Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Perayaan Nyepi

Nyepi dan Fenomena Alam Sebuah Refleksi

Bertepatan dengan Tahun Baru Waisaka (1 Saka 1938), umat Hindu di seluruh Indonesia akan merayakan Hari Raya Nyepi pada Pada 9 Maret 2016.

zoom-inlihat foto Nyepi dan Fenomena Alam Sebuah Refleksi
Istimewa
DR Wayan Suparta

Ditulis oleh : Dr Wayan Suparta

TRIBUNNERS - Bertepatan dengan Tahun Baru Waisaka (1 Saka 1938), umat Hindu di seluruh Indonesia akan merayakan Hari Raya Nyepi pada Pada 9 Maret 2016. 

Kehadiran tahun Baru Saka dirayakan dengan berpuasa, melakukan tapa brata penyepian mulai jam 6.00 pagi hingga keesokan harinya (24 jam).

Hari Raya Nyepi kali ini juga tergolong istimewa karena bertepatan dengan terjadinya satu fenomena alam yang luar biasa iaitu gerhana matahari total.

Gerhana matahari ini terhadi pada pukul 06.20 WIB, dan berlangsung selama 5-6 menit.

Yogyakarta dan daerah sekitarnya akan mengalami gerhana matahari sebagian, dimana matahari tertutup bulan dalam 80%-85%.

Dua peristiwa penting ini memberi dorongan bagaimana manusia melihat perjalanan alam semesta dan sekaligus menafsirkan kewujudannya terhadap keagungan Sang Pencipta.

Secara umum dalam perspektif Hindu Nusantara, prosesi Hari Raya Nyepi dapat dikategorikan menjadi empat rangkaian dasar (sederhana), yaitu upacara melasti, upacara tawur agung kesanga, brata penyepian dan ngembak geni (dharma santi).

Ritual melasti adalah mendapatkan air suci dari laut untuk membersihkan diri dari berbagai kotoran duniawi (bhuana alit) dan kotoran tersebut dibuang ke laut dengan cara mempersembahkan beberapa hewan atau hasil alam (labuhan).

Untuk tahun 2016 ini, melasti telah dilakukan di Pantai Ngobaran, Gunung Kidul (28 Februari 2016) dan Pantai Parangkusuma, Bantul (6 Maret 2016).

Sementara upacara tawur kesanga (pangrupukan), dilakukan sehari sebelum brata penyepian dengan tujuan mengharmonikan cinta kasih manusia dengan alam (bhuana agung) dan manusia dengan Tuhannya.

Untuk daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, upacara ini dipusatkan di pelataran Candi Prambanan pada 8 Maret 2016 mulai jam 8.00 pagi.

Dalam upacara ini, ogoh-ogoh sebagai simbol atau manifestasi perwatakan negatif (bhuta kala) akan dibakar setelah diarak keliling desa atau kota.

Pembakaran ini bermaksud menghilangkan enam musuh dalam diri manusia (sadripu), yaitu nafsu (kama), tamak (lobha), emosional (krodha), kebingunan (moha), mabuk (mada), dan iri hati (matsarya).

Upacara pembersihan alam ini juga dilanjutkan ke pura (rumah) masing-masing umat pada sebelah sore atau malamnya.

Dalam arakan ogoh-ogoh ini akan diikuti dengan bunyi gamelan yang kuat dengan maksud mengusir roh-roh jahat yang bersemayam di Bumi.

Selanjutnya pada 9 Maret 2016, umat Hindu seyogyanya melakukan catur brata penyepian, yaitu amati geni (tidak menyalakan api, lampu, memasak, atau singkatnya berpuasa), amati karya (tidak bekerja, menghentikan semua pekerjaan jasmani dan rohani), amati lelanguan (istirahat dari semua bentuk dan jenis hiburan, puasa bicara) dan amati lelungan (tidak bepergian, hanya berada di dalam pekarangan rumah).

