Tribunners / Citizen Journalism
Empat dari Sepuluh Anak di Dunia Mengalami Diskriminasi
Hampir 40 persen orang dewasa di seluruh dunia mendapatkan diskriminasi ketika masih anak-anak karena alasan jenis kelamin, etnis, agama, menyandang
Ditulis oleh : Rully Prayoga, Media and Communication Save the Children
TRIBUNNERS -Hampir 40 persen orang dewasa di seluruh dunia mendapatkan diskriminasi ketika masih anak-anak karena alasan jenis kelamin, etnis, agama, menyandang disabilitas dan karena tidak adanya akses akibat lokasi terpencil dan atau adanya lokasi yang belum tersentuh oleh program pemerintah.
Demikian hasil jajak pendapat terkini di 18 negara yang diungkapkan oleh Save the Children.
Terungkap pula bahwa hampir setengah (49 persen) responden mengatakan bahwa diskriminasi yang dialami berpengaruh pada akses mereka ke pendidikan, dan bahkan lebih dari sepertiga (35 persen) tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan pada saat kritis.
Jajak pendapat yang melibatkan lebih dari 18.000 orang di seluruh dunia ini merupakan yang terbesar dari yang pernah dilakukan oleh lembaga kemanusiaan, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah mengungkapkan bahwa diskriminasi sangat berdampak bagi kesempatan hidup seseorang.
Jajak pendapat menunjukkan semakin memburuknya situasi diskriminasi pada tingkat global, antara lain, 56 persen responden menyatakan bahwa, selama 20 tahun terakhir, diskriminasi terhadap anak-anak tidak membaik di negara mereka. Tiga puluh enam persen menjawab makin memburuk.
Secara regional, hasil survei di Afrika melaporkan tingkat tertinggi pengalaman diskriminasi di masa kecil mereka (58 persen).
Hampir setengah dari semua responden di Asia (45 persen) mengatakan mereka menghadapi diskriminasi ketika mereka masih anak-anak.
Hasil riset Save the Children ini menegaskan bahwa meskipun kemajuan telah dicapai dalam menjangkau anak-anak termiskin di dunia, anak-anak dari kelompok tertentu ternyata masih mendapatkan perlakuan diskriminasi dan masih secara konsisten diabaikan, walaupun mereka jelas merupakan kelompok yang paling rentan.
Laporan "Every Last Child" mengungkapkan bahwa anak-anak tersebut mengalami diskriminasi karena alasan geografi, jenis kelamin, etnis, penyandang disabilitas dan korban konflik. Tentunya situasi seperti ini mengancam masa depan anak-anak.
"Sulit untuk melukiskan gambaran secara lengkap mengenai anak-anak yang terdiskriminasi ini karena memang banyak negara yang tidak fokus dalam menganalisa masalah ini secara mendalam. Namun pengalaman kami bekerja di 120 negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa diskriminasi memang makin menjadi ancaman besar bagi anak-anak miskin hari ini," kata Patrick Watt, Global Campaign Director, Save the Children.
"Dalam kondisi yang paling parah, diskriminasi dapat menyebabkan kematian. Menurut data, sekitar 16.000 anak meninggal setiap harinya karena penyebab yang sebetulnya dapat dicegah, dan sebagian besar dari jumlah tersebut berasal dari kelompok masyarakat yang rentan dan tersisihkan," tuturnya.
"Jelas bukan sebuah kebetulan, bahwa diskriminasi telah mencegah anak- anak yang paling rentan untuk mendapatkan layanan yang dapat menyelamatkan jiwa dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Anakanak ini bisa dikatakan telah ditinggalkan atau diabaikan secara disengaja."
Demi memastikan 15 juta anak di seluruh dunia memiliki kesempatan yang sama untuk bertahan hidup dan mendapatkan akses layanan kesehatan, pendidikan dan gizi tanpa memandang siapa atau di mana mereka tinggal, Yayasan Sayangi Tunas Cilik – mitra kerja Save the Children di Indonesia, meluncurkan kampanye “Berpihak pada Anak” untuk tiga tahun ke depan.
Ini sejalan juga dengan kampanye “Every Last Child” yang dilakukan Save the Children secara global.
Melalui kampanye global dan nasional ini Yayasan Tunas Cilik dan Save the Children menyeru kepada para pengambil keputusan di tingkat keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat, pihak non pemerintah dan dunia internasional untuk memastikan agar anak-anak miskin dan termarjinalisasi dapat mengakses layanan dasar yang dapat menyelamatkan jiwa mereka, dan membantu mereka tumbuh kembang dalam lingkungan yang aman, untuk menjadi manusia berkualitas.
Kampanye ini menyerukan para pemimpin dunia untuk berkomitmen terhadap tiga jaminan dasar, yaitu pembiayaan yang adil, sehingga layanan penting dibiayai secara berkelanjutan untuk semua pemanfaat, perlakuan yang sama bagi semua anak, dan bagi para pengambil keputusan untuk akuntabel terhadap kebijakan yang diambil.
Di bidang kesehatan, di Indonesia saat ini sekitar 147.000 anak meninggal setiap tahun sebelum mencapai ulang tahun yang kelima.
Sebanyak 8.800 ibu meninggal setiap tahun di Indonesia saat atau segera setelah melahirkan.
Dengan tingkat ilmu dan teknologi dunia saat ini, banyak dari kematian ibu dan bayi sebenarnya terjadi karena sebab yang dapat dicegah.
Ibu dan anak di keluarga paling miskin dan tinggal di daerah terpencil Indonesia, seperti di beberapa wilayah timur Indonesia saat ini belum mendapatkan layanan kesehatan yang memadai untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi.
Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan secara umum masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan, kelompok miskin, menghadapi tantangan tertinggi.
Angka kematian balita per 1000 kelahiran hidup di Provinsi Papua Barat tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan Provinsi Riau (74 vs 25).
Kematian bayi baru lahir per 1000 kelahiran hidup tiga kali lebih tinggi di Maluku Utara (37) dibandingkan dengan Kalimantan Timur (12). Sementara prevalensi anak pendek (stunting) di NTT adalah lebih dari 50 persen, jauh di atas angka nasional 37.2 persen.
“Sudah jelas, bahwa akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan yang tidak memadai merupakan tindakan diskriminatif yang sama pentingnya dengan diskriminasi berdasarkan gender, etnis, agama dan penyandang disabilitas," ujar Selina Patta Sumbung, Ketua Yayasan Sayangi Tunas Cilik.
"Kami akan mendukung Pemerintah Indonesia untuk selalu berpihak pada anak-anak ini, dengan melakukan berbagai terobosan dalam upaya kelangsungan hidup anak, memastikan kualitas pendidikan sejak dini, dan melindungi anak dari kekerasan," lanjutnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.