Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Korupsi KTP Elektronik

Tak Lepas Jabatan Ketum Golkar dan Ketua DPR, Setnov Dinilai Sulit Terima Kegetiran Hidup

Diapun mengirim surat kepada dua institusi tersebut agar mengurungkan niat untuk mencari penggantinya di DPR maupun di Partai Golkar.

TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ketua DPR RI Setya Novanto berjalan keluar dari gedung KPK Jakarta usai menjalani pemeriksaan, Selasa (21/11/2017). Setya Novanto diperiksa sebagai tersangka selama 5 jam terkait kasus korupsi KTP elektronik. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNNERS - Walaupun sudah meringkuk dalam tahanan KPK, Setnov tak ingin dalam sekejap kehilangan kekuasaannya baik sebagai pimpinan DPR maupun sebagai Ketua Umum Golkar.

Diapun mengirim surat kepada dua institusi tersebut agar mengurungkan niat untuk mencari penggantinya di DPR maupun di Partai Golkar.

Permintaan Novanto rasa-rasanya tidak mengherankan.

Kekuasaan itu nikmat dan karenanya orang dengan berbagai macam cara berusaha untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Nikmatnya kekuasaan cenderung membuat penguasa ingin terus merengkuhnya hingga kapan pun.

Banyak kasus yang menunjukkan bagaimana seseorang yang nampak demokratis sekalipun, pada akhirnya tergoda untuk mempertahankan kekuasaan tanpa batas waktu.

Semuanya itu semata-mata karena kekuasaan itu memang nikmat.

Baca: Ratko Mladic Si Jagal Bosnia Menanti Vonis

Oleh karena itu kekuasaan di bidang pemerintahan modern selalu dibatasi dengan durasi waktu yang jelas. Hanya aturan mengenai pembatasan yang sanggup mencegah nafsu seseorang untuk mempertahankan kekuasaan hanya karena tak ingin kehilangan nikmat luar biasa dari singgasananya.

Saya kira keinginan Novanto kepada DPR dan Partai Golkar agar posisinya di puncak tertinggi dua institusi itu tidak buru-buru diganti lebih banyak didorong oleh dorongan akan kenikmatan dari kekuasaan sekaligus keinginannya untuk terus mereguk nikmat dari kekuasaan itu.

Setnov nampaknya sulit menerima kegetiran hidup tanpa kekuasaan dalam tempo yang sangat singkat.

Tapi orang yang terlampau menikmati kekuasaan tanpa kesiagaan untuk diganti kapan saja, biasanya justru menunjukkan bahwa dirinya bukan seorang pemimpin yang menganggap kekuasaan sebagai sebuah amanah dari orang-orang yang dipimpinnya.

Baca: Ade Komarudin Diperiksa KPK Sebagai Saksi Setya Novanto

Keinginan berkuasa hanya karena kekuasaan itu memberinya kenikmatan bagi dirinya sendiri.

Saya kira Setnov masuk dalam kategori penguasa atau pemimpin seperti ini.

Keinginannya untuk tak diganti dari posisinya sebagai Ketua DPR dan Ketua Golkar walaupun faktanya dia sudah ditahan oleh KPK karena dugaan korupsi KTP-el, memperlihatkan bahwa Setnov memang menikmati indahnya kekuasaan bagi dirinya sendiri.

Dia tak mempertimbangkan kepentingan orang-orang lain yang dipimpinnya.

Orang-orang yang dipimpin umumnya menginginkan pemimpin yang selalu hadir di tengah kehidupan mereka.

Penguasa yang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan orang banyak biasanya tak peduli dengan unsur kenikmatan kekuasaan yang dinikmati sendiri oleh yang berkuasa.

Penguasa yang sekaligus menjadi pemimpin yang amanah akan menggantungkan kekuasaannya pada kebutuhan orang-orang yang dipimpin.

Dia bahkan tak perlu didesak untuk mundur jika tidak mampu lagi untuk memenuhi kebutuhan orang yang dipimpinnya, baik karena adanya kesalahan yang membuat kepercayaan terhadapnya hilang, ataupun karena situasi lain yang membuat kehadirannya tidak lagi bisa dilakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dan saya kira bicara tentang Novanto sejak dirinya berurusan dengan KPK dalam kasus KTP-el, kita melihat bahwa dia memang termasuk tipikal penguasa yang cenderung memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingannya sendiri.

Bahkan agar bisa terus berkuasa, kekuasaan yang dia milikki digunakan untuk melindungi dirinya dari proses hukum.

Dia nampak tak peduli dengan desakan publik untuk melepaskan kekuasaan secara sukarela karena dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi KTP-el sesungguhnya sudah merenggut kepercayaan publik terhadapnya.

Dan parahnya keinginan untuk terus berkuasa itu masih saja dia perjuangkan bahkan ketika dia sudah jelas-jelas dibatasi ruang geraknya oleh proses penahanan yang dilakukan penegak hukum KPK.

Saya kira sudah jelas bagaimana kualitas kepemimpinan seperti yang dijalankan oleh Setnov ini.

Dia hanya peduli pada dirinya sendiri, peduli pada nikmat yang dirasakannya sendiri dari kekuasaan, tetapi dia sekaligus lupa dengan kebutuhan orang-orang yang dia pimpin.

