Tribunners / Citizen Journalism
Ekonomi Konstitusi Tetap Jauh Panggang dari Api
Saya menjawab, ekonomi konstitusi tetap jauh panggang dari api.
Oleh DR Ichsanuddin Noorsy B.Sc., SH., M.Si
TRIBUNNEWS.COM - Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia wafat meninggalkan nama, kekuasaan berakhir meninggalkan kesan.
Itulah yang akan terjadi pada 10 tahun kepemimpinan SBY beberapa bulan lagi. Kesan yang paling dominan adalah SBY memberikan keleluasaan politik melebihi era presiden RI yang manapun. Surplus kebebasan namun defisit ketegasan.
Dalam bahasa akademik, surplus demokrasi diiringi dengan defisit keteraturan dan karenanya jauh dari tegaknya konstitusi, khususnya ekonomi konstitusi baik secara semantik, nominal, apalagi ideal. Harus diakui, ekonomi konstitusi tegak secara normatif, tapi kehilangan nilai-nilai, jiwa dan semangatnya.
Kerisauan banyak kalangan tentang rendahnya ketahanan pangan, ketahanan enerji, dan ketahanan keuangan adalah bukti bahwa kemerdekaan politik, atau surplus demokrasi tidak membawa berkah bagi kedaulatan rakyat. Itu baru persoalan ketahanan, belum ke masalah kedaulatan ekonomi.
Di dunia maya memang banyak beredar tentang 10 years wasting time, atau "Terima kasih SBY".
Bahkan dengan kampanye yang berteriak "tidak ingin menyalahkan siapa pun", maka kasus korupsi pada FPJP dan penyertaan modal sementara Bank Century, korupsi Hambalang dan korupsi SKK Migas justru menyergap Partai Demokrat pada tataran beda ucapan dengan tindakan.
Catatan lain adalah 18 dusta politik yang disampaikan tokoh dan pemuka agama, slogan "cerdas, bersih dan santun" tanpa makna, tudingan sebagai antek asing, dan kemudian perilaku tidak etis karena menggunakan fasilitas negara untuk kampanye.
Saya masih memiliki catatan tersendiri. Tapi catatan itu sekadar menambah daftar kelemahan dan kesalahan yang berujung pada tidak bijaksananya kita memandang 10 tahun kepemimpinan.
Di AS, Presiden yang dianggap dua periodisasinya merugi antara lain, GW Bush (Jan 2001- Jan 2009), Richard Nixon (Jan 1969-Agts 1974), Woodrow Wilson (Mar 1913-Mar 1921), Dwight Eisen Hower (Jan 1953-Jan 1961), Theodore Roosevelt (Sep1901-Mar 1909), Franklin Roosevelt (Mar 1933-Apr 1945), Lyndon Johnson (Nov 1963-Jan 1969), dan Calvin Coolidge (Agts 1923-Mar 1929).
Sedangkan yang beruntung pada periode kedua adalah Harry Truman (Apr 1945-1953), Ronald Reagan (Jan 1981-Jan 1989), dan Bill Clinton (Jan 1993-Jan 2001). Apa ukuran keberhasilan dan kegagalan untuk dua periode itu ?
Paling tidak ada tujuh hal, (1) peningkatan pendapatan rumah tangga, (2) harga perumahan sederhana, (3) produktivitas industri, (4) pinjaman negara federal, (5) PDB, (6) pasar modal dan (7) keyakinan konsumen.
Karena Barack H Obama juga dua periode, orang bertanya, akankah Obama mengikuti jejak Bill Clinton ? Atau justru menapak ulang kegagalan GW Bush ? Kini media massa di AS menyoroti hal ini melalui berbagai isu. Antara lain tentang APBN AS yang mencapai melebihi USD 1T, program asuransi kesehatan, asuransi sosial, perlindungan industri otomotif, IT dan enerji. Yang paling merisaukan adalah persoalan ketimpangan. Berbagai universitas ternama membangun pusat kajian ketimpangan.
Hal ini berlangsung sejak Josep E Stiglitz menulis buku bertajuk The Price of Inequality dan Jeffrey D Sachs menulis buku The Price of Civilization. Intinya adalah mengkristalnya kesadaran yang muncul sejak 2004 bahwa perekonomian AS salah arah menurut data NBER, Gallop Institute, Josep E Stiglitz dan Paul Krugman.
Kesadaran ini menjadi kenyataan saat industri manufaktur AS kalah berperang melawan industri manufaktur RRC yang ditandai dengan membesarnya defisit necara perdagangan AS terhadap RRC sehingga terjadi Subprime Morgage Crisis pada Sept 2008.
Kini Obama bahkan didukung oleh 44 stafnya guna mencegah terjadinya kegagalan periode ke duanya. Bagaimana dengan Indonesia ? Soekarno dan Soeharto tentu saja tidak dua periode, karena UUD 1945 tidak mengatur periodesasi jabatan presiden sebelum 1998.
Fakta menunjukkan, hasil Soekarno adalah ekonomi ambruk yang ditandai dengan meroketnya inflasi hingga 600 prosen. Walau dijatuhkan, namun Soekarno memberi kesan tentang kokohnya kepemimpinan Indonesia yang bermartabat.
Soeharto juga membuahkan krisis ekonomi-moneter 1997/1998 dan dijatuhkan dengan memberi kesan menyenangkannya keteraturan bagi sekelompok masyarakat. Kesan ini paling tidak muncul lewat kampanya Pileg dengan slogan Piye Kabare, Enak Zamanku to dan kampanye Partai Golkar. Sementara kampanye SBY untuk
Partai Demokrat tentu memberi pembelaan diri atas berbagai kasus yang menderanya. Jauh sebelum kampanye Pileg 16 Maret 2014 telah beredar buku bertema Capaian Pembangunan Indonesia Sejak Merdeka Hingga Sekarang yang diterbitkan Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Sosial.
Secara ringkas, SBY memang membuahkan peningkatan PDB dari 5,13 prosen pada 2004 menjadi 5,78 prosen pada 2013. Kemiskinan juga menurun 14 prosen menjadi 11,6 prosen. Rasio ULN terhadap PDB juga menurun dari 85 prosen menjadi 23,4 prosen.
Tingkat pengangguran pun menurun dari 10 prosen menjadi 5,4 prosen bersamaan dengan kenaikan pendapatan perkapita dari USD 1.100 menjadi USD4.000.
Bersamaan dengan itu orang juga memahami meningkatnya Gini rasio dari 0,37 menjadi 0,42 yang berarti ketimpangan makin meningkat.
Ini juga dibuktikan melalui makin sedikitnya pemilik dana diperbankan untuk nominal Rp2 ke atas diikuti dengan makin banyaknya pemilik dana sampai dengan Rp100 juta tapi dengan jumlah dana makin menurun.
Begitu juga soal nilai tukar yang masuk dalam kategori ketiga terburuk. Lalu dalam menghadapi kebijakan stimulus moneter AS, Indonesia masuk dalam kategori negara rentan sebagai konsekuensi berstatus negara gagal.
Soal Indeks Pembangunan Manusia, walau meningkat, Indonesia tidak naik kelas, yakni tetap berada di kelas menengah bawah, sebagaimana juga posisi pendapatan perkapita. Lalu, akan kemana Indonesia pada ajang demokrasi 2014 ini ?
Saya menjawab, ekonomi konstitusi tetap jauh panggang dari api.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.