Tribunners / Citizen Journalism
Masyarakat Juga Bisa Beropini Lewat Puisi Esai
Tapi puisi modern menjauhkan puisi dari masyarakat. Bahasa puisi semakin susah dimengerti.
TRIBUNNERS - Dulu, puisi menyatu dengan masyarakat. Bentuk puisi seperti pantun dan peribahasa diproduksi oleh banyak pihak dan bicara soal yang memang sedang menjadi isu penting publik saat itu.
Baca: Pemain Muda Ini Tetap Bersyukur Meski Debutnya di Persib Diwarnai Kekalahan Maung Bandung
Tapi puisi modern menjauhkan puisi dari masyarakat. Bahasa puisi semakin susah dimengerti. Isu yang diangkat puisi semakin soal batin sang penyair sendiri.
Puisi esai mengembalikan puisi ke masyatakat. Isu yang ditulis dalam puisi esai umumnya true story, isu sosial yang hangat di satu masa.
Bahkan yang bukan penyairpun menulis puisi esai, seperti guru, jurnalis, aktivis, penulis non-fiksi dan pengamat sosial.
Pernyataan ini disampaikan Ahmad Gaus dalam diskusi Pro Kontra Puisi Esai edisi 4, di Yayasan Budaya Guntur, Jumat 4 Mei 2018.
Moderator diskusi Mc Danny seorang komedian. Isti Nugroho selaku panitia menyatakan acara ini sengaja dikemas untuk renungan sekaligus juga penuh tawa.
Pembicara lain adalah mereka yang “bukan penyair.” Tapi walau bukan penyair, mereka sudah menulis puisi esai.
Satrio Arismunandar, jurnalis pendiri AJI, mengkisahkan orang Betawi yang semakin tersingkir di Jakarta. Anick HT selaku aktivis menulis isu diskriminasi agama yang kerap ditemuinya. Jojo Raharjo, penulis non-fiksi mengisahkan fenomena kawin kontrak yang ramai di daerah Jawa Barat.
Elza Peldi Taher, pengamat sosial merekam kisah manusia gerobak, yang tak punya biaya untuk menguburkan anaknya. Ummi Rissa, guru, mengekspresikan apa yang sering ia lihat: pernikahan dini.
Masing masing pembicara mengkisahkan pengalaman menulis puisi esai. Betapa puisi esai membuat mereka merasa mudah menulis puisi.
Mereka menemukan medium lain untuk ekspresikan perspektif atas situasi.
Denny JA selaku penggagas puisi esai sengaja mengajak yang bukan penyair untuk ambil bagian. Ujar Denny, mereka bisa beropini lewat puisi esai: puisi yang panjang, dengan drama, dan ada catatan kaki sebagai fakta.
Ujar Denny, puisi esai kian terbukti dengan karya membuat puisi “kembali ke khittah,”: puisi kembali ke tengah masyarakat.***
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.