Bagi mereka yang dipimpin, kenyataan bahwa pimpinannya sudah ditahan karena dugaan perbuatan korupsi mestinya sudah tak pantas lagi untuk memimpin.

Bahwa dugaan korupsi itu didasari adanya bukti-bukti telah menunjukkan bahwa Setnov sesungguhnya telah melakukan penyimpangan kekuasaan dengan memanfaatkan kekuasaan bagi kenikmatan diri sendiri.

Dia juga gagal menjalankan kekuasaan secara bertanggung jawab ketika ada dugaan dirinya terlibat dalam kasus korupsi.

Ketika kepercayaan orang-orang yang dipimpin sudah hilang, sesungguhnya seorang pemimpin tak berguna lagi.

Dia menjalankan kepemimpinannya hanya untuk dirinya sendiri.

Karena yang dipimpin sudah kehilangan kepercayaan, maka keputusannya pun sudah kehilangan legitimasi.

Maka dalam sejarah, penguasa yang haus dan ingin mempertahankan kekuasaan sekalipun sudah kehilangan kepercayaan dari rakyat akan menggunakan cara-cara yang otoriter.

Ini demi memastikan agar rakyat menuruti keinginannya sekalipun tak memercayainya.

Kekerasan dan paksaan akan menjadi instrumen.

Rekayasa demi rekayasa akan terus berulang demi bisa terus berkuasa.

Sebagai Ketua DPR, keinginan Novanto untuk tidak ingin diganti jelas bukan permintaan yang patut untuk dipertimbangkan.

Permintaan itu tidak relevan dengan eksistensi DPR sebagai lembaga tinggi negara yang sekaligus menjadi pusat mandat rakyat berkumpul untuk turut serta dalam perjalanan bangsa.

Sebagai lembaga tinggi dengan segala kehormatan yang dimilikkinya, DPR bekerja berdasarkan sistem dan juga filosofi kelembagaan yang pada dasarnya merupakan tempat para wakil rakyat bekerja mewakili rakyat.

Oleh karena itu DPR adalah milik seluruh rakyat.

Dan karena milik seluruh rakyat, maka kekuasaan anggota dan bahkan hingga pimpinan DPR adalah kekuasaan yang sepenuhnya bergantung pada keinginan rakyat, bukan keinginan seorang Ketua DPR, apalagi seorang ketua sekaligus tahanan kasus dugaan korupsi.

Dengan demikian tak pantas jika permintaan Novanto memengaruhi proses yang tengah berlangsung di DPR untuk menegaskan pemberhentian dirinya yang berstatus sebagai tahanan KPK.

Status itu tidak saja berimplikasi pada terpisahnya Novanto dari DPR yang sebelumnya dia pimpin, tetapi juga sekaligus berdampak pada hilangnya kepercayaan terhadapnya sebagai pemimpin.

Ketika kepercayaan sudah hilang, maka tak ada alasan bagi Setnov untuk menuntut jabatannya agar tidak diganti.

Memangnya atas dasar apa orang mau menghormatinya sebagai pemimpin jika kepercayaan sebagai satu-satunya alasan bahkan sudah dia renggut dengan perilakunya sendiri.

Oleh karena itu tidak sepantasnya DPR menerima permintaan Setnov untuk menunda pergantiannya.

Jika DPR menerima permintaan Novanto, itu artinya semakin dahsyat tamparan terhadap kehormatan lembaga karena mereka bahkan mau memenuhi permintaan dari Setnov yang justru kuat diduga telah menggeranyangi kehormatan DPR baik karena statusnya sebagai tahanan juga karena aksi-aksinya yang secara langsung menampar martabat lembaga parlemen.

Jadi MKD terus saja dengan proses yang sudah dimulai dan berharap secepatnya memutuskan pemberhentian Setnov dari jabatan Ketua DPR.

Itu merupakan bagian dari sumbangan DPR untuk memastikan kehormatan lembaga terus terjaga.

Dan kehormatan lembaga itu tak semestinya digadaikan kepada permintaan seorang yang diduga menciderai kehormatan lembaga tersebut.

Sama halnya bagi Golkar.

Saya kira sebagai partai politik, kepemimpinan di tubuh Golkar juga semestinya menempatkan kehormatan partai sebagai hal terbesar.

Dan kerja partai Golkar sangat bertautan dengan kepercayaan warga atau publik yang menjadi kader maupun simpatisan partai.

Oleh karena itu saya kira tanpa mengurangi rasa hormat kita pada AD/ART Partai, proses penggantian Ketua Umum sesungguhnya menjadi sebuah keniscayaan.

Mepetnya waktu menjelang Pilkada dan Pileg 2019 tentu menuntut kesiapan yang matang dari partai termasuk bagaimana partai bisa tetap menarik di mata publik agar bisa mendapatkan suara.

Oleh karena itu, saya kira terlepas dari mekanisme internal partai, Golkar harus membuat keputusan yang tepat dengan melakukan pemilihan Ketua baru.

Ini tentu semata-mata untuk menyelamatkan partai di mata publik.

Mempertahankan Setnov di hadapan kenyataan proses hukum yang tengah dijalaninya hanya akan menjadi lonceng kematian bagi partai.

Penulis: Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved