Timnas Indonesia
Makna Kemenangan Afghanistan atas Timnas Indonesia, Ambisi Anoush Dastgir hingga Masalah Taliban
Timnas afghanistan berhasil mengalahkan Timnas Indonesia di laga uji coba, kemenangan yang berarti bagi negara yang berada di tengah perang
TRIBUNNEWS.COM - Laga Indonesia melawan Afghanistan dalam bagian dari FIFA Matchday tengah pekan ini, merupakan bagian dari uji coba skuat Garuda menuju Piala AFF 2021.
Tetapi, melihat apa yang terjadi di layar kaca di mana bendera Afghanistan berkibar, disertai teriakan dukungan dari supporter di pinggir lapangan, seolah ini bukanlah pertandingan biasa untuk Afghanistan.
Pertandingan ini juga cukup menyita perhatian, meskipun secara ranking FIFA, kedua Negara juga tidak masuk 100 besar Dunia.
Indonesia berada di peringkat 165, sedangkan Afghanistan berada di posisi 152, seperti diketahui, gol dari Omid Popalzay di menit ke-85 membawa Afghanistan menang 1-0.

Baca juga: Messi Sempat Tidak Menyadari Jika Timnas Argentina Telah Lolos Piala Dunia Usai Remis Lawan Brasil
Baca juga: Komentar Shin Tae-yong Setelah Timnas Indonesia Dikalahkan Afghanistan, Soroti Kesalahan Passing
Bahkan, stadion yang digunakan, Gloria Sports Arena di Antalya, bukanlah lapangan sepak bola, tetapi lebih digunakan untuk olahraga Atletik.
Namun, bagaimana laga ini, menjadi sangat menarik, di mana Timnas Afghanistan bermain dengan penuh semangat, disertai emosi pendukung yang berapi-api di pinggir lapangan.
Beberapa media seperti New York Times, hingga Washington Post, bahkan menyebut pertandingan ini sebagai laga terpenting di FIFA Matchday tengah pekan ini, lebih dari kualifikasi Piala Dunia Zona Eropa ataupun laga Brasil vs Argentina.
The Athletic, sehari sebelumnya, melakukan wawancara dengan pelatih Afghanistan, Anoush Dastgir.
“Saya dapat memberi tahu Anda bahwa orang-orang di Afghanistan hanya memiliki satu hal yang mereka senangi, dan itu adalah tim nasional mereka,” kata Dastgir kepada The Athletic.
“Banyak penggemar memberi tahu kami, 'Negara ini sudah hilang, tetapi tolong coba untuk menjaga tim nasional tetap bersama'.”
Afghanistan seperti diketahui, saat ini sedang dalam penguasaan Taliban, dan tekanan besar sedang diterima warganya bahkan hanya untuk bertahan hidup.
Banyak orang-orang begitu putus asa untuk melarikan diri darinya sehingga mereka berpegangan pada bagian luar pesawat saat mereka lepas landas dari bandara Kabul.
Salah satunya adalah Zaki Anwari, pesepakbola berusia 19 tahun yang pernah membela timnas.
Anwari adalah salah satu dari sejumlah orang yang jatuh dari pesawat itu hingga tewas.
Tetapi, seperti yang terjadi di negara lain, Irak di Piala Asia 2007 atau Argentina di Piala Dunia 1978, sepak bola bak menjadi penawar sementara di tengah kekacauan.
“Ketika kami bermain di Iran sekali,” kenang Dastgir,
“Banyak pengungsi Afghanistan di Iran menjual ponsel mereka untuk membeli tiket dan tiket bus untuk datang ke Teheran hanya untuk menonton pertandingan.
“Tidak masalah jika kami menang atau kalah, mereka berkata, 'Anda berada di panggung itu, itu membuat kami bangga'."
Dua jeda internasional kini telah berlalu tanpa tim Dastgir bisa bermain.
