Minggu, 5 Oktober 2025

Virus Corona

Ini Sederet Inovasi Kesehatan Global untuk Tangani Covid-19 Sepanjang 2021

Pandemi virus corona (Covid-19) turut 'menemani' masyarakat secara global nyaris 2 tahun lamanya, dan saat ini berbagai

Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Hendra Gunawan
Tribunnews/Jeprima
Ilustrasi: Tenaga kesehatan (nakes) menggunakan topeng pahlawan super (superhero) saat melayani vaksinasi Covid-19 untuk anak usia 6-11 tahun di RSIA Tambak, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (29/12/2021). Penggunaan topeng superhero tersebut guna menarik minat anak-anak untuk mengikuti vaksinasi Covid-19. Sebanyak 30 anak mengikuti vaksinasi yang menggunakan vaksin Sinovac tersebut. Tribunnews/Jeprima 

Situasi pandemi membuat fasyankes maupun masyarakat semakin mengoptimalkan layanan kesehatan daring (telemedicine).

Sejak beberapa waktu lalu, pemerintah telah memanfaatkan layanan ini untuk membantu penanganan terhadap pasien Covid-19 dengan kategori Orang Tanpa Gejala (OTG) maupun ringan yang tengah melakukan isolasi mandiri (isoman).

Selain itu, saat ini memang banyak fasyankes yang telah dialihfungsikan sementara untuk menangani pasien Covid-19.

Sehingga untuk meminimalisir penyebaran virus yang bisa didapatkan dari lingkungan rumah sakit, maka layanan telemedicine menjadi opsi alternatif terbaik bagi masyarakat yang memerlukan layanan kesehatan tanpa perlu keluar rumah.

Di tengah 'membanjirnya' layanan telemedicine, kini hadir pula AlteaCare, sebuah aplikasi telemedicine yang dapat memberikan solusi terkait kebutuhan kesehatan dan layanan rumah sakit yang terintegrasi secara virtual.

Hal ini tentu saja dilakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang adaptif dengan kondisi terkini.

Perlu diketahui, AlteaCare merupakan mitra resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pun mengapresiasi langkah AlteaCare dalam meluncurkan aplikasi telemedicine ini.

Menurutnya, langkah ini dapat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan layanan fasilitas kesehatan secara cepat.

"Kementerian Kesehatan mendukung inovasi yang telah dilakukan oleh AlteaCare dan mendorong rumah sakit lainnya untuk turut serta memasuki ekosistem digital AlteaCare demi memberikan kemudahan akses bagi masyarakat yakni layanan pasien secara virtual," kata Dante, dalam virtual 'Press Launch Alteacare #KonsultasiDariRumahAja', Selasa (21/9/2021).

Sebagai langkah awal setelah diluncurkannya aplikasi ini, AlteaCare pun menggandeng salah satu jaringan rumah sakit terbesar di Indonesia yakni Rumah Sakit Mitra Keluarga sebagai mitra pertamanya.

Kerja sama ini khususnya difokuskan pada layanan penyedia tenaga kesehatan (nakes), dokter spesialis handal serta obat-obatan.

Menariknya, aplikasi ini menampilkan fitur yang user friendly, sehingga para pengguna tidak akan merasa kesulitan dalam menggunakan layanan yang ditawarkan.

Prosesnya pun mudah, begitu pula dengan sistem pembayaran yang fleksibel karena dapat menggunakan beberaa pilihan yakni virtual account, GoPay maupun kartu kredit.

Terkait fitur yang ditawarkannya, aplikasi ini memiliki layanan telekonsultasi klinis dengan dokter spesialis berpengalaman, analisis kondisi pasien dari medical assistance AlteaCare, pembelian obat, registrasi vaksin termasuk vaksin Covid-19, pemesanan layanan laboratorium serta tes diagnosa.

Semua layanan ini tentunya dilakukan secara mudah melalui sistem daring.

Pada kesempatan yang sama, Chief Executive Officer AlteaCare, Mikaela Oen mengatakan bahwa ini merupakan komitmen pihaknya untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mendapatkan layanan kesehatan di masa pandemi ini.

Sehingga masyarakat bisa melakukan konsultasi secara daring tanpa perlu keluar rumah atau mengunjungi fasyankes.

"Dalam mendukung upaya masyarakat untuk tetap sehat, kami hadir untuk menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat tanpa perlu ada rasa khawatir, mengutamakan rasa aman dan nyaman untuk berkonsultasi dengan dokter berpengalaman secara virtual melalui video yang dapat diakses di manapun pasien berada," jelas Mikaela.

