Kamis, 2 Oktober 2025

Tribunners / Citizen Journalism

Antara Asap dan Sepakbola

Saya ingin kutipkan rangkuman beberapa pernyataan kegalauan atau pada intinya adalah empati dari sahabat-sahabat di Riau

Editor: Toni Bramantoro
zoom-inlihat foto Antara Asap dan Sepakbola
ist
Tubagus Adhi

Oleh: Tubagus Adhi dari Madinah Al Munawaroh                         

Saya ingin kutipkan rangkuman beberapa pernyataan, kegalauan, atau pada intinya adalah empati dari sahabat-sahabat di Riau.

Sedari pagi, hingga ke saat saya mencatatkan ini, saya menerima banyak 'share' mengenai bencana asap di Riau dan beberapa provinsi lainnya di tanah air.

"Apa ada yg mengetahui langkah antisipasi bencana asap ya? Rekan-irekan kami (karyawan Telkomsel) dan tentunya masyarakat luas di Sumatera dan Kalimantan kok kasihan banget ya sudah 2 bulan menghirup udara beracun dan malah makin parah.

Mohon doanya saudara sebangsa setanah air. Hari ini asap pekat kembali menyelimuti Riau. Kepekatannya mungkin empat kali lipat dari sebelumnya.

No electrik, No school, No flight, No oxygen. Demi Allah, ini terasa seperti Genosida! Negara sedang membunuh 6,3 juta rakyat Riau pelan-pelan.

Kami cuma diberi masker kue, bukan masker standard sesuai status tanggap darurat bencana.                                

Kualitas udara bukan lagi berbahaya, tapi sudah merusak bahkan membunuh. Partikel berbahaya ini sudah dua bulan kami hirup tanpa henti. 24 jam setiap hari. Sudah 55 ribu warga, mayoritas balita dan orang tua, bertumbangan karena asap.

Ini bukan lagi bencana biasa. Tolong bantu broadcast. Jika tak bisa sama-sama mendesak pemerintah turun tangan, tolong doakan kami masih tetap bernafas esok hari.                                 

Kami masih melawan azab asap!!!!! Note : Ada 1.563 titik api. Dipadamkan dengan bantuan 7 helikopter dan pesawat water bombing, serta 1 pesawat Casa hujan buatan.

Dibantu 1.594 personel TNI dan Polri. Mari kita masukin ke rumus matematika sederhana. 8 pesawat yang ada, jika dibagi dengan jumlah lokasi sumber asap, artinya satu pesawat harus mengatasi 195 titik api.                 

Helloooo, apa mungkin bisa? Lalu, jumlah personil yang diturunkan, hampir seimbang dengan jumlah titik api yang ada.

Artinya hanya ada satu orang prajurit untuk mengawal setiap satu titik api. Sementara satu titik api yang terpantau di satelit, luasannya bisa mencapai puluhan hingga ratusan hektar.                                                    

Dear Pak presiden, please jangan kadalin rakyat lagi, tetapkan darurat bencana nasional pencemaran udara dan minta bantuan dunia internasional untuk memadamkan titik api.

Berhutang keluar negeri saja anda mampu dalam hitungan bulan menjabat, masa untuk kepentingan rakyat anda ragu?!                                   

Pak Presiden! Ini bencana terdahsyat sepanjang sejarah Nusantara. 6 juta jiwa terancam! Pemerintah lamban membaca dan bergerak.

Perlu  bantuan negara-negara lain. Perlu ribuan helikopter PMK. Tak hanya di Riau atau Sumatera, akan tetapi juga Kalimantan.".                                         

Demikianlah, himpunan dari beberapa 'pandangan mata' sekaligus isi hati dari sejumlah sahabat di Riau. Mereka mem-forward pernyataan tersebut ke mana-mana, termasuk melalui berbagai media-sosial, semisal fesbuk.

Mereka berharap 'share' tersebut menembus semua sekat, hingga akhirnya dibaca oleh Presiden Joko Widodo sendiri di Istana Negara.                                        

Presiden memang sudah beberapa kali ke Riau, menengok titik-titik bencana. Namun, tetap belum ada perkembangan ke arah penyelesaian masalah yang signifikan. Bahkan, ironisnya,  hari ini Jokowi datang, besoknya asap makin membesar.    

SEPAKBOLA

Saya mencoba mengkonversikan bencana asap di berbagai daerah itu dengan pernasalahan yang menyangkut persepakbolaan nasional. Bagaimanapun, dalam pandangan saya, ada kesamaannya.                        

Kesamaannya adalah, bahwa penyelesaian masalah bencana asap dan sepakbola ada pada presiden.

Merujuk pada pernyataan sahabat-sahabat di Riau, termasuk mereka yang berkiprah di berbagai LSM (lembaga swadaya masyarakat), penyelesaian bencana asap di Riau dan beberapa provinsi lainnya sebenarnya simpel atau sederhana saja, Yakni, adanya tindakan tegas atau refresif dari presiden.                                             

Bencana asap sebagian besar berawal dari pembakaran hutan, yang dilakukan oleh pengusaha-pengusaha nakal, yang dibeking para 'penjahat' di ibukota, mereka yang berpakaian rapi, berdasi, atau berseragam. Lalu, bagaimana tindakan presiden?                             

