Kaze, The Sound of My Soul, Pameran Tunggal Fabiola Natasha Tentang Pantang Menyerah
Karya-karya Fabiola adalah bentuk-bentuk simbolisasi dari filosofi yang didapatkannya dari mana saja.
TRIBUNNEWS.COM - Bernadette Godeliva (B.G.) Fabiola Natasha --akrab disapa Fabiola-- memamerkan karyanya pada pameran bertajuk “Kaze, The Sound of My Soul.”
Menggunakan media tinta China (dan akrilik untuk instalasi di atas kaca), karya-karya Fabiola adalah bentuk-bentuk simbolisasi dari filosofi yang didapatkannya dari mana saja.
Tercatat ada 11 karya lukis, sebuah karya instalasi foto-video, dan sebuah karya instalasi di kaca untuk pameran tunggalnya kali ini.
Semua karya itu secara terbuka dan khusus, menceritakan berbagai peristiwa yang dilalui perupa asal Surabaya ini, hingga sekarang.
Terutama bagaimana cara Fabiola yang dikenal sebagai perupa spesialis ink China painting itu menghadapi perjalanan hidupnya dengan cara spiritualitas dan berupaya selalu terkoneksi dengan alam.
Maka selama 1-23 September 2018 di SOHAM Creative Space, Jakarta Selatan, Fabiola pun tak tabu ‘mengakui’ kondisi dirinya kepada publik.
Ia begitu sangat jujur menunjukkan siapa dirinya lewat karya. Seperti ketika menggambarkan perjuangan keluarganya melewati krisis ekonomi pada 1998 yang ia tuangkan dalam karya berjudul Nana Korobi Yaoki; Daruma.
Menganut filosofi boneka Daruma, boneka itu jikanya disentuh biasanya akan kembali ke posisi semula.
Bahkan dalam peribahasa Jepang setelah jatuh enam berkali-kali maka seseorang pasti akan bangkit pada kali ketujuh.
Keyakinan inilah yang menjadi penyemangat hidup seorang Fabiola saat dihadapkan pada krisis moneter di Indonesia yang tidak saja menghancurkan ketahanan ekonomi keluarganya, namun juga menyisakan trauma sosial.
***
Dengan karya itu Fabiola yang juga seorang fotografer itu, mengingatkan pada semua bahwa tidak ada kata menyerah.
“Kita harus bangkit apapun itu masalahnya karena hal itu mungkin terjadi jika kita mau melakukannya,” katanya.
Atau ketika ia seperti terpuruk ketika kehilangan sosok ibunya yang wafat pada 2011 dalam karya berjudul In Mother Womb.
Lukisan ini benar-benar ekspresi kerinduannya pada sosok ibu. Bahwa sebenarnya hanya dalam figur ibu ditemukan ketenangan dan kedamaian sebenarnya.
Ia kadang mengakui ada masa-masa lemah yang tiba-tiba datang saat teringat ibunya.
“Saya bisa menangis dan seperti orang kehilangan arah jika mengingat ibu saya,” ujar Fabiola yang terakhir berpameran “SATU” bersama 4 fotografer dan lima penulis di House of Sampoerna Surabaya pada Agustus 2017 lalu.
Bahkan ketika sedang menyelesaikan karyanya itu, mama mertuanya menyusul meninggal dunia pada Agustus.
Diakui Fabiola yang kali kedua menggelar solo exhibition itu, selain hasil mengolah peristiwa yang dialaminya, objek yang ditampilkan kebanyakan didapatkan dari hasil kontemplasi saat menyendiri di alam.
Sebagai wild photographer, Fabiola memang kerap hunting objek di alam terbuka seperti hutan mangrove di pantai timur Surabaya.
Maka diambilnya filosofi dari seekor lebah menjadi karya berjudul I Believe I Can Fly. Karya ini berbicara bahwa sejatinya sayap mungil sang lebah tidaklah mampu mengangkat tubuhnya yang bulat itu.
Tetapi karena sang lebah tetap percaya maka dia terbang. Juga pada seekor rusa yang pada beberapa kepercayaan dianggap sebagai jiwa yang loyal untuk mengingatkan manusia tetap mempercayai naluri sendiri dan fokus pada pilihannya.
Pesan simbolik itu ada pada karyanya yang berjudul The Messenger.
Lalu pada The Sound Of My Soul Fabiola merepresentasikan sebuah nyanyian jiwa yang ia dengarkan. Dalam karya utama dari pameran ini, Fabiola ingin berkata bahwa hidup kadang mengalir, namun kadang ada lompatan-lompatan seperti nada-nada yang dimainkan dalam sebuah lagu.
Tak mungkin lagu itu datar saja sehingga tak ada irama. Dan semua lompatan-lompatan nada atau lompatan hidup itu harus dilewati karena itu bagian dari perjalanan hidup manusia yang pasti dialami semua orang.