Ia kemudian menyebut bahwa konsultasi melalui panggilan video merupakan fitur utama pada aplikasi ini.

"Ini guna memaksimalkan keefektifan konsultasi klinis agar dapat mempermudah para dokter spesialis dalam memberikan informasi dan edukasi seputar diagnosis, evaluasi, hingga pencegahan dan pengobatan penyakit," kata Mikaela.

5. Pil Covid-19 'Merck' Dipuji Setelah Kurangi Jumlah Pasien Rawat Inap Hingga 50 Persen

Perusahaan farmasi Merck mengatakan pihaknya akan meminta otorisasi di Amerika Serikat (AS) untuk penggunaan obat oral molnupiravir pada pasien virus corona (Covid-19).

Rencana ini disampaikan setelah obat tersebut diklaim terbukti mengurangi kemungkinan pasien baru untuk dirawat di rumah sakit hingga mencapai 50 persen.

Dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (1/10/2021), sebuah pil sederhana untuk mengobati Covid-19 memang telah dicari sejak awal pandemi.

Sedangkan pengumuman yang disampaikan perusahaan farmasi asal AS itu pada Jumat ini dipuji sebagai langkah besar menuju tujuan tersebut.

"Dengan hasil yang meyakinkan ini, kami optimis bahwa molnupiravir dapat menjadi obat penting sebagai bagian dari upaya global dalam memerangi pandemi," kata CEO dan Presiden Mercks, Robert Davis, dalam sebuah pernyataan.

Seorang Profesor Penyakit Menular Baru di Universitas Oxford, Peter Horby pun menyebut hasil sementara itu sebagai hal yang 'sangat menggembirakan'.

"Antivirus oral yang aman, terjangkau, dan efektif akan menjadi kemajuan besar dalam perang melawan Covid-19," kata Prof Horby.

Kendati demikian, para ahli juga memperingatkan bahwa mereka terlebih dahulu ingin melihat data dasar yang lengkap.

Selain itu mereka juga menekankan, jika akhirnya disetujui, obat tersebut harus melengkapi vaksin yang diklaim terbukti sangat efektif melawan Covid-19.

6. Thailand Kembangkan Alat Tes Covid-19 Berbasis Keringat Ketiak

Peneliti Thailand saat ini sedang mengembangkan alat pendeteksi virus corona (Covid-19) berupa seluler yang berbasis keringat.

Alat ini kemudian sedang diuji pada pemilik toko di pasar makanan Bangkok pada pekan ini.

Seperti yang disampaikan peneliti dari Universitas Chulalongkorn Bangkok, Chadin Kulsing.

"Dari sampel, kami menemukan bahwa orang yang terinfeksi Covid-19 mengeluarkan bahan kimia yang sangat berbeda.

Kami menggunakan temuan ini untuk mengembangkan alat pendeteksi bau spesifik yang dihasilkan oleh bakteri tertentu dalam keringat pasien Covid-19," kata Kulsing.

Dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (9/9/2021), Kulsing yang mengklaim bahwa tes itu 95 persen akurat, berharap inovasi ini dapat diluncurkan sebagai alternatif yang terjangkau untuk pengganti tes swab.

Karena di Thailand, tes swab diketahui lebih mahal dan tentunya memerlukan pemrosesan laboratorium.

Namun alat tes berbasis keringat ketiak ini masih dalam tahap pengembangan, sedangkan penelitian dibaliknya belum dipublikasikan atau ditinjau oleh rekan sejawat.

Para ilmuwan itu mengadaptasi perangkat yang biasanya digunakan untuk mendeteksi bahan kimia beracun di lingkungan.

Cara kerjanya adalah subyek meletakkan kapas di bawah lengan selama 15 menit, sebelum kapas itu dimasukkan ke dalam botol kaca dan disterilkan dengan sinar Ultraviolet (UV).

"Teknisi kemudian mengambil sampel dalam jumlah yang sesuai menggunakan selang hisap, dan menekannya ke alat analisa untuk memeriksa hasilnya," papar Kulsing.

Pengambilan sampel ini membutuhkan waktu 15 menit, namun hasilnya siap hanya dalam waktu 30 detik.

Tes keringat ini pun mendapat acungan jempol dari vendor pasar Bangkok yang mengatakan bahwa itu jauh lebih menyenangkan dibandingkan tes usap lubang hidung.