Saya percaya bahwa, dalam upaya penanggulangan maksimal bencana asap itu,  Jokowi tidak melakukan pembiaran. Bukannya bersikap masabodoh, Sebagaimana halnya juga dalam upaya perbaikan tatakelola sepakbola.

Presiden menginginkan tatakelola sepakbola yang lebih baik. Akan tetapi, caranya itu lhoo.           

Rujukan tatakelola sepakbola yang lebih baik sebagaimana dikehendaki, malah semakin menjadi bias. Yang bahkan terjadi justru adalah semacam genosida di sepakbola, ketika mata-rantai industri sepakbola putus pasca 'dibekukannya' PSSI oleh Kantor Kemenpora.

Akibatnya, kompetisi terhenti, para pemain dan semua elemen yang terkait kehilangan sumber keuangan atau mata-pencaharian, termasuk ratusan ribu wirausaha kecil-kecilan yang bersinergi dengan sepakbola dan kompetisi: pembuat kaus, gimmick-gimick, dan sebagainya.    

Apakah Jokowi tanggap terhadap dampak dari ketiadaan kompetisi yang mengakibatkan putusnya matarantai industri sepakbola itu?

Saya ragu jika banyak yang menyetujui pendapatnya saat membuka resmi Piala Presiden, medio Agustus 2015 di Gianyar, Bali.

Waktu itu presiden antara lain menyatakan, "Daripada timnas juga tidak pernah berprestasi saya rasa masyarakat setuju jika kita lakukan upaya-upaya perbaikan organisasi sepakbola ini".                             

Pertanyaannya, perbaikan apa yang telah dilakukan? Rencana revitalisasi organisasi cenderung membuat sepakbola nasional ke titik nadir.

Kantor Kemenpora dan tim bentukannya, yakni Tim Transisi, terlihat kian jemawa dengan usaha-usaha penghancuran kepengurusan yang sudah dilegalisasi oleh FIFA. Usaha-usaha 'mengusir' La Nyalla Mattalitti dari kursi 'PSSI-1' periode 2015-2019 berpotensi memperparah keadaan.                         

La Nyalla terpilih sebagai Presiden PSSI 2015-2019 melaui KLB 18 April di Surabaya yang sah dan legal, baik secara hukum dan administratif, de jure dan de facto. KLB dihadiri hampir seluruh pemilik suara (voters).

Jika kemudian Tim Transisi bentukan Kantor Menpora memaksakan KLB ulang, seperti yang direncanakan, apa pula landasan legalitas atau dasar hukumnya?                                     

Berkaca pada apa yang sudah terjadi dibelakang, termasuk pada era perseteruan PSSI dan KPSI, sangat mungkin Tim Transisi tengah menerapkan "moral hazzard' pada stakeholders sepakbola nasional.

Bedanya, saat perseteruan antara PSSI dan KPSI, unsur penyebabnya adalah karena adanya kebijakan PSSI pimpinan duet Djohar Arifin Husin-Farid Rahman yang didukung oleh Arifin Panigoro dengan membuat tatanan kompetisi baru yang tidak sepenuhnya berlandaskan sistem piramida, yang sudah berlaku universal.                   

Langkah destruktif Tim Transisi yang paling nyata saat ini adalah dengan membuat kebijakan baru mengenai kompetisi sepakbola Pra PON.

Semua Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI dilarang menggelar kompetisi Pra PON. Semua harus dibawah koordinasi Tim Transisi. 

Dalam konteks ini, patut diapresiasi sikap tegas pimpinan KONI Pusat yang tetap bersikap bahwa kompetisi sepakbola Pra PON tetap berada dibawah tanggung-jawab PB PON. Bukan Tim Transisi.                          

Tegasnya, Tim Transisi bukan bagian dari Pra PON dan PB PON. Babak kualifikasi kompetisi seluruh cabor pelaksananya adalah PB/PP/federasi cabor masing-masing, termasuk perangkatnya. KONI Pusat berada dalam satu wadah organisasi yang disebut PB PON itu.

Artinya, apabila Tim Transisi tiba-tiba ingin mengambil-alih pelaksanaan pertandingan sepakbola Pra PON, itu sudah menyalahi aturan  yang selama ini sudah berjalan.                                         

Sikap tegas Ketua Umum KONI Pusat Tono Suratman ini patut diapresiasi. Tono terbukti sangat memahami 'rule of the game'-nya.

Tidak seperti mereka yang berada di Tim Transisi, yang terkesan terus jemawa karena seperti mendapat 'durian runtuh' menjadi 'pengadil' sepakbola nasional.

* Tubagus Adhi Pecinta Sepakbola Nasional

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved