak aneh, misterius atau sulit dipahami.
Seiring permasalahan yang di hadapi di lapangan menjadi lebih komplek, model canggih untuk memahami budaya menjadi sebuah kebutuhan yang harus dikuasai oleh para calon yang akan maju dalam pemilihan. Budaya nasional mempengaruhi, sampai batas tertentu, banyak perilaku calon pemilih yang tidak diduga sebelumnya.
Pada praktiknya yang sesuai untuk satu lingkungan budaya dapat membawa konsekuensi yang tidak diinginkan di negara lain. Untuk menghindari masalah seperti para calon yang akan maju dalam politik harus memahami konsep inti budaya.
Budaya terdiri dari pola, eksplisit dan implisit dan untuk perilaku yang diperoleh dan ditransmisikan oleh simbol, merupakan pencapaian kelompok manusia, inti penting dari budaya terdiri dari ide-ide tradisional (historis dan terpilih) dan terutama nilai-nilai.
Untuk mengidentifikasi perbedaan mendasar antara budaya nasional, G Hofstede menemukan empat dimensi seperti - jarak kekuatan, penghindaran ketidakpastian, individualisme - kolektivisme, maskulinitas - feminitas.
Ini kemudian diperpanjang seperlima, disebut orientasi jangka panjang versus jangka pendek. Setiap dimensi mewakili rangkaian yang berbeda, sehingga masing-masing negara dapat dinilai dari tinggi ke rendah dan ditempatkan di suatu tempat di sepanjang masing-masing, dan tidak hanya di ujungnya. Dari keempat dimensi yang perlu diperhatikan oleh para calon yang akan maju dalam pemilu hanya dua terpenting yaitu individualisme dan kolektivisme.
individualisme adalah sebuah masyarakat di mana ikatan antara individu longgar semua orang diharapkan untuk menjaga dirinya sendiri dan keluarga dekatnya saja.
Sementara kolektivisme adalah sebuah masyarakat di mana orang-orang sejak lahir dan seterusnya diintegrasikan ke dalam kelompok-kelompok yang kuat dan kohesif, yang sepanjang masa hidup manusia terus melindungi mereka dengan imbalan kesetiaan yang tidak diragukan lagi (Hofstede, 2001).
Individualis menghargai kebebasan pribadi, kesenangan, ekspresi individu dan waktu pribadi dan kolektivis menghargai balasan kebaikan, rasa memiliki dan menghormati tradisi.
Masyarakat individual seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, Prancis dan sebagainya percaya bahwa demokrasi idealnya harus dimiliki oleh semua orang, yang sulit dipahami dalam masyarakat kolektif seperti Indonesia, Pakistan, dan Cile, dan sebagainya (Hofstede, 2001).
Negara-negara kolektivistik mengendalikan anggotanya lebih melalui tekanan sosial eksternal-rasa malu, sementara anggota kontrol individualistis lebih melalui tekanan internal - rasa bersalah.
Menurut survei yang dilakukan Nilai indeks individualisme (IDV) Negara Prancis menempati ranking 71 dari nilai total 100 sedangkan Indonesia berada pada ranking 14, hal ini artinya Negara maju seperti Prancis tingkat Individualnya dalam kehidupan sehari – hari sangat tinggi berbeda dengan di Indonesia bahwa kebersamaan lebih penting dari mementingkan individu dalam kehidupan sehari hari.
Dengan melihat teori yang ada mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan bagi para artis, pengusaha atau bagi pemula yang akan maju menjadi anggota legeslatif, bupati /walikota untuk mempertimbangkan faktor budaya sebagai alternatif strategi merebut suara pemilih, yang terjadi di Prancis belum tentu bisa diterapkan di Indonesia karena perbedaan faktor budaya yang cukup jauh.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.