"Tes keringat ini lebih nyaman karena saya bekerja sambil menunggu hasilnya. Dengan tes PCR ini, saya harus berada di pusat pengujian, duduk dan menunggu hasilnya dan itu hanya membuang-buang waktu saya," kata penjual semangka berusia 43 tahun.

Thailand yang telah berjuang melawan gelombang ketiga Covid-19 dan situasi terburuknya, melaporkan 16.000 kasus baru pada Kamis ini, menjadikan total kasus sejak awal pandemi menjadi hampir 1,34 juta.

7. Ini yang Perlu Diketahui Mengenai Vaksin Covid-19 dan Vaksin Flu

Vaksin virus corona (Covid-19) dan vaksin flu memang sama pentingnya karena keduanya cukup efektif dalam mencegah penyakit serius yang mematikan.

Namun apa perbedaan antara kedua vaksin ini?

Dikutip dari laman webmd.com, Selasa (26/10/2021), terkait metodologinya dua dari sederet vaksin Covid-19 yang saat ini digunakan secara global adalah Pfizer dan Moderna buatan raksasa farmasi Amerika Serikat (AS).

Dua merek vaksin ini menggunakan metode messenger RNA (mRNA) yang bekerja dengan mengirimkan molekul mRNA pengkodean antigen ke dalam sel imun yang memicu respons imun.

Metode ini mewakili hampir 20 tahun penelitian dan relatif mudah diproduksi.

Sedangkan untuk vaksin flu, para ilmuwan memanen virus dalam telur, menonaktifkannya, kemudian memurnikan antigen sebelum membuatnya dalam skala luas.

Lalu seperti apa strain virus yang akan dilawan vaksin Covid-19 dan vaksin flu?

Salah satu perbedaan terbesar antara vaksin Covid-19 dengan vaksin flu adalah bahwa vaksin Covid-19 efektif melawan semua jenis virus yang beredar saat ini.

Sementara vaksin flu hanya dirancang untuk menangani jenis flu yang kemungkinan akan beredar setiap tahunnya.

"Tahun ini, suntikannya adalah quadrivalent, yang berarti dirancang untuk melindungi dari empat jenis flu. Sedangkan tahun-tahun lain, itu akan menjadi trivalen," kata Spesialis Penyakit Menular dan Asisten Profesor di Divisi Penyakit Menular Universitas Alabama, Rachael Lee.

Bagaimana efek samping yang ditimbulkannya?

Baik vaksin flu maupun Covid-19 dapat menghasilkan efek samping, namun respons imun terhadap vaksin Covid-19 cenderung sedikit lebih keras pada tubuh.

Dalam kedua kasus, efek samping yang muncul termasuk diantaranya otot pegal, nyeri di area suntikan, demam ringan, sakit kepala dan terkadang batuk yang sangat ringan.

Namun efek simtomatik dari suntikan dosis kedua vaksin Covid-19 pada umumnya tidak bertahan lebih dari 24 jam.

Lalu berapa lama vaksi Covid-19 dan flu akan melindungimu?

Saat ini para peneliti masih mempelajari tentang berapa lama efektivitas vaksin Covid-19.

Ahli Epidemiologi di Divisi Influenza dari Pusat Nasional untuk Imunisasi dan Penyakit Pernafasan di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS, Jill Ferdinands menyampaikan bahwa pada umumnya vaksin Covid-19 menawarkan perlindungan lebih lama dibandingkan vaksin flu.

Sementara itu, penelitian menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan setelah penerimaan suntikan flu, kekebalan mulai berkurang.

Kendati demikian, dalam waktu dekat para ilmuwan dapat membuat vaksin flu menggunakan teknologi mRNA, menjadikannya setara dengan efektivitas vaksin Covid-19.

Saat ini yang paling penting untuk diketahui adalah anda harus mendapatkan kedua jenis vaksin ini demi meminimalisir risiko mengalami gejala berat saat terinfeksi Covid-19.

"Data menunjukkan bahwa gejala yang anda rasakan akan jauh lebih ringan jika anda mendapatkan vaksin ini. Jika anda mendapatkan vaksinasi, itu akan membantu upaya kesehatan masyarakat," kata Lee.

Ini sesuai dengan apa yang terjadi saat ini, ketika banyak rumah sakit kewalahan dalam menangani pasien Covid-19.