Setelah brata penyepian selesai keesokan harinya, maka dilanjutkan dengan acara ngembak geni atau dharma santi dengan saling memaafkan.

Dari rangkaian pelaksanaan Hari Raya Nyepi di atas, secara individu, manusia diharapkan dapat mengevaluasi dirinya untuk tekad berjiwa bersih (jasmani dan rohani), dan akhirnya lebih produktif dalam membantu melaksanakan agenda pembangunan bangsa.

Ini menjadi sebuah tantangan, dan hal-hal berikut menjadi refleksi kita dalam melaksanakan kesempurnaan brata penyepian.

Dengan hasil teknologi canggih di tangan kita, apakah telah sadari bahwa menyalakan alat komunikasi seperti handphone atau mengaktifkan internet adalah amati karya?

Bisakah kita sehari saja tanpa internet dan tanpa HP? Selanjutnya perlu disadari juga bahwa kita hidup berdampingan dengan penganut agama lain di saat kita menjalankan brata.

Sikap saling menghormati dan bertoleransi harus terus dipupuk. Kita harus berusaha mengkondisikan keadaan sehingga pelaksanaan brata dapat berjalan sempurna.

Refleksi berikutnya adalah satu fakta yang jelas bahwa umat Hindu di Indonesia bukan saja berasal dari Bali dan mereka juga tidak tinggal di Bali.

Kondisi ini melahirkan keberagaman umat yang harus dikelola dengan baik.

Dalam kaitan dengan refleksi di luar kontrol individu, umat Hindu Bali di Indonesia diharapkan mulai mengurangkan sifat balisentris.

Sifat ini diyakini menghambat aktualisasi agama Hindu yang bersifat terbuka dan universal.

Selain itu, tatacara rumit atau pemikiran yang mengharuskan sesuatu itu perlu ada dalam sebuah upacara misalnya, ini perlu direformasi dengan menggunakan temuan-temuan baru oleh kemajuan ilmu dan teknologi terkini.

Ini membawa konsekwensi bahwa penerapan budaya dalam agama perlu memperhatikan umat dengan beragam latar belakang etnik.

Sebagai catatan, Hari Raya Nyepi ini hanya dikenal di Indonesia. Begitu juga dengan hari raya Galungan dan Kuningan yang tidak dikenal di India (negara asal muasal Agama Hindu).

Namun dua hari raya terakhir ini, untuk orang India atau yang berada di luar India, mereka merayakan dalam versi yang berbeda.

Justru Hari Raya Siwaratri (Maha Siwaratri) di India bagian selatan dirayakan setiap setahun sekali seperti halnya di Indonesia.

Hari Raya Siwaratri yang bertujuan menebus dosa sebaiknya bisa diajukan kepada pemerintah sebagai hari libur nasional.

Jika libur berskala nasional mungkin sukar direalisasikan, maka proporsi libur berdasarkan provinsi dapat diajukan menjadi sebuah alternatif.

Proses ini bisa menjadi renungan antara Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dengan pemerintah.

Dari aspek keberagaman etnik dan budaya (multikultural) dalam  beragama, dan dengan membuka diri untuk berbaur sama dengan yang lain, maka sebenarnya kita telah menjunjung tinggi pluralitas di atas keberagaman.

Bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi unsur perekat dalam rangka membina persatuan dan kesatuan bangsa.

Salah satu unsur perekat itu adalah berkembangnya seni budaya. kebhinekaan seni budaya mencerminkan nilai luhur dan kepribadian bangsa.

Analisis ini sejalan dengan pilihan tema Hai Raya Nyepi tahun 2016, yaitu "Keberagaman Perekat Persatuan".

Semoga refleksi dan introspeksi diri yang akan dilakukan dalam brata penyepian akan membawa kesempurnaan, dan hubungan manusia - alam - Tuhan semakin menemukan kualitasnya.

Selamat Hari Raya Nyepi Saka 1938.

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved