Gelandang Chelsea Ini Pernah Jadi Target Pembunuhan
Bagi masyarakat Nigeria, Victor Moses adalah salah satu panutan.
TRIBUNNEWS.COM, LONDON - Bagi masyarakat Nigeria, Victor Moses adalah salah satu panutan. Karier bersama tim raksasa Chelsea dan tiga caps untuk tim nasional, dia catatkan saat usianya baru menginjak 21 tahun.
Namun, siapa sangka, masa kecilnya justru dipenuhi rasa depresi dan kekerasan. Ya, sejak usia 11 tahun, Moses telah menyandang status yatim piatu.
Satu dekade lampau, sebuah konflik antar agama meletus di Kota Kaduna, Nigeria, yang notabene merupakan tempat kelahiran Moses. Ironis, sang ayah Austin, yang berprofesi pastur, menjadi salah satu korban konflik tersebut.
Kaum garis keras memburu Austin hingga ke kediamannya. Sang istri, Josephine dan Moses turut menjadi incaran. Beruntung, Moses tengah bermain dengan teman-teman kecilnya.
Namun, Austin dan Josephine tak dapat lolos dari pembunuhan. Berita kematian kedua orang tua diterima tepat saat Moses berada di jalanan, tempat di mana dia sedang bermain sepak bola kala itu.
Rekan-rekan Austin lantas memberikan suaka pada Moses. Sang bocah dikirimkan ke London Selatan, untuk tinggal bersama orang tua angkat. Misi merajut mimpi telah dimulai.
"Sebuah perjalanan panjang (dari Nigeria) dan aku hanya ingin tetap kuat dan bekerja keras untuk diriku, dalam sepak bola atau bukan," Moses menggambarkan perjuangan hidupnya kepada The Guardian.
Sempat menjalani pendidikan di sekolah teknik, Harris Academy, kecintaan Moses pada sepak bola tak luntur. Hingga pada sebuah kesempatan, seorang pemandu bakat menyaksikan penampilannya pada kompetisi lokal bertajuk Tandridge League. Moses diboyong Crystal Palace.
Pamornya menanjak pada musim dingin 2010. Lima gol ia lesakkan hanya dalam delapan laga. Kegemilangan ini membuat salah satu kontestan Premier League, Wigan Athletic kepincut. Mahar 2,5 juta euro mengiringi transfernya ke DW Stadium.
Kariernya bersama Wigan tak berumur panjang. Musim panas ini, kesempatan emas menghampiri Moses. Juara Liga Champions, Chelsea datang melayangkan proposal. The Latics awalnya tak bergeming. Terlebih, nilai tawaran tim asuhan Roberto Di Matteo jauh dibawah banderol yang ditetapkan.
Moses coba memberontak. Perpanjangan kontrak dari Wigan ditolak mentah-mentah. Padahal, masa baktinya bakal berakhir musim panas tahun depan. Hingga pada akhirnya, Wigan menyerah dan mengamini proposal kelima yang dilayangkan Chelsea.
Pemberontakan Moses bukanlah tanpa alasan. Chelsea jelas merupakan titik puncak perjalanan hidup dari seseorang yang memiliki masa kecil kelam. Seragam The Blues dan kiprah pada ajang sekelas Liga Champions adalah bayaran atas perjuangan hidup Moses, sekaligus persembahan spesial untuk almarhum kedua orang tuanya.
"Jelas, dimanapun mereka berada, mereka harus bangga padaku, melihat ke bawah dan merasa bangga," tutur Moses merujuk pada kedua orang tuanya.
Tak Lupa Tanah Leluhur
Di Inggris, karier sepak bolanya melesat bagaikan roket. Negeri ini bagaikan zona nyaman hingga Moses melupakan fase tragis dalam hidupnya. Tak ayal, seragam The Three Lions pada berbagai level junior sempat membalut tubuhnya.