"Rumah sakit kami sekarang telah belajar bagaimana mengelola lonjakan pandemi, namun kami ingin mencegahnya di masa depan, vaksin adalah alat untuk mewujudkan harapan itu," pungkas Lee.

8. Rusia Daftarkan Obat Anti-Covid Pertamanya

Pihak berwenang Rusia telah mendaftarkan solusi intravena untuk mengobati pasien virus corona (Covid-19).

Sebagai pabrikan obat ini, Promomed mengatakan bahwa obat yang disebut 'Areplivir' ini dirancang untuk melawan Covid-19 secara langsung.

Perusahaan itu menambahkan, obat tersebut akan tersedia untuk digunakan di rumah sakit sebelum akhir tahun ini.

Dikutip dari laman Russia Today, Senin (15/11/2021), solusi ini adalah bentuk baru obat yang telah digunakan di Rusia sebagai pil sejak September 2020.

Ini didasarkan pada obat sintetis favipiravir yang terdaftar di Jepang untuk mengobati influenza, dan sedang dipelajari secara aktif sebagai obat anti-Covid yang potensial.

Promomed mengklaim sebagai perusahaan pertama di dunia yang membuat favipiravir suntik, karena biasanya obat tersebut berbentuk bubuk yang tidak larut.

Areplivir adalah salah satu dari tiga obat berbasis favipiravir yang saat ini disebut-sebut sebagai pengobatan yang menjanjikan untuk Covid-19 di Rusia.

Promomed menerbitkan hasil uji klinis bentuk pil obat itu pada Oktober 2020, makalah ini diterbitkan dalam jurnal medis peer-review Rusia 'Infectious Diseases.'

Perusahaan itu menegaskan bahwa terapi Areplivir telah mendorong pemulihan yang lebih cepat dibandingkan dengan metode pengobatan tradisional, mengacu pada hasil penelitian yang menunjukkan sedikit atau tanpa efek samping yang ditimbulkan.

Kendati demikian, Promomed belum menyajikan data apapun tentang uji klinis bentuk injeksi obat ini.

Areplivir merupakan obat terbaru yang terdaftar di seluruh dunia untuk pengobatan Covid-19.

Ada pula obat eksperimental lain yang diberikan secara intravena, termasuk diantaranya remdesivir.

Perdebatan tentang efektivitas dan keamanan obat anti-virus ini pun sedang terjadi, karena saat ini semakin banyak data pasien yang masuk.

9. Pengembang Vaksin Sputnik V Kembangkan Obat Mengandung Antibodi untuk Terapi Covid-19

Pusat Penelitian Epidemiologi dan Mikrobiologi Nasional Gamaleya Rusia sedang mengembangkan obat yang mengandung antibodi untuk mengobati pasien virus corona (Covid-19).

Dikutip dari laman Sputnik News, Rabu (10/11/2021), pernyataan ini disampaikan Direktur Pusat lembaga penelitian tersebut, Alexander Gintsburg.

"Saat ini kami sedang mengembangkan antibodi yang bisa diberikan kepada pasien virus corona dalam bentuk obat.

Kami akan memulai uji klinis pada Januari tahun depan, dan saya berharap kami akan menyelesaikan uji klinis ini dalam 3 hingga 4 bulan ke depan," kata Gintsburg.

Sementara itu, terkait masalah penggunaan vaksin hidung untuk Covid-19 dibandingkan vaksinasi biasa, ia menyampaikan temuan itu akan diputuskan selama uji klinis, dan saat ini belum ada jawaban pasti.

"Pertanyaannya bagus, benar, tidak ada jawaban tegas untuk ini. Selama uji klinis yang telah kami izinkan, salah satu pertanyaan yang akan ditanyakan adalah seperti apa yang anda tanyakan kepada saya," jelas Gintsburg.

Pernyataan tersebut ia sampaikan saat ditanya mengenai apakah vaksin hidung dapat menggantikan vaksin suntik atau akan digunakan selama vaksinasi ulang atau tambahan untuk penguat (booster).

Sebelumnya, Pusat Penelitian Gamaleya ini telah mengembangkan vaksin yang diklaim menjadi yang pertama di dunia untuk pencegahan Covid-19, Sputnik V.

10. Obat Anti-Covid Rusua Diklaim Bisa Atasi Varian Delta dan Omicron

Perusahaan farmasi ChemRar Group telah mengumumkan bahwa obat antivirus Rusia 'Avifavir' berdasarkan favipiravir, efektif dalam melawan berbagai varian virus corona (Covid-19), seperti Delta dan Omicron.