Sementara dalam Enso, Fabiola menunjukkan tentang saat jiwa dibebaskan sehingga lingkaran Enso dapat diciptakan.
Bentukan Enso atau circle of life adalah salah satu media meditasi seorang Fabiola. Enso adalah simbol ketenangan, pencerahan, kekuatan dan keanggunan yang tak terbatas.
Lalu berikutnya Nightmare, yang terinspirasi dari pengalaman pribadi sang seniman saat berada dalam titik terendah.
Kepahitan adalah bagian dari perjalanan hidup. Tidak ada yang mudah tapi tidak ada kata menyerah. Sepanjang hidup manusia, banyak hal tanpa disadari adalah sebuah berkah. Pertemanan salah satunya.
Sebagai rasa cinta Fabiola pada ketiga sahabat lelakinya yang sangat memberi inspirasinya dalam berkarya, dia membuat karya Three Wings.
Ketiga sahabat yang menginspirasi, mengajarkan makna kehidupan dan membawanya terbang lebih tinggi untuk meraih impian.
“Kami bertiga sangat berbeda-beda karakternya bahkan pandangan hidupnya namun saya merasa mereka adalah sayap-sayap dalam hidup yang membantu saya ‘terbang’ menjalani hidup. Sesuai judulnya sayap itu bukan dua melainkan tiga yang masing-masing punya kekuatan saling mendukung,” katanya.
Salah satu karya Bernadette Godeliva (B.G.) Fabiola Natasha yang menggambarkan perjuangan keluarganya melewati krisis ekonomi pada 1998. Judul karyanya Nana Korobi Yaoki; Daruma. (Istimewa)
Ada satu karya kolaborasi instalasi foto-video berjudul Transisi. Dalam karya bersama sahabatnya Affandi (performance artist) dan Elise Orlowski (cinematographer) itu, ditampilkan sisi sentimental seorang Fabiola terhadap isu feminitas dan maskulinitas yang diterimanya sejak kecil.
Meski terlahir perempuan, namun asa kecilnya lebih cenderung terdidik seperti anak laki-laki. Itulah yang menurut Fabiola membuatnya seolah kehilangan masa kecil selayaknya seorang gadis perempuan.
“Saya ingat betul bagaimana diteguhkan pada saya sebagai anak cewek malah untuk tidak boleh menari, anak cewek itu tidak boleh nangis, anak cewek itu tidak boleh bergantung dengan laki-laki,” kata dosen pengajar LaSalle College Surabaya ini.
Yang menarik, dalam opening ceremony Fabiola akan melakukan live painting dengan mengajak audience yang hadir.
Hasil live painting itu akan turut dipamerkan di SOHAM Creative Space bersama karya-karyanya yang lain yang digarapnya selama 2018.
Selain mencermati ekspresi simbolik Fabiola, ada yang perlu dicermati dari karya Fabiola ini yaitu tentang media susu yang ia gabungkan dengan media dominan ink China di atas rice paper.
Hanya ada dua karya nonsusu selain tentu saja karya foto fan video instalasi. Selain pertimbangan teknik, Fabiola menganggap susu mewakili simbolisasi dari dasar segala kehidupan di dunia ini.
“Susu yang murni dan berasa dari air susu ibu terutama adalah makna yang kuat untuk saya ambil sebagai media dan dasar pemikiran saya berkarya,” kata istri dari Dewantoro itu.
Secara teknis, susu memang unik dan perlu sentuhan khusus dalam menerapkannya. Susu cair yang ia pakai rata-rata ditimpakannya semacam dasar pada media rice paper yang digunakannya atau semacam membuat bidang yang ia ingin kosongkan atau menjadi berwarna putih.
Ibarat proses pemberian cairan malam pada batik, susu itu ia sapukan untuk didiamkan selama beberapa waktu. Ada yang memerlukan pembiaran mulai 3 jam hingga 10 jam lamanya.
Baru setelah itu Fabiola menyapukan ink China di atasnya sehingga memperolah bagian-bagian yang tidak tersapu oleh ink China yang berwarna hitam itu.
Ada juga karya yang direspon Fabiola di balik kertas yang telah tersapu susu atau bagian sisi yang lain. Reaksinya tak sama setiap proses, saya menemukan hasil yang bermacam-macam ketika memakai susu ini.
Tentang Fabiola, perupa mungil ini juga lebih suka dikenal dengan nama lainnya yang berbau Jepang yaitu Kaze Kazumi.
Nama ini berarti angin yang menyebarkan keindahan. Nama ini sengaja selalu disematkan Fabiola dalam setiap karya lukisnya. Diharapkan melalui karyanya, ia ingin meninggalkan jejak bagi siapa saja untuk tidak pantang menyerah dan terus bangkit.(*)
Berita ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul "Ekspresi Simbolik Fabiola Sang Spesialis Ink China Painting Tentang Kejujuran"