Dan Afghanistan belum pernah memainkan sepak bola kompetitif di Kabul sejak 2003, dengan hanya beberapa pertandingan persahabatan, melawan Pakistan pada 2013, dan Palestina pada 2018 ,yang digelar di home.
Laga kandang mereka sebagian besar berlangsung di Tajikistan atau Qatar.
Masalah utamanya adalah uang, sebagai efek lanjutan dari krisis di rumah, rekening bank federasi dibekukan, yang berarti mereka tidak dapat menerbangkan berbagai pemain mereka ke tempat yang mereka inginkan.
Laga ini terselenggara hanya karena bantuan dari FIFA, meski harapannya masalah perbankan akan selesai pada saat kualifikasi Piala Asia tahun depan, yang telah dimundurkan ke Juni 2022 karena komplikasi terkait pandemi.
Tidak ada sepak bola di Afghanistan selama pemerintahan pertama Taliban: itu melarang sebagian besar olahraga, jadi karena itu dan perang dengan Uni Soviet sebelumnya, antara tahun 1984 dan 2002 tim nasional tidak bermain sama sekali.
“Situasi saat ini sangat, sangat buruk,” kata Dastgir.
“Semua orang sangat sedih dan takut pada Taliban karena saya tidak berpikir mereka akan mengikuti apa yang mereka katakan. Kami tahu ideologi mereka. Ini sangat mirip dengan 20 tahun yang lalu.
“Mereka tidak mengubah itu, tetapi sekarang mereka sangat pintar. Mereka tahu bagaimana berbicara dengan media.”
Faktanya, dari semua pemain yang dibawa untuk laga melawan Indonesia, Dastgir cenderung membawa satu atau dua anak muda atau cadangan dari klub Afghanistan, tetapi sisanya sebagian besar dikumpulkan dari seluruh penjuru dunia.
Skuad mereka untuk kualifikasi Piala Dunia melawan Bangladesh pada bulan Juni menampilkan pemain yang bermain di 14 negara yang berbeda, termasuk Swedia, India, Belanda, Australia, Bahrain dan Inggris.
Dua pemain mereka yang berbasis di Inggris, Noor Husin dan Maziar Kouhyar, keduanya berusia 24 tahun.
Lahir di Afghanistan tetapi masing-masing meninggalkan negara itu pada usia lima dan dua tahun karena keluarga mereka berusaha melarikan diri dari perang.
Mereka bermain di divisi keenam untuk Dartford dan Hereford.
"Ayah saya dilihat (oleh Taliban) sebagai kolaborator dan setiap keluarga saya, termasuk saya, terancam dieksekusi," kata Kouhyar kepada The Sun awal tahun ini.
"Kami memiliki kerabat yang sekarang bersembunyi."
Ada juga masalah sulit apakah Afghanistan harus bermain sama sekali.
Tetapi, itu tidak mengubah rasa nasionalisme mereka untuk bermain demi Negara.
“Kami selalu bermain untuk rakyat,” katanya.
Saat ini, Timnas Afghanistan telah berada di kamp pelatihan di Turki selama seminggu menjelang pertandingan, dan suasana di sana cukup santai.
Mereka telah berlatih keras, tetapi untuk sedikit mengurangi tekanan, ada juga kesenangan dan permainan.
Ada tekanan karena permainan ini mewakili rakyat Afghanistan, tetapi hampir semua tim tidak bermain di negara asal mereka, jadi sampai batas tertentu ini hanyalah pertemuan internasional yang normal.
“Itulah masalah Afghanistan saat ini. Kami tidak bersatu,” katanya.
“Dan itulah yang ingin kami tunjukkan kepada tim nasional, bahwa kami bisa bersatu.”
“Mimpi saya jauh lebih besar daripada menjadi pelatih tim nasional,” katanya.
“Mimpi saya adalah membuat orang-orang itu merasa bangga. Sehingga mereka memiliki sesuatu untuk dibicarakan.
Jadi mereka memiliki sesuatu untuk dibagikan kepada dunia.” tutup Anoush Dastgir.
(Tribunnews.com/Gigih)