Hal itu karena obat tersebut dapat mempengaruhi sistem replikasi virus RNA yang sangat konservatif dan tahan mutasi.

Dikutip dari laman Sputnik News, Selasa (28/12/2021), dari siaran pers yang dikeluarkan oleh perusahaan itu, uji klinis juga telah mengkonfirmasi bahwa virus corona tidak dapat mengembangkan resistensi terhadap obat, dan antivirus tersebut dapat meringankan gejala penderita serta mengurangi durasi penyakit hingga setengahnya jika dibandingkan dengan terapi standar.

"Setelah mengumpulkan pengalaman luas dengan Avifavir pada pasien yang terinfeksi Covid, baik dari uji klinis dan praktik klinis dunia nyata, kami melihat bahwa penggunaan Avifavir dalam 3 hingga 5 hari pertama setelah infeksi menyebabkan penyakit yang lebih ringan dalam banyak kasus dan mencegah rawat inap," kata Direktur Medis Grup ChemRar, Elena Yakubova.

Selama 17 bulan terakhir, kata dia, lebih dari 4 juta pasien telah diobati dengan favipiravir di seluruh dunia.

"Produk ini ditoleransi dengan baik tanpa efek samping baru, yang menegaskan keamanan tinggi favipiravir," tegas Yakubova.

Sementara itu, mantan Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat (AS) Robert Redfield juga mencatat bahwa Avifavir telah terbukti efektif melawan Covid-19 dalam uji klinis dan praktik medis.

Ia pun menyarankan agar mempelajari kombinasi obat ini dengan antivirus lain seperti Paklovid dari Pfizer.

Bahkan mencoba tambahan pilihan terapi yang lebih baik bagi mereka yang berisiko lebih tinggi terhadap perkembangan penyakit Covid-19 dan mengurangi kemungkinan mutasi virus yang resistan terhadap obat.

Obat antivirus Avifavir ini dikembangkan dan dirilis oleh ChemRar Group dengan dukungan Dana Investasi Langsung Rusia(RDIF) pada Juni 2020, serta diklaim menjadi obat anti-Covid pertama di dunia.

Antivirus ini digunakan secara luas di klinik Rusia untuk mengobati penyakit Covid-19 sejak tahun lalu, dan telah dipasok ke lebih dari 15 negara.

11. Korea Selatan Setujui Pengobatan Oral 'Pil' Pertama Covid-19

Kementerian Keamanan Makanan dan Obat Korea Selatan (Korsel) pada Senin waktu setempat menyetujui penggunaan pil antivirus oral Pfizer yang akan digunakan kali pertama untuk mengobati pasien virus corona (Covid-19) di negara itu.

Rencana ini disetujui setelah panel ahli meninjau keamanan dan efisiensinya.

Dikutip dari laman Sputnik News, menurut Asosiasi Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (AS) Paxlovid Pfizer merupakan pengobatan pil yang tidak hanya difokuskan untuk kasus Covid-19 ringan hingga sedang pada kelompok usia 12 tahun dan yang lebih tua saja.

Namun juga untuk mereka yang menunjukkan hasil positif pengujian langsung SARS-CoV-2, serta yang berisiko tinggi mengembangkan gejala yang parah, termasuk kasus rawat inap atau kematian.

Perlu diketahui, Paxlovid memang disarankan untuk vaksinasi Covid-19 dan suntikan dosis penguat (booster), namun obat ini hanya diberikan dengan resep dokter.

Pfizer menjelaskan bahwa Paxlovid terdiri dari tiga tablet yang diminum secara bersamaan dalam dua kali sehari selama lima hari berturut-turut.

Perawatan pun harus diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis Covid-19 dan dalam waktu lima hari sejak timbulnya gejala.

Paxlovid diyakini dapat mengurangi risiko rawat inap atau kematian diantara pasien dengan risiko tinggi penyakit parah hingga mencapai 88 persen.

Saat ini, Korea Selatan menggunakan suntikan intravena Remdesivir dan Rekirona untuk mengobati kasus kritis dan mengurangi risiko infeksi yang berkembang menjadi kasus yang parah.

Terkait terapi oral, obat ini memang diklaim dapat secara signifikan mengurangi kemungkinan perkembangan penyakit parah setelah timbulnya gejala.

Namun belum jelas apakah terapi oral ini dapat tersedia secara cepat untuk menghentikan potensi lonjakan Omicron pada Desember 2021 dan Januari 2022.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved