Tribunners / Citizen Journalism
Bubarnya Sebuah Negara
Cukup banyak peristiwa tentang jatuh bangunnya sebuah peradaban, baik di masa pra-literasi maupun di zaman moderen.
Oleh: Sawedi Muhammad
Dosen Sosiologi Fisip Unhas
TRIBUNNEWS.COM - Cukup banyak peristiwa tentang jatuh bangunnya sebuah peradaban, baik di masa pra-literasi maupun di zaman moderen.
Meski gambaran yang dipaparkan bersifat hipotetik tetapi argumentasinya didukung oleh kajian lintas-disipliner yang sangat meyakinkan.
Jared Diamond, 2005 dalam bukunya "Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed", menegaskan beberapa faktor penyebab jatuhnya sebuah peradaban. Diantara yang paling menonjol adalah apa yang disebut Diamond sebagai bunuh diri ekologis (ecological suicide).
Menurutnya, kejatuhan peradaban suku Maya di semenanjung Yucathan Mexico, Anasazi di Amerika dan peradaban Easter, bukan saat peradaban tersebut dalam kondisi terpuruk akibat kelaparan dan kemiskinan.
Mereka perlahan jatuh hanya beberapa dekade setelah berada di puncak kejayaan ekonomi, politik dan kebudayaan. Alasanny sederhana.
Ledakan penduduk yang tak terkendali, akumulasi kekayaan dari eksploitasi alam yang berlebihan, serta produksi limbah yang melampaui kemampuan ekologi untuk mengatasinya. Meski argumen Diamond terbantahkan untuk peristiwa bubarnya Uni Soviet di tahun 1991, kajian Diamond masih sangat relevan hingga saat ini.
Institusi yang Inklusif
Berbeda dengan Jared Diamond yang menegaskan kejatuhan sebuah peradaban karena faktor ekologi, Daron Acemoglu dan James Robinson mengajukan analisis yang berbeda.
Bagi Acemoglu, kegagalan sebuah bangsa menjadi maju dan berkembang bukan karena bencana ekologis, tetapi absennya sistem ekonomi-politik yang inklusif. Tanpa inklusivisme, mustahil sebuah bangsa beradaptasi, berinovasi menuju masyarakat yang egaliter.
Sistem yang dikuasai oleh segilintir elit menurut Acomeglu hanya akan membawa bangsa tersebut semakin terpuruk, tidak kompetetif bahkan menjadi bangsa yang gagal. Contoh negara yang gagal menurut Acomeglu adalah Korea Utara, Uganda dan Sierra Leon.
Dengan gagalnya transformasi sistem ekonomi-politik yang inklusif, maka negara tersebut akan bergelimang dengan kemiskinan, ketimpangan sosial dan kekacauan politik.
Perpecahan Elit
Dalam karya klasiknya yang terkenal,The Anatomy of Revolution (1938), Crane Brinton meneliti tentang analisis perbandingan sejarah (comparative historical analysis) yang menemukan kesamaan utama terjadinya revolusi di Inggris 1640, revolusi Amerika 1765, revolusi Prancis 1789 dan revolusi Rusia 1917.
Studi Brinton menemukan bahwa terdapat kegelisahan sosial yang relatif sama di keempat negara tersebut di atas sebelum terjadi revolusi. Kegelisahan itu adalah keuangan negara yang defisit, komplain massif atas perpajakan, pemihakan pemerintah yang mengistimewakan kelompok tertentu dan administrasi pemerintahan yang semrawut.
Gejala sosial lainnya yang menonjol adalah hilangnya kepercayaan diri dari elit pemerintahan, membelotnya banyak pihak yang selama ini diuntungkan oleh negara, pengalihan dukungan para intelektual ke kelompok revolusioner dan terjadinya perpecahan politik di rezim yang berkuasa.
Negara Bubar
Bagaimana dengan kekhawatiran Indonesia bubar tahun 2030? Skenario ini tentu bukannya tanpa dasar. Novel "Ghost Fleet" yang ditulis oleh Peter Warren Singer cukup mengundang kontroversi. Meski ditulis dengan genre fiksi ilmiah, novel ini layak untuk direnungkan.
Mencermati hasil studi Diamond, Acomeglu dan Brinton, nampaknya terdapat pola yang sama dengan apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Pertama, bunuh diri ekologis begitu massif dan nyata terjadi di Indonesia dengan tingkat kecepatan yang luar biasa.
Deforestasi, banjir, pencemaran kimia akibat pestisida dan herbisida, penangkapan ikan berlebihan, perburuhan hewan yang melewati batas, buruknya pengelolaan air, erosi dan sedimentasi, kekeringan yang berkepanjangan serta gagal panen yang berulang.
Kedua, institusi ekonomi yang tidak inklusif. Sistem ekonomi liberal kapitalis yang diadopsi ternyata tidak mampu mensejahterakan sebagian besar rakyat, dimana kemiskinan dan ketimpangan sosial sangat lebar dan massif. Sistem politik demikian pula adanya.
Korupsi merajalela di semua level pemerintahan, birokrasi yang tidak produktif, krisis pelayanan publik, sistem politik yang demokratis tetapi praktiknya sangat eksklusif.
Ketiga, tesis Brinton tentang gejala awal revolusi seperti keluhan atas pajak, pemerintahan yang tidak responsif, membelotnya intelektual serta perpecahan oleh para elit, nampaknya terjadi saat ini di Indonesia. Seberapa valid ramalan Indonesia bubar 2030?
Meski gejalanya sudah nampak mulai dari aspek ekologis, institusi ekonomi-politik yang eksklusif serta perpecahan elit pemerintahan, saya masih optimis Indonesia masih utuh 2030.
Sebagai bagian dari elemen bangsa, sudah seharusnya kita menyebar ide-ide segar tentang pembangunan dan kesejahteraan untuk semua.
Meski kejatuhan sebuah bangsa bukan di saat ekonominya terpuruk, revolusi pun terjadi bukan pada saat masyarakat di puncak penderitaannya. Ia terjadi karena harapan yang membuncah akan pengelolaan negara yang pro rakyat tak dapat dibendung.
Kalaupun di 2030 Indonesia masih berkutat dengan berbagai macam isu ekologis, sistem ekonomi yang belum inklusif dan perpecahan elit yang tajam, bubarnya negara bukanlah sebuah harapan. Ia hanya pengingat bahwa tanda-tanda revolusi sudah semakin dekat.
Dompu, Kaki Gunung Tambora, Maret 2018.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.