Travel Story
Berkunjung ke Hutan Bambu Chai Nat, Thailand, Sumber Kehidupan Warga di 14 Desa
Hutan itu menjadi sumber pendapatan bagi warga di 14 desa setempat yang setiap musim hujan memanen rebung, jamur, madu, serta berbagai tanaman obat.
TRIBUNNEWS.COM - Sejak tahun 2000, komunitas hutan masyarakat Khao Rao Thian Thong di Provinsi Chai Nat, Thailand, mengelola hutan bambu seluas 159 hektar.
Hutan itu menjadi sumber pendapatan bagi warga di 14 desa setempat yang setiap musim hujan memanen tunas bambu atau rebung, jamur, madu, serta berbagai tumbuhan berkhasiat obat.
Hasil hutan itu signifikan menopang kehidupan warga yang umumnya petani padi ladang. Lokasi tanpa irigasi membuat panen sekali setahun.

Kain kuning diikatkan pada batang pohon di hutan milik negara yang dikelola komunitas masyarakat Khao Rao Thien Thong di Provinsi Chai Nat, Thailand. Pohon terikat menjadi tanda larangan menebang pohon itu. (KOMPAS/ICHWAN SUSANTO)
Pertengahan Juli 2015, Kompas bersama sejumlah wartawan dari Nepal, Vietnam, Kamboja, dan Myanmar didampingi staf RECOFTC-The Center for People and Forests dan ASEAN Social Forestry Network, melihat hutan bambu itu.
Desa di Distrik Noen Kham, Provinsi Chai Nat itu ditempuh lima jam ke utara dari Kota Bangkok.
Didampingi warga Desa Nomor 10 (Village No 10), Somyes Sriwana dan Sanan Amornpol, kami diajak mendaki bukit kecil hutan bambu. Persis di puncak bukit, terdapat patung Buddha setinggi 4 meter.
Dari sana, kami bisa melihat sekeliling hutan bambu. Tanaman yang juga banyak di Indonesia itu berdiameter kecil yang oleh masyarakat disebut ”pa ruak” atau dalam bahasa latin Thyrsostachys siamensis Gamble.
Hari itu, temperatur udara 33 derajat celsius. Ranting-ranting bambu dan tanah kecoklatan, kering. ”Kalau dulu, cuaca panas seperti ini sangat rawan terbakar,” kenang Somyes. Itu terjadi sebelum tahun 2000-an, ketika sumber daya alam dari hutan sangat melimpah.
Sejak komunitas masyarakat tinggal di Chai Nat tahun 1963, hutan dieksploitasi untuk kayu bakar dan arang. Hasilnya, hutan terdegradasi puluhan tahun dan langganan kebakaran.
Kerusakan hutan itu membuat sumber daya alam tak lagi ramah. Hasil rebung dan jamur jadi minim.
Kondisi hutan yang terdegradasi itu menciptakan kesadaran warga untuk berinisiasi melindungi hutan dari kebakaran maupun eksploitasi. Harapannya, hutan kembali memberi panen berbagai hasil nonkayu.
Kini, hasil itu dirasakan masyarakat. Beberapa studi menunjukkan, hutan setempat mulai menjadi habitat babi hutan, merak, dan ayam hutan.
Yang dirasakan langsung masyarakat, jika sebelumnya di saat musim hujan mereka menganggur, kini ada pekerjaan tambahan: memanen rebung dan jamur.
Menurut Sanan, penurunan panen bambu terkait waktu panen yang juga singkat.
Masyarakat setempat menerapkan buka-tutup pemanenan hasil hutan, seperti tradisi ”sasi” di masyarakat pesisir Maluku dan Raja Ampat atau ”manee” di perairan Tahuna di Sulawesi Utara.
Penutupan hutan bagi pemanenan bambu dan jamur biasa dilakukan di akhir musim hujan, sesuai kesepakatan masyarakat di 14 desa.
Tujuannya memberi kesempatan regenerasi bagi pertumbuhan batang bambu muda.
Selama musim panen rebung, masyarakat memprosesnya dengan fermentasi. Ini agar rebung tetap dapat dinikmati sepanjang tahun.
Aturan main lainnya yang berbasis kearifan lokal, siapa pun dilarang memanen tunas bambu berukuran 1 meter atau lebih.
Masyarakat juga dilarang memotong tanaman-tanaman liar yang mereka namakan ”phak wan”, ”phak inun”, dan berbagai tanaman herbal lainnya.
Cara memanen tanaman herbal itu harus dengan memetik, bukan mematahkan ranting maupun batang.
Pemanenan jamur pun dilarang dengan menggali agar struktur tanah tak rusak.
Bagaimana dengan pemanenan batang bambu? Warga sepakat hanya bambu berusia lebih dari 3 tahun yang bisa dipotong.
Itu pun hanya digunakan untuk pribadi, seperti renovasi rumah dan seizin pengurus komunitas.
Selain di hutan mengelola hutan bambu, masyarakat juga menjaga hutan campuran atau ”pa mai jing”.
Hutan lindung itu terdapat 15 stasiun sesuai peruntukannya, seperti edukasi, penelitian, dan wisata.
Oleh masyarakat, batang pepohonan setempat diikat kain warna coklat-kuning, seperti kain yang dipakai biksu. Ikatan itu menunjukkan tanaman dilindungi atau tak boleh ditebang.
Jika aturan-aturan itu dilanggar, sanksi pertama, pelaku diperingatkan. Kesalahan dua kali, pelaku didenda 500-1.500 baht.
Tiga kali mengulang kesalahannya, pelaku diserahkan ke polisi. (ICHWAN SUSANTO)